Umah Budaya Kaujon berkolaborasi dengan Oi! Patisserie & Group untuk mengadakan pameran gastronomi bertajuk “Jelajah Rasa Kolonial” di Umah Budaya Kaujon, Sabut (11/10/2025). Pameran kuliner ini merupakan bagian dari program Sasaka Cibanten bagian Tengah yang digagas oleh Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah VIII.
Puluhan peserta yang berasal dari berbagai kota/kabupaten di Banten hadir sore itu di Umah Kaujon. Susunan acara terbagi menjadi jelajah koleksi Umah Kaujon, lalu menyantap hidangan khas tempo dulu.
Umah Kaujon dulunya merupakan rumah keluarga Djajadiningrat, priyayi berkedudukan tinggi di masa kolonial. Rumah ini menjadi saksi sejarah perkembangan dan peralihan kependudukan di Indonesia, khususnya di Kota Serang. Kini, Umah Kaujon menjadi wadah bagi ruang kolektif seni, budaya, dan komunitas di Kota Serang yang aktif mengadakan berbagai kegiatan.
Mula-mula, pengunjung diajak untuk menelusuri koleksi yang dimiliki oleh Umah Kaujon. Dipandu oleh seorang edukator, Wafa, koleksi Umah Kaujon terentang dari aneka koleksi pribadi milik Keluarga Djajadiningrat.

Pengunjung menelusuri ragam koleksi di Umah Budaya Kaujon. | Foto: Dokumentasi Pribadi/Gianluigi Fahrezi
Resep yang dimasak dalam pameran tersebut disadur dari buku masak milik Umah Kaujon. Wafa menyebut, buku yang ditulis Raden Dewi Soelaeha Prawiranegara sekitar tahun 1935 ini memuat 145 resep yang memadukan kuliner Sunda, Indonesia, dan Belanda.
“Saat ini, sedang dilakukan upaya restorasi buku resep tersebut oleh pihak Umah Kaujon,” tuturnya.
Terdapat berbagai hidangan yang disediakan mulai dari makanan pembuka, hidangan utama, sampai makanan cuci mulut. Masing-masing sajian memiliki kombinasi rempah yang kaya dan membuat lidah pengunjung menari dengan kehangatan.

Pengunjung mula-mula menikmati huzaren sla, olahan salad sayuran segar terdiri dari wortel, kentang, nanas, telur rebus, serta acar bit yang dipadu dengan saos kuning telur. Dilansir dari catatan yang tersedia, hidangan ini semula merupakan makanan bagi tentara Belanda yang sedang melaksanakan tugas militer di Eropa.
Kini, resep huzaren sla telah disesuaikan dengan lidah orang Indonesia dan ketersediaan sayuran lokal.
Menemani huzaren sla yang segar, Umah kaujon juga menyajikan croquette (kroket) sebagai makanan pembuka. Pada versi Belanda, bola-bola bundar tersebut disajikan dengan isian ragout daging sapi yang lembut dan creamy.
Beralih ke hidangan utama, pengunjung dapat menjajal angeun lada. Rasa segar dan pedas angeun lada semakin lengkap ditambahkan dengan bumbu dari daung walang yang memberikan aroma dan cita rasa khas. Berbeda dengan semur daging, angeun lada khas Banten menggunakan daging kerbau sebagai sumber proteinnya.
Sensasi gurih, pedas, segar berpadu dalam setiap kunyahan. Kelembutan daging kerbau berpadu dengan padatnya lontong yang menyerap semua bumbu kuah dalam satu gigitan.
Beragam menu yang disajikan telah melalui proses akulturasi antara kebudayaan barat dan Nusantara. Masing-masing sajian memiliki profil rempah yang kuat, mulai dari pala, adas manis, cengkeh, dan kayu manis memperkaya rasa dan aroma, memuaskan tidak hanya lidah tetapi juga indra penciuman.
Edukator Umah Budaya Kaujon Mita Marwiah menyebut, rempah-rempah Nusantara memiliki ciri khas dan berperan dalam membentuk sejarah kuliner dan sejarah Indonesia sendiri.
“Misalnya cengkeh yang endemik berasal dari Indonesia, atau pala yang pernah dijadikan alat tukar Pulau Manhattan yang semula merupakan wilayah jajahan Kolonial Belanda,” tuturnya.

Pengunjung menyimak paparan dari edukator di Umah Budaya Kaujon. | Foto: Dokumentasi Pribadi/Gianluigi Fahrezi
Mita menambahkan, Banten juga memiliki rempah khas yang membawa Banten ke dalam perdagangan rempah dunia, yaitu lada.
“Bahkan, lada Banten pernah digunakan sebagai alat transaksional untuk membeli meriam Inggris pada masa kesultanan,” tuturnya.
Itulah kenapa sajian pencuci mulut yang dipamerkan kala itu juga tidak bisa lepas dari rempah. Ada spekkoek, biasa dikenal sebagai kue lapis, speculaas atau kue kering dengan cita rasa rempah yang kaya, serta roti gambang.
Mita menjelaskan, salah satu hal menarik di zaman kolonial adalah spekkoek yang menjadi salah satu ciri dari kelas sosial masyarakat.
“Jika pada saat itu di rumahnya ditemukan spekkoek, biasanya mereka berasal dari status sosial yang tinggi,” tuturnya.
Campuran rempah kayu manis, cengkeh, pala, kapulaga, dan jintan manis memberingan rasa hangat yang khas pada spekkoek, berbeda dari kue lapis kebanyakan. Mulanya, makanan ini hanya disajikan pada hari-hari perayaan besar atau dijadikan hadiah Istimewa.
Ada juga speculaas yang memiliki tekstur kering dan renyah. Bentuknya kecil menyerupai bintang berwarna kecoklatan. Saat digigit, ledakan rasa rempah-rempah langsung memenuhi langit-langit mulut, membawa sensai makan menjadi tidak terlupakan.
Sajian terakhir adalah roti gambang. Mita menyebut, penamaan roti ini terinspirasi karena bentuk rotinya mirip dengan bilah-bilah kayu pada alat musik gambang.
Roti gambang sendiri merupakan adaptasi dari teknik pembuatan roti di Eropa. Berbeda dnegan roti Eropa yang bertekstur lembut dan bermentega, tekstur kudapan ini renyah di luar dan lembut di dalam. Rasa manis dari gula merah dan aroma kayu manis menciptakan sensasi penuh ketika mengunyahnya.
Salah satu peserta pameran asal Rangkasbitung, Mandalika Hany, mendapatkan informasi kegiatan ini dari unggahan temannya di media sosial. Baginya, ini merupakan pertama kalinya ia berkunjung ke Umah Budaya Kaujon.
“Baru tahu kalau di sini ada koleksi-koleksinya juga. Suasana museumnya bagus, intimate,” tuturnya.
Dari sekian makanan yang telah dicoba, Manda mengaku tertarik dengan minuman soda rempah yang disajikan oleh panitia. “Ketika minum, kita jadi menebak-nebak ada rempah apa saja di dalamnya,” sebutnya.
Ia juga tertarik dengan spekkoek yang biasa ia sebut dengan kue lapis. “Biasanya kita tahunya kue lapis, lapis Surabaya, tetapi ini lain. Ada rasa kayu manis di tiap gigitannya,” tuturnya.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News