demokrasi hak yang harus diperjuangkan setelah reformasi - News | Good News From Indonesia 2025

Demokrasi, Hak yang Harus Diperjuangkan setelah Reformasi

Demokrasi, Hak yang Harus Diperjuangkan setelah Reformasi
images info

Demokrasi, Hak yang Harus Diperjuangkan setelah Reformasi


20 tahun lebih sudah berlalu sejak Indonesia menyambut lembaran baru. Reformasi 1998 hadir membawa harapan besar untuk mengakhiri tirani dan benar-benar menegakkan kedaulatan rakyat. Kita patut berbangga dengan pencapaian seperti kebebasan pers, pemilu langsung, dan otonomi daerah yang meluas.

Akan tetapi, seiring berjalannya waktu muncul kegelisahan yang sulit diabaikan. Mengapa kualitas demokrasi kita terasa kian memburuk, padahal secara prosedur kita sudah matang?

Coba kawan GNFI amati. Hari ini, kita menyaksikan hukum dan konstitusi bisa saja 'ditafsirkan ulang' hanya untuk mengakomodasi kepentingan segelintir elite. Praktik politik dinasti semakin marak, menutup peluang bagi mereka yang bukan berasal dari kalangan atas untuk berpartisipasi.

Yang lebih mencemaskan, ruang kritik yang dulu susah payah kita rebut kini kembali dibatasi, bahkan berusaha diredam. Ini jelas bukan pertanda demokrasi yang sehat, melainkan sinyal kemunduran (regresi) yang berbahaya.

Artikel ini bukan bertujuan untuk meratapi masa lalu, melainkan mengajak kita untuk bersikap jujur. Setelah semua reformasi prosedural kita jalankan, lantas mengapa substansi demokrasi kita malah tampak surut?

Kami berpendapat, akar masalahnya terletak pada merebaknya "virus" oligarki dan populisme yang secara perlahan telah mendominasi sistem pasca-Reformasi.

​Kelemahan mendasar pasca-Reformasi terletak pada keberhasilan kita menggulingkan dominasi politik otoriter, namun kita gagal memberantas dominasi ekonomi. Rutinitas demokrasi prosedural, ditandai oleh pemilu yang berjalan, justru berfungsi sebagai sarana investasi bagi oligarki.

Sekelompok kecil elite yang bergabung dari pengusaha dan politisi, memanfaatkan sumber daya tak terbatas mereka untuk membiayai partai, mengendalikan legislatif, dan menempatkan kerabatnya di jabatan-jabatan kunci.

​Semangat awal Reformasi bertekad memperkuat pilar-pilar pengawas dan penegak hukum, seperti KPK, Mahkamah Konstitusi (MK), dan lembaga legislatif. Ironisnya, alih-alih menjadi pelindung demokrasi, institusi-institusi ini menunjukkan gejala kemunduran kualitas.

Pelemahan KPK melalui revisi undang-undang, putusan pengadilan yang memicu perdebatan publik terkait politik dinasti, hingga penetapan undang-undang yang terkesan buru-buru dan tertutup, adalah indikasi nyata.

Hukum, yang seharusnya menjadi pedoman tertinggi, kini berfungsi sebagai instrumen untuk melayani ambisi kekuasaan.

​Era pasca-Reformasi turut diwarnai oleh revolusi media sosial. Sayangnya, alih-alih memperkaya dialog, platform digital justru menjadi ladang subur bagi populisme digital. Politisi cerdik tak lagi dituntut beradu argumen substantif, mereka cukup menciptakan narasi sederhana yang memicu polarisasi, seringkali dibantu oleh buzzer dan bot.

Fenomena ini secara perlahan melumpuhkan daya nalar kritis publik dan merusak tradisi musyawarah yang vital bagi demokrasi. Riuhnya media sosial berhasil mengalihkan perhatian dari isu-isu substansial seperti kesehatan, pendidikan, dan lingkungan hidup.

​Meskipun kita bangga dengan pelaksanaan pemilu yang teratur, dan secara statistik tingkat partisipasi pemilih terlihat tinggi, ada masalah mendasar yang tersembunyi, yaitu partisipasi tanpa substansi.

Rakyat memang memberikan suara, tetapi pilihannya terbatas pada calon-calon yang sebagian besar didukung oleh kelompok oligarki yang sama. Garis pemisah ideologi antarpartai pun menjadi kabur.

baca juga

Keterlibatan publik seolah berakhir di bilik suara, tanpa diikuti kemampuan nyata untuk mempengaruhi kebijakan publik setelah pemilu. Kondisi ini menumbuhkan sikap apatis yang terstruktur, khususnya di kalangan pemilih muda.

Jika kita berani menjawab pertanyaan reflektif, "Apa sesungguhnya yang salah dengan demokrasi kita pasca-Reformasi?" Jawabannya, sesungguhnya, melampaui sekadar masalah pergantian elite.

Kesalahan fatal kita adalah membiarkan kebebasan prosedural tahun 1998 menjadi kedok sempurna bagi munculnya bentuk tirani yang baru.

Kita berhasil menumbangkan satu tiran yang terlihat. Namun, justru kini dikepung oleh tirani kolektif tak terlihat, yaitu oligarki yang didukung oleh institusi negara yang sengaja dilemahkan.

​Meskipun sinisme dan apatisme kian merebak, pesan utama harus terus digaungkan adalah demokrasi sejati bukanlah hadiah yang diberikan, melainkan hak yang harus diperjuangkan.

Demokrasi, Hak yang Harus Diperjuangkan

​Oleh karena itu, fokus kita sekarang bukan lagi sekadar memastikan pemilu terlaksana, melainkan merebut kembali esensi kedaulatan rakyat.​ Prioritas utama adalah mengalihkan perhatian dari figur perorangan menuju penguatan sistem.

Kita harus menuntut transparansi, menentang segala upaya revisi yang melemahkan lembaga pengawas, dan memastikan Mahkamah Konstitusi benar-benar menjadi penjaga etika yang tak tertandingi.

Reformasi bukanlah kisah yang selesai di masa lalu, melainkan tanggung jawab berkelanjutan. Pesan ini khususnya dialamatkan kepada

Generasi muda jangan sekali-kali membiarkan apatisme menjadi pilihan. Setelah memberikan suara, tagihlah janji mereka. Setelah berdiskusi, kawal implementasi kebijakannya.

baca juga

​Jelas, demokrasi Indonesia sedang diuji di persimpangan jalan, menghadapi virus lama dengan samaran baru. Ini adalah momen krusial bagi kita, sebagai penerus semangat '98, untuk membuktikan bahwa kita mampu tidak hanya mengganti pemimpin, tetapi juga berani mencabut akar-akar tirani hingga tuntas.

Masa depan bangsa yang adil dan berdaulat hanya bisa terwujud melalui keberanian kolektif kita untuk menolak tunduk pada sistem yang telah disandera.

​Mari kita pastikan Kawan GNFI, bahwa sejarah reformasi kelak akan dikenang bukan sebagai kegagalan yang macet di tengah jalan. Namun, sebagai momen kebangkitan epik dimana rakyat Indonesia merebut kembali kekuasaan yang sesungguhnya milik mereka.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

AM
KG
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.