Fajar baru saja menyentuh langit Desa Karangjengkol ketika suara ketukan kayu dan dentingan panci mulai terdengar dari sudut-sudut rumah warga. Dari balik pekarangan yang masih diselimuti embun, kepulan asap tipis menjulang dari tungku sederhana. Di atasnya, nira hasil sadapan semalam perlahan mendidih, mengeluarkan aroma manis yang khas, aroma yang bagi warga Karangjengkol bukan sekadar bau dapur melainkan pertanda harapan.
Sebagai bagian dari program Desa Sejahtera Astra (DSA), Karangjengkol mulai dikenal karena keberhasilannya memaknai gula kelapa bukan sekadar komoditas, melainkan gerakan ekonomi desa yang hidup dan berkelanjutan. Pengakuan semakin kuat ketika desa ini meraih Juara 1 dalam Festival Astra 2025 kategori Inovasi Kewirausahaan Berbasis Masyarakat.
Melalui gagasan “Gula Kelapa Experiential Tourism”, desa ini menghadirkan pendekatan baru, yaitu produksi gula kelapa dijalankan bukan semata sebagai kegiatan ekonomi, melainkan sebagai pengalaman budaya yang mengundang keterlibatan, kebanggaan dan rasa kepemilikan bersama. Dari momentum inilah, cerita Karangjengkol mulai bergeser, dari dapur-dapur kecil di Purbalingga menuju panggung yang lebih luas.
Gula Kelapa di Purbalingga
Kawan GNFI, pada tahun 2025, Kabupaten Purbalingga Jawa Tengah, menjadi salah satu wilayah yang masuk dalam program Desa Sejahtera Astra (DSA). Sejumlah desa, seperti Karangjengkol, Limbangan, Candiwulan, Karanggambas, Gandasuli, Karangklesem, Sokawera, hingga Penambongan, ditetapkan sebagai bagian dari inisiatif pemberdayaan ekonomi masyarakat yang digagas oleh PT Astra Internasional Tbk.
Program Desa Sejahtera Astra (DSA) merupakan inisiatif dari Astra yang dirancang untuk mendorong kemandirian ekonomi desa melalui pendampingan dan penguatan potensi lokal. Program ini menghadirkan pelatihan, akses pasar, dan dukungan pengembangan komoditas agar masyarakat mampu meningkatkan nilai tambah produk mereka. Dalam konteks Purbalingga, program ini diarahkan untuk menguatkan ekosistem gula kelapa, mulai dari peningkatan keterampilan petani, standarisasi produksi, hingga membuka akses pasar yang lebih luas.
Hampir seluruh wilayah di Purbalingga memiliki petani gula kelapa yang aktif memproduksi komoditas ini. Gula kelapa dari Purbalingga memiliki ciri khas rasa yang manis dan aroma yang lebih harum dibandingkan daerah lain, menjadikannya komoditas unggulan daerah. Untuk meningkatkan nilai jual, pemerintah setempat melakukan pendampingan agar produksi tidak hanya berbentuk gula batok tradisional, tetapi juga dikembangkan menjadi gula kelapa kristal atau palm sugar yang memiliki nilai ekonomi lebih tinggi. Pendampingan ini mencakup peningkatan kualitas produksi tanpa campuran kimia, sehingga palm sugar dari Purbalingga diposisikan sebagai produk gula sehat yang berdaya saing.
Dari Purbalingga Menuju Panggung Dunia
Kawan GNFI, dahulu kala, gula kelapa dianggap sebagai produk konsumsi rumah tangga di wilayah pedesaan, namun kini memasuki babak baru sebagai komoditas bernilai ekspor tinggi. Menurut Kementerian Perdagangan RI (2024), produk turunan kelapa, termasuk gula kelapa menunjukkan tren pertumbuhan ekspor positif dan menempati ceruk khusus dalam pasar pemanis alami global.
Desa-desa produsen gula kelapa seperti Karangjengkol telah mulai bertransformasi dari sekadar produsen gula cetak menuju penghasil gula kristal organik yang memenuhi standar ekspor. Pemerintah Purbalingga melalui kanal resminya merilis data ekspor sebanyak 24 ton gula kelapa ke Belanda (Agustus 2025) dan 25 ton ke Amerika Serikat (September 2025). Hal ini menjadi bukti bahwa produk desa memiliki daya saing global jika masuk melalui skema nilai tambah dan sertifikasi mutu.
Menurut Fajrian Hardiansyah (2018) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa produktivitas petani gula kelapa di wilayah Karangjengkol dapat mencapai 18–25 liter nira per pohon per hari, dengan potensi pengolahan menjadi gula semut bernilai jual empat kali lipat dari gula cetak tradisional. Secara sosial ekonomi, rantai pasok gula kelapa melibatkan banyak pelaku lokal, mulai dari penderes, pengolah, hingga koperasi desa, sehingga peningkatan akses ekspor berpotensi langsung meningkatkan pendapatan rumah tangga petani.
Tren global yang semakin menekankan sustainability, fair trade dan traceability membuka ruang narasi baru bagi gula kelapa Indonesia, komoditas desa berbasis kearifan lokal, produksi rendah jejak karbon dan inklusif secara sosial. Jika dikembangkan melalui penguatan standardisasi mutu, branding berbasis cerita desa (storytelling product) dan penguatan akses pasar digital serta ekspor langsung, gula kelapa tidak hanya menjadi komoditas, tetapi juga ikon ekonomi desa yang menembus pasar dunia.
#kabarbaiksatuindonesia
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News