Siang itu, ruang pelatihan di BP3MI Yogyakarta tampak ramai. Sebanyak 21 Calon Pekerja Migran Indonesia (CPMI) mengikuti kegiatan Orientasi Pra Pemberangkatan (OPP) sebelum berangkat ke luar negeri 19 orang ke Malaysia, dan dua orang ke Kroasia.
Di balik ransel dan berkas administrasi, ada semangat sekaligus kegelisahan. Mereka bukan hanya bersiap bekerja, tapi juga menata harapan baru di negeri orang. Karena itulah, OPP kali ini menghadirkan tema yang berbeda: “Mental Health dan Kesiapan Psikologis sebelum Bekerja ke Luar Negeri.”
Menguatkan mental sebelum menginjak tanah asing
Instruktur dari BP3MI Yogyakarta menekankan pentingnya kesiapan psikologis. Setiap CPMI diajak memahami tujuan hidup mereka, apakah untuk membuka usaha, melanjutkan kuliah, atau menjadi tenaga profesional seperti perawat di masa depan.
Namun, perjalanan menuju mimpi itu tidak selalu mudah. Rasa rindu keluarga (homesick), perbedaan budaya, hingga tekanan kerja adalah tantangan nyata yang akan mereka hadapi. Karena itu, para calon pekerja diingatkan untuk menyiapkan diri secara mental dan belajar mengelola stres sejak dini.
Bijak mengatur keuangan, kunci hidup tenang di perantauan
Selain materi mental health, peserta juga mendapatkan pembekalan tentang pengelolaan keuangan pribadi.Instruktur mencontohkan pentingnya membedakan antara kebutuhan dan keinginan. “Kalau ponsel Android lama masih berfungsi, tidak perlu ganti iPhone hanya demi gengsi,” ujarnya.
Pesan sederhana itu punya makna besar: dengan keuangan yang bijak, pekerja migran bisa menabung, menyiapkan dana darurat, dan terhindar dari stres finansial selama bekerja di luar negeri.
Refleksi pribadi: belajar dari semangat mereka
Sebagai mahasiswa magang yang ikut mendampingi kegiatan ini, saya belajar banyak dari semangat para CPMI. OPP bukan hanya sesi formalitas, tapi ruang pembelajaran nyata tentang bagaimana menyiapkan diri, mental, dan harapan sebelum menapaki perjalanan panjang di negeri orang. Setiap prosesnya mengajarkan bahwa keberangkatan ke luar negeri tidak sekadar soal bekerja, tetapi juga tentang kesiapan menghadapi perubahan lingkungan, budaya, dan tantangan hidup baru.
Melihat para CPMI dengan latar belakang berbeda ada yang baru pertama kali merantau, ada pula yang ingin mencoba kesempatan kedua membuat saya menyadari pentingnya dukungan dan edukasi sejak awal. Di balik senyum mereka, tersimpan keberanian besar untuk meninggalkan kenyamanan dan memulai hidup baru demi masa depan keluarga. Dari pengalaman ini, saya memahami bahwa menjadi pekerja migran adalah perjalanan mental dan emosional, yang memerlukan keteguhan hati dan tekad kuat agar bisa bertahan serta sukses di negeri orang.
Setiap calon pekerja datang dengan cerita dan impian yang berbeda. Ada yang ingin memperbaiki kondisi ekonomi keluarga, menabung untuk masa depan, atau mencari pengalaman kerja di luar negeri. Namun dari beragam alasan itu, tampak tekad yang sama keinginan kuat untuk berjuang secara resmi dan membawa perubahan hidup.
Melihat bagaimana mereka menyimak materi dengan penuh antusias membuat saya memahami bahwa menjadi pekerja migran bukan hanya soal keberangkatan, tapi juga kesiapan untuk beradaptasi dan bertanggung jawab.
Kesehatan mental menjadi hal penting dalam proses ini. Tanpa keseimbangan mental, keterampilan dan pengalaman tak akan cukup menopang perjuangan di negeri orang. Dengan pikiran yang kuat dan hati yang tenang, para pekerja migran mampu bertahan, berkembang, dan membawa pulang kebanggaan untuk keluarga serta tanah air.
Dari kegiatan ini, saya belajar bahwa pendampingan seperti OPP sejatinya adalah bentuk nyata dari upaya melindungi dan memanusiakan para pekerja migran Indonesia.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News