Cigombong, Kabupaten Bogor. Oktober 2025 - Di antara hamparan sawah, kabut pagi yang tenang, dan suara kereta yang melintas pelan di selatan Kabupaten Bogor, lahirlah sebuah film pendek berjudul "Mulih Ka Jati, Mulang Ka Asal”.
Film ini menjadi representasi suara batin masyarakat desa, khususnya generasi muda yang tumbuh di persimpangan antara mimpi dan akar, antara kota dan kampung, antara masa depan dan warisan leluhur. Karya ini disutradarai oleh Moch Aldy MA dan ditulis oleh Taufik Rian Hidayat, dengan semangat kolektif sineas muda Cigombong.
Film ini akan resmi diputar dalam ajang Festival Film Kabupaten Bogor 2025. Bukan sekadar tayangan layar lebar, “Mulih Ka Jati, Mulang Ka Asal” adalah sebuah seruan sunyi seruan untuk kembali mendengarkan suara tanah tempat kita berpijak, suara yang sering kita abaikan saat mengejar segala sesuatu yang disebut “kemajuan”.
Cerita yang Dekat dan Nyata

Para kru dan pemeran saling mendukung sesaat selesai menjalankan proses shooting | sumber foto: Dok. Pribadi Belgi Alhuda
Di tengah derasnya arus urbanisasi dan modernisasi, banyak pemuda desa yang dihadapkan pada dilema klasik: bertahan atau pergi.
Film ini mengambil sudut pandang personal melalui tokoh Raka (diperankan oleh Ahmad Fauzan), seorang pemuda desa dengan impian besar. Ia tumbuh di Cigombong, di antara ladang dan sawah yang diwariskan turun-temurun.
Namun, seperti banyak anak muda lainnya, ia menyimpan kegelisahan perasaan bahwa kampung halamannya mungkin tidak cukup untuk mewujudkan mimpi.
Di satu sisi, kota menawarkan janji tentang kehidupan yang lebih baik: karier, kebebasan, kemajuan. Namun, di sisi lain, rumahnya memanggil dengan suara adiknya, Maya (Salsya Billa), dengan do'a kakeknya, Ki Darsa (Wardi), dan dengan tanah yang setiap pagi disirami embun. Kehadiran Dewi (Cinta Alika Azhura), sahabat Maya, menjadi saksi diam atas pergulatan itu.
Makna “Mulih Ka Jati, Mulang Ka Asal”
Judul film ini, dalam bahasa Sunda, berarti “kembali ke jati diri, kembali ke asal.” Bukan sekadar kalimat puitis, kalimat ini menyimpan filosofi dalam tentang perjalanan manusia. Bahwa pada akhirnya, seberapa jauh pun langkah seseorang pergi, ada suara yang akan selalu memanggilnya untuk pulang.
Pulang tidak selalu berarti kembali secara fisik ke rumah, melainkan menemukan kembali siapa kita sebenarnya nilai, akar, dan sejarah yang membentuk identitas.
Moch Aldy MA sebagai sutradara mengatakan, “Saya ingin film ini berjalan seperti puisi, tidak memberi jawaban, hanya mengajak duduk diam dan mendengarkan. Tidak pula menjadi semacam ceramah tentang benar atau salah. Film ini, singkatnya, mengekspos manusia dalam kebimbangannya. Dalam diam, dalam rasa ngeri, dalam cinta yang tidak tahu mesti tinggal atau pergi. Pada akhirnya, ini bukan soal siapa yang bertahan dan siapa yang pergi, tapi soal bagaimana kita semua sebenarnya sedang berusaha pulang dengan cara kita sendiri-sendiri."
Film ini menyentuh satu kenyataan sosial yang sangat relevan: pergeseran demografis desa, di mana generasi muda perlahan pergi ke kota, meninggalkan tanah dan sejarah yang dulu dijaga oleh orang tua mereka.
Namun “kepergian” ini seringkali bukan sekadar soal ekonomi melainkan pergulatan identitas yang rumit.
Sinema sebagai Ruang Renungan
“Mulih Ka Jati, Mulang Ka Asal” menggunakan sinema bukan untuk menggurui, melainkan mengundang penonton untuk berhenti sejenak. Dalam sunyi dan keheningan desa, penonton diajak untuk mendengar suara langkah kaki Raka di pematang sawah, merasakan degup jantung Maya yang takut kehilangan kakaknya, menyaksikan pandangan kosong Ki Darsa yang menyimpan ingatan panjang keluarga.
Bahasa sinema yang digunakan sederhana: kamera statis, dialog minim, dan ritme sunyi. Namun, justru kesederhanaan inilah yang menjadi kekuatan film ini. Penonton dibiarkan mengisi makna sendiri.
Tidak ada jawaban benar atau salah, hanya ruang refleksi, ruang untuk bertanya pada diri sendiri: "Apa arti pulang bagiku?”
Salah satu keunikan film ini adalah cara ia diproduksi. Seluruh kru dan pemeran adalah anak muda Cigombong, bukan dari luar kota. Proses pengambilan gambar dilakukan sepenuhnya di wilayah Kecamatan Cigombong.
Dari rumah panggung kayu, ladang padi, jalan setapak, hingga stasiun kereta Cigombong yang menjadi saksi banyak perpisahan dan kepulangan.
Lewat bahasa sinema yang lembut dan reflektif, Mulih Ka Jati, Mulang Ka Asal menampilkan wajah Cigombong sebagai ruang batin: tempat manusia bernegosiasi dengan perubahan, nilai kultural, dan waktu.
Film ini bukan kisah besar dengan konflik meledak, tetapi sebuah renungan panjang tentang pilihan-pilihan kecil yang membentuk kemanusiaan.
Cerita tentang Raka dan Keluarganya
Tokoh utama, Raka (Ahmad Fauzan), adalah pemuda desa yang hidup di persimpangan. Ia ingin merantau dan mencari kehidupan baru di kota. Namun, hatinya masih tertambat pada rumah, sawah, dan keluarganya: sang adik Maya (Salsya Billa) dan kakek mereka Ki Darsa (Wardi), penjaga ingatan keluarga yang nyaris habis dimakan usia. Hadir pula Dewi (Cinta Alika Azhura), teman Maya, yang menjadi saksi diam sekaligus biang kerok pergulatan batin itu.
Melalui keseharian desa di antara percakapan sederhana, doa yang lirih, dan kerja di tanah, film ini memperntontonkan ketegangan halus antara ambisi dan pengabdian, antara masa depan dan asal-usul.
Mulih Ka Jati, Mulang Ka Asal mengajak penonton untuk berhenti sejenak dan mendengarkan kembali suara yang pelan, tetapi abadi: suara asal. Film ini merefleksikan bahwa rumah tidak selalu berarti tempat untuk kembali, melainkan ruang untuk memahami siapa kita sebenarnya.
Dari Tanah Cigombong untuk Layar Festival
Film ini diproduksi secara kolaboratif oleh para sineas muda Cigombong dengan dukungan masyarakat setempat.
Seluruh kru-pemeran berasal dari Kecamatan Cigombong. Begitu pula tempat pengambilan gambar, menjadikan film ini bukan hanya karya sinema. Namun, perayaan terhadap tanah yang menumbuhkan kesadaran dan kebersamaan.
Partisipasi film ini juga mendapat dukungan penuh dari Camat Cigombong, R. E. Irwan Somantri, S.STP, dan Ketua Karang Taruna Kecamatan Cigombong, Rudi Hendarsyah, SH, yang memberikan apresiasi atas semangat generasi muda Cigombong dalam menghadirkan karya berakar pada nilai budaya lokal.
Mulih Ka Jati, Mulang Ka Asal menjadi suara lembut dari selatan Bogor. Tentang cinta yang sederhana, kehilangan yang tiba-tiba, dan keyakinan bahwa setiap langkah manusia, cepat atau lambat, akan selalu mengarah ke rumahnya sendiri.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News