Pada kehidupan sehari-hari, tentu sudah tak asing dengan istilah thrifting. Dalam beberapa tahun terakhir, istilah thrifting semakin akrab di telinga masyarakat Indonesia, terutama di kalangan generasi muda.
Gaya hidup ini merujuk pada kebiasaan membeli pakaian bekas, baik lokal maupun impor, yang dianggap lebih murah, unik, dan berkelanjutan secara lingkungan. Fenomena thrifting sebagai fashion lifestyle dalam studi tentang budaya konsumen dan tren mode (Hidayatululfa, 2022); (Zahro, 2022); (Nadhila et al., 2023).
Kata thrift sendiri diambil dari kata thrive yang memiliki arti berkembang atau berkemajuan. Thrift juga memiliki arti hemat. Sedangkan kata thrifting diartikan sebagai cara efektif menggunakan uang dan barang lainnya dengan baik dan efisien. Thrifting juga dapat diartikan aktivitas membeli barang bekas (Putri & Patria, 2022: 125-126) dan (Putri & Agustin, 2023: 1460)
Budaya lokal Indonesia menekankan kesederhanaan, gotong royong, tidak boros, dan pemanfaatan sumber daya yang ada. Fenomena thrifting bisa dilihat sebagai manifestasi nilai‐nilai tersebut dengan memakai kembali barang yang masih layak, bukan langsung buang atau konsumsi baru. Ini sejalan dengan nilai “tidak berlebihan” yang bisa dihubungkan ke sila ke-5 (keadilan sosial) dan sila ke-2 (kemanusiaan yang adil & beradab).
Di sisi lain, bagian dari budaya konsumtif global (fast fashion) menimbulkan limbah dan tekanan terhadap lingkungan. Kesadaran lingkungan yang muncul di kalangan milenial dan Gen Z sebagai alasan memilih thrift menunjukan adanya transformasi nilai dalam masyarakat.
Namun, di balik meningkatnya popularitas thrifting, muncul pula kontroversi seputar dampaknya terhadap industri lokal, legalitas barang impor, dan nilai-nilai kebangsaan. Jika ditinjau dari sudut pandang ideologi negara, yaitu Pancasila maka sebagai berikut.
Gaya Hidup, Ekonomi, dan Ideologi
Thrifting tidak semata-mata gaya hidup hemat. Ia juga menjadi bentuk ekspresi sosial yang mencerminkan pergeseran nilai konsumsi masyarakat, dari membeli barang baru menjadi mencari nilai fungsional dan estetika dari barang bekas.
Beberapa pelaku thrifting bahkan mengklaim bahwa aktivitas ini merupakan wujud kepedulian terhadap lingkungan, karena turut mengurangi limbah tekstil dari industri fast fashion. Dalam kerangka Pancasila, hal ini dapat dikaitkan dengan sila kedua dan kelima yaitu “Kemanusiaan yang adil dan beradab” serta “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” karena mencerminkan tanggung jawab sosial dan pemerataan akses terhadap kebutuhan sandang. Namun, realitasnya tidak sesederhana itu.
Banyak barang thrift di Indonesia ternyata berasal dari impor ilegal, terutama pakaian bekas dari negara-negara Barat. Menurut Kementerian Perdagangan, impor pakaian bekas dilarang melalui Permendag No. 51/M-DAG/PER/7/2015 karena dianggap merugikan industri tekstil lokal dan tidak memenuhi standar kebersihan. Hal ini menciptakan dilema.
Di satu sisi, thrifting membuka peluang usaha baru dan memberikan akses pakaian murah bagi masyarakat berpenghasilan rendah dan di sisi lain, ia berpotensi melemahkan daya saing produsen dalam negeri.
Thrifting dan Nilai Keadilan Sosial
Dari sudut pandang ideologi negara, aktivitas ekonomi rakyat dikelola untuk kemakmuran masyarakat Indonesia. Dalam konteks ini, thrifting memiliki sisi positif karena menciptakan lapangan kerja informal bagi banyak pelaku usaha kecil, dari penjual pasar loak hingga pemilik toko daring.
Aktivitas ini juga memberikan opsi pakaian layak pakai dengan harga terjangkau, yang menjangkau kelompok masyarakat yang tidak mampu membeli produk baru. Namun, keadilan sosial tidak hanya soal akses bagi konsumen, tetapi juga perlindungan bagi produsen lokal. Ketika pakaian bekas impor membanjiri pasar dengan harga sangat murah, UMKM dan industri tekstil dalam negeri kesulitan bersaing.
Dalam jangka panjang, ini dapat menciptakan ketimpangan ekonomi, pengangguran, dan ketergantungan terhadap produk asing. Di sinilah negara harus hadir, sebagaimana ditegaskan dalam sila kelima Pancasila, dengan kebijakan yang adil bagi semua pihak.
Nasionalisme dan Globalisasi
Fenomena thrifting juga menggambarkan tarik-ulur antara nasionalisme dan globalisasi. Banyak anak muda Indonesia memilih pakaian thrift karena mereknya internasional dan terkesan eksklusif. Identitas nasional pun mulai terpinggirkan oleh gaya hidup yang dipengaruhi budaya konsumsi global.
Padahal, sila ketiga Pancasila yang berbunyi “Persatuan Indonesia”menuntut adanya kesadaran kolektif terhadap pentingnya mencintai produk dalam negeri sebagai bagian dari ketahanan ekonomi nasional. Ini bukan berarti thrifting harus diberantas, tetapi perlu dikembalikan ke jalurnya yang sesuai dengan semangat kemandirian dan keberlanjutan.
Thrifting yang sehat adalah yang berbasis lokal, yaitu pakaian bekas dari masyarakat Indonesia, disortir, dicuci ulang, dan dijual kembali secara etis. Model ekonomi sirkular semacam ini justru sejalan dengan nilai-nilai Pancasila seperti gotong royong, efisiensi sumber daya, dan kemandirian ekonomi.
Peran Negara dan Kesadaran Kolektif
Negara memiliki tanggung jawab untuk menciptakan ekosistem ekonomi yang adil dan beradab. Pemerintah dapat memperkuat pengawasan terhadap impor ilegal. Di saat yang sama, masyarakat juga perlu diedukasi agar tidak hanya membeli karena tren, tetapi juga mempertimbangkan dampaknya terhadap ekonomi nasional dan lingkungan.
Lebih jauh, para pelaku usaha thrift sebaiknya didorong untuk bermitra dengan pelaku UMKM lokal, menciptakan kolaborasi antara produk baru dan barang daur ulang, sehingga nilai tambah ekonomi dapat tetap terjaga. Ini sejalan dengan semangat sila keempat Pancasila: musyawarah dan kebijaksanaan dalam mengelola perbedaan kepentingan.
Penutup
Thrifting adalah fenomena sosial-ekonomi yang kompleks, penuh dinamika antara kepentingan konsumen, produsen, dan negara. Jika ditangani dengan bijak, ia dapat menjadi bagian dari solusi atas masalah ekonomi dan lingkungan.
Namun jika dibiarkan tanpa regulasi dan kesadaran ideologis, ia bisa menjadi ancaman bagi keberlangsungan industri lokal dan nilai kebangsaan. Dalam terang Pancasila, kita dituntut untuk melihat thrifting bukan sekadar tren, tetapi sebagai cerminan nilai keadilan, kemandirian, dan persatuan.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News