Apakah Kawan pernah membayangkan bagaimana merasakan berjalan di ruang publik tanpa bisa melihat? Bagaimana cara mengetahui arah toilet, tangga, atau pintu keluar ketika mata tak bisa diandalkan? Bagi kebanyakan dari kita, mungkin sulit untuk membayangkannya. Tapi bagi Kawan tunanetra, itu menjadi tantangan nyata yang harus dihadapi setiap hari.
Seorang pemuda dari Jawa Barat bernama Fariz Fadhlillah melihat masalah dari perspektif yang berbeda. Baginya, aksesibilitas bukanlah sekadar hal biasa—itu adalah soal martabat dan kemandirian. Dari situlah ide untuk menciptakan Tactogram lahir dan mengubah pandangan kita pada desain inklusif.
Perjalanan inspiratif Fariz dalam mengembangkan Tactogram dapat Kawan saksikan lebih lengkap melalui video dokumentasi Anyang Foundation for Culture & Arts.
Semuanya Dimulai dari Kepedulian yang Sederhana
Cerita Fariz dimulai dengan fakta bahwa ia adalah seorang desainer produk dengan minat pada isu inklusivitas. Dari pandangannya, ia selalu melihat banyak guiding block atau jalur pemandu yang ada, dan ternyata, sebagian besar jalur pemandu tidak berfungsi dengan baik. Dalam salah satu wawancaranya, Fariz menyebutkan, Mengapa kita tidak membuat sesuatu yang benar-benar mempertimbangkan kebutuhan para tunanetra? Bukan hanya memenuhi syarat, tetapi sesuatu yang dapat memberi mereka kemampuan untuk berjalan dengan percaya diri?”.
Tactogram: Ketika Simbol yang Dapat "Dibaca"
Tactogram adalah sistem simbol yang bisa "dibaca" oleh tangan, bukan mata. Bayangkan ada simbol yang ditempatkan pada ruang publik dirancang agar tunanetra bisa membacanya lewat sentuhan. Kedengarannya sederhana, tapi di balik konsep ini, Fariz melakukan riset panjang dan penuh ketekunan.
Ia melakukan survei ke berbagai stasiun kereta di Bandung dan mewawancarai puluhan kawan tunanetra tentang pengalaman mereka menggunakan fasilitas publik. Hasilnya, semuanya mengeluhkan ketidakkonsistenan desain taktil yang sudah ada. Mereka sangat sulit membedakan simbol satu dengan yang lain karena teksturnya terlalu mirip atau terlalu rumit.
Dari riset itulah, Fariz mengembangkan Tactogram dengan prinsip yang jelas: sederhana, konsisten, dan universal. Setiap simbol dibuat dengan jarak dan kedalaman tekstur yang tepat, sehingga bisa dikenali dengan mudah oleh ujung tongkat atau ujung jari tunanetra.
Mengawali Inovasi dari Riset ke Aksi Nyata
Sebenarnya, yang membuat karya Fariz ini menarik bukan cuma konsepnya, tapi juga bagaimana ia mewujudkannya. Ia tidak berhenti di penelitian akademis semata. Fariz menciptakan Tac Tiles—blok pemandu yang dibuat dari bahan-bahan daur ulang. Puntung rokok bekas, pecahan beton, kain bekas, hingga serpihan kaca. Semua bahan sampah yang tidak berguna itu diubah menjadi ubin pemandu. "Kami ingin menyeimbangkan isu lingkungan dan sosial sekaligus," ujar Fariz, seperti dilansir Liputan6.com.
Dari segi kualitas, Tac Tiles memiliki daya tahan yang jauh lebih baik dibanding guiding block konvensional. Dari tes yang dilakukan, material ini bahkan bisa lebih kuat dari bahan jembatan pada umumnya. Ubin ini dirancang dengan desain anti licin yang aman dan nyaman digunakan oleh penyandang disabilitas netra.
Menariknya di tengah-tengah ubin terdapat cekungan yang disesuaikan dengan ukuran ujung tongkat tunanetra. Cekungan ini membantu menuntun mereka agar tetap berjalan sesuai jalur dengan percaya diri. Yang menarik, Tac Tiles juga dirancang agar inklusif bagi semua jenis gangguan penglihatan, bukan hanya tunanetra total. Fariz bermain dengan pemilihan warna seperti grayscale (hitam putih), kuning, dan biru—warna-warna yang direkomendasikan karena bersifat inklusif bagi Kawan yang mengalami buta warna.
Selain ramah lingkungan, inovasi ini juga lebih terjangkau dari segi produksi. Artinya, ruang publik dapat menerapkan sistem ini tanpa harus mengeluarkan biaya yang lebih besar.
Tantangan yang Tidak Mudah
Perjalanan Fariz tidak sebaik yang diharapkan. Di balik semangat dan ide-idenya, ada banyak tantangan yang harus dihadapi. Salah satu yang cukup rumit adalah soal tongkat tunanetra. Sampai sekarang, Indonesia belum memiliki standar resmi untuk ukuran atau bentuk ujung tongkat itu. Sementara di beberapa negara Eropa, hal semacam itu sudah diatur dengan jelas.
"Untuk tongkat sendiri, ada beberapa negara di Eropa yang sudah memberikan standar besaran ujung tongkatnya. Kalau di Indonesia memang belum ada standar yang diatur jadi kami mencoba agar desain (ubin) ini bersifat futuristik dan bisa diaplikasikan di negara-negara lain." jelas Fariz, seperti dilansir Liputan6.com.
Tapi masalahnya bukan hanya soal desain. Ada hal yang cukup mengkhawatirkan yaitu kesadaran kita sebagai masyarakat. Jalur pemandu tunanetra di trotoar—yang bentuknya garis-garis atau bulat-bulat kuning itu—sering kali disalahgunakan. Ada yang parkir motor di atasnya, menaruh dagangan, bahkan tertutup gerobak. Padahal bagi Kawan tunanetra, jalur itu sangat penting. Bukan cuma pajangan di trotoar, Buat mereka, itu panduan utama agar bisa berjalan mandiri tanpa harus terus-menerus minta bantuan orang lain.
Penghargaan yang Memotivasi
Perhatian tertuju pada bagaimana Fariz mendedikasikan dirinya untuk membuat inovasi yang inklusif. PT Astra International Tbk memberinya penghargaan SATU Indonesia Awards kategori Teknologi pada tahun 2024. Penghargaan ini diberikan kepada anak muda Indonesia yang berkontribusi pada masyarakat.
Bagi Fariz, penghargaan ini bukan sekadar pengakuan atas karyanya. Ini membuktikan bahwa anak muda Indonesia mampu menciptakan solusi nyata untuk masalah sosial yang terabaikan. Penghargaan ini juga memotivasinya untuk terus mengembangkan Tactogram dan Tac Tiles agar bisa digunakan di lebih banyak tempat.
"Ini baru permulaan. Masih banyak stasiun, halte, dan ruang publik lain yang perlu fasilitas inklusif seperti ini," ungkap Fariz dengan rendah hati.
Capaian ini menjadi pengingat bagi generasi muda bahwa inovasi sosial yang berdampak nyata sangat dibutuhkan. Tidak harus teknologi canggih atau modal besar—yang penting adalah kepedulian dan konsistensi.
Bisa Jadi Inspirasi untuk Kita Semua
Kisah Fariz Fadhlillah menunjukkan bahwa perubahan besar tidak selalu dimulai dari panggung besar. Kadang, cukup dari kepekaan terhadap hal kecil yang luput dari perhatian—seperti jalur tunanetra di trotoar. Fariz tidak menunggu pemerintah turun tangan. Ia langsung mulai dengan keahliannya. Lewat Tactogram dan Tac Tiles, ia membuktikan bahwa solusi tidak harus rumit atau mahal.
Kawan GNFI, kita semua bisa berkontribusi untuk Indonesia yang lebih inklusif. Dimulai dari hal sederhana: tidak parkir di jalur tunanetra, tidak menutup guiding block, atau membantu Kawan tunanetra yang kesulitan. Karena pada akhirnya, ruang publik yang baik adalah ruang yang bisa diakses semua orang—tanpa terkecuali.
#kabarbaiksatuindonesia
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News