anies baswedan manipulasi fakta bisa timbulkan saling tidak percaya - News | Good News From Indonesia 2025

Anies Baswedan: Manipulasi Fakta Bisa Timbulkan Saling Tidak Percaya

Anies Baswedan: Manipulasi Fakta Bisa Timbulkan Saling Tidak Percaya
images info

Anies Baswedan: Manipulasi Fakta Bisa Timbulkan Saling Tidak Percaya


Anies Rasyid Baswedan adalah politisi dan akademisi yang sudah dikenal namanya di panggung politik Indonesia. Dikenal sebagai sosok intelektual dengan visi tajam di mana ia kerap terjun langsung ke dalam ranah kebijakan publik dan pemerintahan.

Puncak karier eksekutif Anies sejauh ini adalah ketika ia menjabat sebagai Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta periode 2017–2022. Kepemimpinannya memimpin Jakarta ditandai dengan sejumlah program dan kebijakan strategis.

Sebagai orang yang pernah bekerja di pemerintahan, Anies merasakan adanya ketidakpercayaan dari publik semasa ia bekerja. Saat berbincang dengan Good News From Indonesia, ia pun membagikan bagaimana caranya kepercayaan itu bisa dibangun dengan menyajikan fakta yang ada di lapangan.

Jangan Manipulasi Fakta

Pada era pandemi Covid-19 lalu, Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto kerap memancing perhatian publik. Ia dipandang kurang sigap dalam mengambil keputusan ketika pakar serta epidemiolog sudah memperkirakan virus itu akan masuk ke Indonesia.

Terawan saat itu sempat yakin bahwa virus Covid tidak akan masuk Indonesia. Ia pun meminta rakyat Indonesia bersyukur dan mempercayai kekuatan doa dalam memerangi virus yang sudah menewaskan ribuan orang itu.

Nyatanya virus itu benar tersebar di Indonesia dan menghasilkan banyak korban berjatuhan. Langkah yang diambil sang menteri pun membuat kepercayaan publik terhadap pemerintah menjadi menurun.

Belajar dari kasus itu, Anies merasa memang perlu menjaga agar publik tenang menyikapi suatu persoalan tapi jangan memanipulasi fakta yang ada. Menurutnya, memanipulasi fakta justru akan menimbullkan ketidakpercayaan.

“Manipulasi informasi jangan! Tapi betul disampaikannya dengan tenang, langkah-langakahnya apa yang akan dikerjakan, supaya orang merasa bahwa pemegang kewenangan ni mengerjakan dengan benar atas situasi sulit yang dihadapi,” ucap Anies kepada Good News From Indonesia dalam segmen GoodTalk.

Anies juga mengingatkan bahwa wilayah publik itu tercatat dalam sejarah. Kelak pada masa mendatang, manipulasi atau kebohongan akan dicatat oleh sejarawan yang nantinya bisa menentukan baik-buruk keputusan yang diambil pendahulunya.

“Saya ingat ketika awal-awal Covid saya bilang pada teman-teman yang mengelola Covid, ‘Jangan khawatir dengan apa yang ditulis orang hari ini, tapi khawatirlah apa yang akan ditulis para sejarawan di masa depan. Karena mereka akan menengok kepada peristiwa ini dan nanti menunjukkan langkah-langkah yang dikerjakan ini benar atau salah di masa depan’,” ucap mantan rektor Universitas Paramadina itu.

Dampak Positif Polarisasi

Sebelumnya, Anies dalam obrolannya membahas mengenai polarisasi. Menurutnya polarisasi dan perpecahan ada di titik yang berbeda dengan fase yang berbeda pula. Ia menggariskan empat tahap yang dapat dilalui sebuah perbedaan pendapat yaitu polarisasi, friksi, konflik, dan perpecahan.

Polarisasi tidak hanya di dalam politik yang artinya bisa di mana saja. Anies mengambil contoh saat seseorang atau lebih dari satu orang mendukung tim kesayangannya, polarisasi pun bisa tercipta.

Maka dari itu, ia merasa butuh adanya kesadaran, ambang batas atau batasan tertentu dalam memberikan dukungan. Ia mengingatkan saat “pertandingan” sudah selesai, maka selesai jugalah polarisasi itu.

“Setelah selesai, copotlah itu jersey. Itu namanya mengelola dengan baik,” ucap Anies.

Anies mengerti ada masanya perbedaan menjadi tajam saat berkompetisi. Akan tetapi, setelah kompetisi selesai, sudah semestinya identitas kelompok yang terpolarisasi harus dilepaskan, dan masyarakat kembali menjadi utuh.

Ia mencontohkan debat Brexit di Inggris di mana polarisasinya sangat keras dan ketat, tetapi tidak menyangkut isu identitas atau ras. Ketika argumen bertubi-tubi disuarakan, publik mendapatkan pencerahan, dan setelah keputusan diambil, polarisasi pun selesai.

“Polarisasi itu akan bisa merangsang sampai pada tahap tertentu enggak asal enggak kebablasan jadi friksi, Merangsang masing-masing pihak itu untuk menyampaikan argumen, menyampaikan gagasan, berdebat, yang itu kemudian memaksa kita yang menonton menyaksikan adanya gagasan-gagasan yang saling diasah,” ungkapnya.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Dimas Wahyu Indrajaya lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Dimas Wahyu Indrajaya.

DW
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.