moch aldy ma dari cigombong ke majelis sastra asia tenggara 2025 - News | Good News From Indonesia 2025

Moch Aldy MA, dari Cigombong ke Majelis Sastra Asia Tenggara 2025

Moch Aldy MA, dari Cigombong ke Majelis Sastra Asia Tenggara 2025
images info

Moch Aldy MA, dari Cigombong ke Majelis Sastra Asia Tenggara 2025


Kisah inspiratif datang dari seorang pemuda di Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor. Di sini terdapat seorang penyair muda yang menulis puisi tentang sesuatu yang tabu: trauma lintas generasi.

Namanya Moch Aldy MA. Di tahun 2025, ia terpilih sebagai salah satu peserta Majelis Sastra Asia Tenggara (MASTERA) di Jakarta. Dari ruang sederhana di Cigombong, suaranya kini melintasi batas negara, membawa tema yang begitu dekat dengan banyak keluarga Asia: budaya pengasuhan orangtua.

“Puisi bagi saya bukan sekadar kata, melainkan cara menguji warisan. Dari ayah, saya mewarisi lengang; dari ibu, jarak yang panjang. Barangkali itulah wajah pengasuhan Asia,” ujar Aldy.

MASTERA 2025, Puisi sebagai Bahasa Bersama

 Lembar pengesahan program Mastera | sumber foto: Dok. Pribadi Moch Aldy MA
info gambar

Lembar pengesahan program Mastera | sumber foto: Dok. Pribadi Moch Aldy MA


Untuk memahami makna keterpilihan itu, kita perlu kembali menengok MASTERA. Forum ini berdiri sejak 1997 sebagai wadah kerja sama sastra regional yang diinisiasi Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, Singapura, dan Thailand.

Tujuannya sederhana tetapi penting: mempertemukan suara-suara sastra Asia Tenggara dalam ruang dialog yang melampaui batas negara dan bahasa.

28 tahun kemudian, MASTERA 2025 digelar di Jakarta pada 1–5 September. Tema tahun ini adalah puisi, genre yang dianggap mampu menyalurkan pengalaman personal sekaligus kolektif. Ada 22 peserta terpilih: 18 dari Indonesia, dua dari Brunei Darussalam, dan dua dari Malaysia.

baca juga

Tahun ini, Singapura yang biasanya menjadi bagian dari forum MASTERA tidak mengirimkan pesertanya, sehingga hanya 3 negara yang hadir: Indonesia, Brunei Darussalam, dan Malaysia.

Kegiatan ini bukan sekadar pertemuan, sebab dipandu oleh para pembimbing lintas negara: Encik Zainal Bin Palit (Malaysia), Mohd. Noor Sham (Brunei Darussalam), serta Nenden Lilis Aisyah, Cecep Syamsul Hari, dan Agus R. Sarjono (Indonesia).

Kehadiran mereka memberi nuansa intergenerasional, sementara Sutardji Calzoum Bachri, Presiden Penyair Indonesia yang dikenal sebagai “raja mantra” hadir sebagai penceramah utama, memperkuat posisi puisi sebagai pusat pertemuan lintas budaya.

Dalam forum ini, Aldy mengirimkan 10 puisi yang mewakili suaranya: mulai dari kegelisahan tentang ayah dan ibu, pertanyaan tentang maskulinitas, hingga musik sebagai mesin ingatan.

10 puisi itu menjadi pintu masuk untuk mengenali lanskap emosional dan kultural yang ia tawarkan.

Maskulinitas yang Sunyi

 Materi program Mastera | Sumber foto: Dok. Pribadi Moch Aldy MA
info gambar

Materi program Mastera | Sumber foto: Dok. Pribadi Moch Aldy MA


Rumah dalam puisi Aldy tidak selalu hadir sebagai ruang damai. Ia kerap tampil sebagai lanskap sunyi, penuh jarak, dan sarat tanda tanya.

Puisi ini tidak sekadar catatan intim, melainkan refleksi tentang maskulinitas yang sunyi. Rokok, teras malam, dan tatapan jauh menjadi simbol coping mechanism cara laki-laki Asia menanggung beban tanpa air mata.

Ada jarak generasi di sini: sang anak menyaksikan, tetapi tidak mengerti. Ayah menjadi figur yang ditafsirkan, bukan diajak bicara. Puisi ini memotret warisan diam yang sering menjadi pola pengasuhan di banyak keluarga Asia Tenggara.

baca juga

Jarak yang Lebih Panjang daripada Waktu

Ayah dan Ibu hadir dalam puisi Aldy lewat absensi. Dalam "Mengingat Akar", Aldy menuliskan keduanya sebagai jarak yang tak pernah benar-benar bisa dijangkau:

sayang tak ada anak, yang mampu menyibak mengapa jarak lebih panjang dan lebih lengang ketimbang waktu

Metafora “akar” menunjukkan ikatan yang tersembunyi: ada, memberi kehidupan, tetapi sulit diraba. Kasih sayang ibu hadir sebagai melankolia, bukan kedekatan.

Puisi ini memperlihatkan sisi lain dari konstruksi ibu Asia yang sering diagungkan sebagai sumber cinta tanpa batas. Aldy menyingkap ambivalensi itu: cinta memang ada, tapi tak jarang dibatasi oleh jarak emosional atau kondisi sosial.

Puisi ini sangat singkat, hampir seperti fragmen. Namun, justru karena ringkas itulah ia menimbulkan gema panjang. Ada kontras tajam antara darah dan rumah.

Darah adalah simbol ikatan biologis yang tak terbantahkan, sementara rumah adalah simbol sosial—ruang bersama yang seharusnya menghidupi, tetapi dalam puisi ini justru menjadi tempat ikatan itu memudar.

Aldy secara liris seperti ingin mengatakan: ayah dan ibu selalu mengalir dalam darah seorang anak, tetapi tidak selalu hidup dalam rumah. Biologi dan emosi tidak selalu berjalan beriringan. Ada keluarga yang tetap ada secara biologis, tetapi rapuh secara emosional.

Menggugat Maskulinitas: Racun di Tubuh Lelaki

Jika puisi tentang ayah dan ibu mengajak kita membaca ulang pengasuhan, maka apakah maskulinitas sebenarnya? mengangkat pertanyaan yang lebih luas:

tapi siapa yang menaruh racun di tubuh para lelaki? siapa yang menggambar batas-batas, ini jantan dan itu perempuan kemudian memberi nama: maskulinitas

Di sini Aldy tidak hanya menulis tentang ayahnya, tetapi juga tentang sistem budaya yang membentuk ayah-ayah di Asia. “Racun” adalah simbol warisan nilai yang mengekang tubuh laki-laki: tangis dianggap lemah, kelembutan dianggap tidak jantan.

Puisi ini bersuara politis tanpa slogannya. Ia menantang norma pengasuhan yang membatasi, sambil membuka ruang bagi generasi baru untuk mendefinisikan ulang apa arti menjadi laki-laki dan perempuan.

Dalam "Mendengar The Strokes", ia menulis: seseorang bernama ayah dan ibu mengucap maaf, suaranya parau macam lift tua yang turun tanpa tahu lantai mana yang dituju. Bunyi gitar dan drum menjadi metafora tentang keluarga yang retak. Musik menutupi tangis, tapi juga mendendangkan luka. Di sini terlihat bahwa bahkan ketika Aldy menulis tentang band rock internasional, sesungguhnya ia tetap sedang menulis tentang rumah.

Moch Aldy MA bukan hanya penyair. Ia adalah pendiri Gudang Perspektif, ruang diskusi lintas disiplin yang melibatkan berbagai kalangan di Cigombong. Ia juga menjadi editor fiksi di Omong-Omong Media dan editor buku di OM Institute.

Karya-karyanya telah terbit di berbagai media nasional dan puisinya pernah dipamerkan dalam Festival Seni-Sastra Bogor Creative Center. Aldy juga pernah menjadi juri cerpen dalam Festival of Arts & Sports Universitas Indonesia.

Kiprah ini memperlihatkan konsistensi: menulis, mengedit, sekaligus menghidupi ruang percakapan sastra. Keterpilihan di MASTERA hanyalah keberlanjutan dari perjalanan panjang itu.

baca juga

Dari Rumah ke Forum Regional

Kini, lewat MASTERA 2025, Aldy membawa suara kecil dari Cigombong ke forum regional. Puisinya yang lahir dari percakapan sunyi dengan ayah, dari jarak dengan ibu, dari dentum musik di kamar, kini bersanding dengan karya penulis lain dari sesama Indonesia maupun dari Brunei Darussalam dan Malaysia.

Kehadiran pembimbing senior dan Sutardji Calzoum Bachri sebagai penceramah utama memberi bobot simbolis: suara muda diuji, dipertajam, sekaligus diberi ruang. MASTERA menjadi tempat di mana pengalaman personal dipertemukan dengan identitas kolektif Asia Tenggara.

“Saya dibesarkan bukan untuk mendengar kata, melainkan membaca tanda. Dari keduanya saya belajar, bahwa barangkali kasih sayang sering berwujud isyarat samar,” tutup Aldy.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

BA
KG
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.