Program pertukaran budaya selalu menjadi topik menarik untuk dibahas karena dianggap mampu menjadi penghubung antarbangsa, tidak hanya dapat berbagi pengetahuan, tetapi juga menumbuhkan toleransi antarperbedaan budaya yang ada.
Joseph Nye, profesor dari Universitas Harvard sekaligus penggagas konsep soft power, melihat program pertukaran budaya sebagai sarana bagi negara untuk menumbuhkan pengaruh melalui daya tarik dan kerja sama, bukan melalui tekanan politik atau kekuatan militer.
Kerangka pemikiran Nye membantu kita memahami bahwa kegiatan seperti pembelajaran bahasa, praktik budaya, atau program relawan internasional tidak semata-mata bersifat edukatif. Namun, juga berfungsi menjalin ikatan kerja sama antarnegara.
Seiring meningkatnya popularitas budaya Korea di Indonesia, dinamika ini semakin terlihat nyata. Hallyu Wave yang mencakup K-Pop, K-Drama, hingga film Korea, tidak hanya menghadirkan hiburan, tetapi juga menginspirasi generasi muda Indonesia untuk mempelajari bahasa Korea dan mengenal lebih dalam warisan budayanya.
Antusiasme ini mempermudah berbagai program pertukaran budaya resmi untuk hadir di institusi pendidikan.
Ketertarikan terhadap budaya Korea kini bukan hanya membentuk pola konsumsi budaya populer, tetapi juga membuka peluang kolaborasi yang lebih terstruktur.
Sekolah kini menjadi salah satu ruang utama tumbuhnya diplomasi budaya. Di sekolah, siswa dapat merasakan pengalaman pertukaran budaya tingkat internasional tanpa perlu pergi ke luar negeri.
Melalui program semacam ini, dunia global bertemu dengan kehidupan lokal, mengubah tren populer seperti Hallyu menjadi sarana pembelajaran lintas budaya yang lebih bermakna.
Salah satunya di SMA Barunawati Surabaya, Jawa Timur, yang pada bulan Agustus kemarin baru saja menyambut kedatangan mahasiswa relawan asal Korea Selatan melalui program World Friends Korea (WFK) yang dijalankan oleh National Information Society Agency (NIA).
Melalui program ini, mahasiswa Korea mengajar berbagai bidang seperti teknologi, bahasa Korea, dan kebudayaan Korea di sejumlah negara berkembang, seperti Vietnam, Laos, dan Indonesia.
Sekolah yang ingin berpartisipasi dapat mendaftar sebagai mitra, sementara siswa yang terlibat dalam kegiatan akan menerima sertifikat resmi dari NIA setelah program berakhir.
Program World Friends Korea telah menjadi tradisi tahunan di SMA Barunawati Surabaya. Setiap tahun, sekitar 20–30 siswa terpilih melalui tes seleksi kemampuan bahasa Inggris dan Korea, serta penilaian prestasi akademik dan karakter siswa.
Kegiatan yang ditawarkan beragam: lokakarya IT memperkenalkan siswa pada robotika, coding, dan Arduino. Sementara kelas budaya memperkenalkan tradisi Korea seperti membuat makanan khas Korea yakni kimchi, mengenakan pakaian tradisional Korea yaitu hanbok, dan memainkan permainan rakyat tradisional.
Guru Bahasa Korea SMA Barunawati Surabaya, Aldila Kartika Silmi, menilai dampak program ini positif, “Menurut saya kegiatan WFK ini sangatlah tepat. Meski diajarkan oleh para mahasiswa, namun sebelum diberangkatkan ke Indonesia, mereka menerima pelatihan 3-4 hari dan mereka sudah sangat menguasai materinya. Program ini juga bagus untuk siswa di Indonesia untuk mengenal budaya asing dan mengambil hal positif untuk bisa mereka kembangkan di lingkungan mereka.”
Gelombang Hallyu juga berperan mendukung keberhasilan program. Aldila menambahkan, “Dengan adanya Korean Hallyu Wave seperti K-Pop, K-Drama, K-Movie sangat membantu siswa untuk lebih memahami bahasa dan budaya Korea. Pengaruhnya cukup besar untuk menarik minta siswa.”
Dari sudut pandang analitis, World Friends Korea memperlihatkan bagaimana soft power bekerja secara praktis. Bagi Korea, program ini menjadi sarana menampilkan daya tarik budaya dan kemajuan teknologinya.
Bagi siswa Indonesia, program ini membuka cakrawala baru, baik dalam penguasaan bahasa asing, kepekaan lintas budaya, maupun peluang studi lanjut ke luar negeri.
Namun, seperti halnya semua bentuk pertukaran budaya, ada pertanyaan kritis yang patut diajukan, apakah antusiasme terhadap budaya Korea berpotensi menutupi apresiasi terhadap tradisi lokal dan regional?
Sejauh mana sekolah perlu menyeimbangkan keterbukaan global dengan identitas nasional? World Friends Korea memperkaya pengalaman belajar. Namun, sekaligus menantang para pendidik untuk memastikan bahwa kekaguman tidak berubah menjadi konsumsi budaya yang tidak kritis.
Meski demikian, manfaatnya sulit diabaikan. Aldila menegaskan, “Harapan saya program ini dapat berlangsung dalam jangka waktu lama, mengingat jaman sekarang bahasa Inggris sudah dianggap biasa, dan siswa diharapkan bisa menguasai 2 bahasa asing selain bahasa Inggris. Dengan adanya program ini, diharapkan siswa bisa lebih terbuka pemikiran dan cita-cita, that there are so many things that you can explore if you want to try.”
World Friends Korea di SMA Barunawati Surabaya bukan sekadar kegiatan edukatif, melainkan studi kasus nyata tentang diplomasi budaya.
Program ini menunjukkan bagaimana pertukaran pendidikan mampu memberdayakan individu sekaligus mempererat hubungan antarnegara.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News