Manusia dan alam harus senantiasa dalam keseimbangan tanpa saling merusak. Inilah yang dilakukan lulusan Universitas Gajah Mada, Ritno Kurniawan.
Tamat dari perguruan tinggi, Ritno kembali ke tanah asalnya di Sumatera Barat untuk mengabdian ilmunya. Namun, upaya ini tidak mudah karena bertentangan dengan budaya dan pemangku adat setempat. Ritno melawan arus yang deras.
Sekitar 14 tahun silam, ia melihat masyarakat setiap hari menebang pohon di hutan dan menjualnya sebagai sumber penghasilan utama. Tidak kurang dari 15-20 kayu setiap harinya mengalir melewati sungai di Korong Gamaran, Nagari Salibutan, Kecamatan Lubuk Alung, Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat. Ia juga menyatakan dalam video singkat YouTube SATU Indonesia bahwa hampir 90% warga di sekitar kawasan bermata pencaharian sebagai penebang kayu.
Panggilan Hati Ritno
Dengan melihat kondisi lingkungan yang semakin terancam, Ritno merasa terpanggil untuk melakukan perubahan. Optimismenya timbul setelah ia melihat potensi yang dapat dikembangkan dari beberapa air terjun di Hutan Gamaran, salah satunya bernama Nyarai. Hutan seluas 2.800 hektare ini memiliki potensi yang besar tidak hanya pada sisi keindahan alamnya tetapi juga keunikannya dengan primata khas yang hidup di Hutan Gamaran. Ditambah ketika dulu masih berkuliah di Universitas Gajah Mada, Ritno melihat keberhasilan Kawasan Ekosistem Gubung Api Purba Nglanggeran memajukan daerahnya. Melihat kondisi alam Nagari Salibutan ini, Ritno yakin wilayah Hutan Gamaran ini bisa menjadi kawasan ekowisata dan membangun perekonomian masyarakat yang lebih memperhatikan kelestarian alam.
Dalam mewujudkan ambisinya, Ritno berinisiasi untuk membentuk kawasan ekowisata. Untuk mewujudkannya, ia membentuk Pokdarwis (kelompok sadar wisata) LA Adventure (Lubuk Alung) dan mengajak warga untuk sama-sama membangun Desa Wisata Nyarai.
Tantangan Mewujudkan Keseimbangan
Namun, niat baik Ritno tentu menghadapi hambatan. Ritno tidak hanya sulit meyakinkan warga setempat untuk mengganti pekerjaan mereka, tetapi ia juga berseberangan pendapat dengan ninik mamak (pemangku adat). Mengingat kawasan hutan tersebut adalah tanah ulayat dan kawasan hutan lindung. Walaupun demikian, karena keras dalam tekad ia mendapatkan dukungan demi dukungan. Salah satunya dengan memperoleh izin atas pengelolaan Hutan Gamaran yang masuk wilayah hutan lindung dari Dinas Kehutanan Sumbar. Setelah mendapatkan dukungan, Ritno dan warga membangun Desa Wisata Nyarai sebagai kawasan ekowisata di Kecataman Lubuk Alung.
Desa Wisata Nyarai, Simbol Keseimbangan
Upaya membangun dan mengembangkan kawasan ekowisata ini semakin hari semakin banyak mendapatkan dukungan. Ini terlihat dengan semakin banyaknya penebang kayu beralih menjadi pemandu wisata. Desa Wisata Nyarai ini sudah memiliki setidaknya 170 pemandu dan 80% berasal dari mantan pembalak liar. Dalam sebulan, kawasan ekowisata ini mencapai kunjungan rata-rata 1.500-2.000 orang. Setiap orang dikenakan biaya Rp30.000 untuk memandu perjalanan ke Air Terjun Nyarai. Biaya tersebut belum masuk yang ingin ikut rafting. “Untuk rafting ada sekitar 200 hingga 400 orang yang datang setiap bulan. Per orang dikenakan biaya Rp180.000,” keterangan Ritno dalam HarianSinggalang.
Selain kegiatan tersebut, pengunjung juga dapat melakukan hal menarik lainnya juga lho Kawan GFNI. Pengunjung juga bisa berkemah, memancing, ataupun melihat beragam burung khas yang berlalu lalang di hutan. Uniknya untuk meningkatkan minat, pada enam bulan pertama dibuka, pengunjung diberikan akses gratis masuk dan berwisata di Desa Nyarai. Selain wisata alam, pengunjung juga dapat menyaksikan wisata budaya dengan memesan tiket khusus dari pengelola. Pengunjung akan melihat penampilan Silek Tuo Nyarai yang ditujukan untuk edukasi bela diri silek anak nagari Desa Wisata Nyarai, keren banget ya Kawan!
Hasil usahanya berbuah manis. Ritno dapat mewujudkan keseimbangan ekonomi dalam mata pencaharian warga dan alam secara berdampingan. Ia menyatakan dalam cuplikan YouTube SATU Indonesia bahwa pendapatan masyarakat jauh lebih baik. Dulunya para pemalak kayu mendapatkan Rp150.000 per minggu, kini bekerja sebagai pemandu wisata mendapatkan Rp50.000-Rp80.000 per hari.
Penghargaan untuk Sang Inisiator
Atas keberhasilan yang sangat luar biasa, pada tahun 2017 ia menjadi salah satu penerima penghargaan Satu Indonesia Award Astra Indonesia dengan julukan Transformer Pembalak Liar. Julukannya tersebut didasarkan pada usahanya yang dapat mengubah pekerjaan pembalak liar menjadi pemandu wisata di Dewa Wisata Nyarai.
Dari kisah perjalanan Ritno mewujudkan optimismenya ini semoga kita dapat menjadi bagian dari perjuangan alam seperti yang dilakukan olehnya.
#kabarbaiksatuindonesia
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News