Sudah lama kita mendengar kalimat bahwa Indonesia adalah negara agraris. Namun di tengah perubahan global, krisis iklim, dan pasar yang semakin kompetitif, sebutan itu tak lagi menjamin kesejahteraan petani.
Produksi pangan memang penting, tetapi sekadar menghasilkan padi, jagung, atau sayur tidak cukup. Nilai tambah sesungguhnya muncul setelah panen, ketika hasil pertanian diolah menjadi produk bernilai ekonomi tinggi.
Di sinilah agroindustri berperan: mengubah hasil tani menjadi sumber kesejahteraan baru bagi petani dan daerah.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS, 2025), sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan memberikan kontribusi sebesar 13,83% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional dan menyerap sekitar 38,99 juta tenaga kerja atau 26,75% dari total tenaga kerja nasional.
Angka ini menunjukkan peran penting sektor pertanian dalam menopang perekonomian Indonesia. Namun, sebagian besar nilai tersebut masih berasal dari produk primer seperti gabah, kakao, dan singkong mentah, bukan dari produk olahan bernilai tambah seperti beras kemasan, cokelat, atau tepung tapioka ekspor.
Kondisi ini membuat nilai tambah terbesar justru dinikmati sektor pengolahan dan distribusi, bukan petani di tingkat produksi.
Ketika harga bahan mentah jatuh, petani menjadi pihak pertama yang merugi. Produktivitas meningkat, tetapi kesejahteraan tetap stagnan.
Pola ini menggambarkan paradoks klasik ekonomi pertanian Indonesia: kerja keras petani belum terhubung dengan sistem yang memberi nilai tambah berkelanjutan. Tanpa perubahan struktur ekonomi pertanian, hasil panen melimpah tidak otomatis berarti kesejahteraan.
Agroindustri hadir bukan sekadar sebagai pabrik pengolahan hasil tani, melainkan sistem yang menghubungkan pertanian hulu dengan pasar hilir. Melalui agroindustri, petani dapat menjadi bagian dari rantai pasok modern yang menghasilkan produk berumur simpan lebih lama, bernilai jual lebih tinggi, dan berdaya saing global.
Menurut kajian Kementerian Keuangan (2023), penguatan agroindustri memiliki peran strategis dalam meningkatkan nilai tambah produk pertanian, memperluas lapangan kerja, serta menggerakkan ekonomi daerah melalui pembangunan rantai nilai dari desa hingga industri pengolahan.
Contoh keberhasilan ini dapat dilihat pada sejumlah desa di Jawa Tengah, di mana petani singkong membentuk koperasi untuk mengolah hasil panen menjadi keripik, tepung, dan pakan ternak. Pendapatan mereka meningkat dua hingga tiga kali lipat dibanding menjual bahan mentah. Hal ini menunjukkan bahwa modernisasi pertanian tidak selalu membutuhkan pabrik besar, melainkan inovasi dan kolaborasi di tingkat lokal.
Meski potensinya besar, pengembangan agroindustri di Indonesia masih menghadapi hambatan serius. Pertama, infrastruktur pascapanen belum memadai. Kekurangan fasilitas pengeringan, penyimpanan dingin (cold storage), dan logistik efisien menyebabkan kerugian hasil panen mencapai 20–30% setiap tahun, terutama pada komoditas hortikultura (P4G Partnerships, 2025; Fakultas Pertanian UMA, 2025).
Kedua, kebijakan pertanian masih berorientasi pada peningkatan produksi, bukan nilai tambah. Menurut Kementerian Pertanian (2023), arah kebijakan pertanian selama ini lebih menekankan pada kuantitas produksi dan belum optimal mengembangkan hilirisasi serta diversifikasi produk. Pendekatan ini perlu bergeser menuju sistem berbasis nilai agar daya saing agroindustri nasional meningkat (Universitas Muhammadiyah Gresik, 2024).
Transformasi pertanian menuju agroindustri menuntut perubahan paradigma: pembangunan pertanian harus berbasis rantai nilai, bukan hanya produksi komoditas. Pemerintah daerah perlu membentuk klaster agroindustri sesuai potensi lokal—misalnya olahan pisang di Lampung, kakao di Sulawesi, atau kelapa di Maluku.
Riset dan teknologi juga berperan penting, di mana lembaga seperti BRIN dan perguruan tinggi perlu mengembangkan teknologi pengolahan sederhana, alat pengemas hemat energi, serta sistem pemasaran digital yang mudah diterapkan di desa.
Pertanian adalah fondasi, tetapi agroindustri adalah sayap yang membuatnya terbang lebih tinggi. Tanpa pengolahan, produk pertanian hanya akan berharga rendah dan mudah tergantikan oleh impor. Jika Indonesia ingin mandiri pangan dan meningkatkan kesejahteraan petani, fokusnya harus bergeser dari “berapa banyak ditanam” menjadi “berapa besar nilai yang diciptakan.” Di era global, yang bertahan bukan yang paling banyak menanam, tetapi yang paling cerdas mengolah.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News