penanganan henti jantung tidak semudah di sinetron - News | Good News From Indonesia 2025

Penanganan Henti Jantung Tidak Semudah di Sinetron, Seperti Apa?

Penanganan Henti Jantung Tidak Semudah di Sinetron, Seperti Apa?
images info

Penanganan Henti Jantung Tidak Semudah di Sinetron, Seperti Apa?


Kawan GNFI pasti tidak asing dengan adegan di sinetron, di mana pasien bisa mendadak jatuh, dokter atau perawat kemudian segera menekan dada, lalu dalam hitungan detik pasien kembali bernapas. Terlihat mudah bukan?

Namun, apakah fakta ilmiahnya memang semudah itu?

Adegan Dramatis

Adegan sinetron sering kali digambarkan secara dramatis. Pasien tiba-tiba jatuh dan kolaps, lalu dokter atau perawat segera menekan dada atau terkadang memberikan sengatan listrik dengan alat yang berbentuk seperti “setrika”. Selanjutnya pasien langsung sadar dan bicara normal kembali.

Akan tetapi, hal tersebut berkebalikan dengan yang ada di lapangan. Realitanya jauh lebih kompleks. Henti jantung adalah kondisi darurat dan mengancam nyawa di mana treatment-nya tidak semudah seperti di layar kaca.

Henti Jantung

Berdasarkan American Heart Association, henti jantung merupakan kondisi di mana jantung tidak berfungsi secara mendadak dan dapat berakibat fatal jika tidak ditangani dengan cepat dan tepat.

Saat jantung berhenti berdetak, aliran darah terhenti, sehingga oksigen tidak dapat mencapai organ vital tubuh.

Kondisi ini sangat berbahaya karena kerusakan otak bisa terjadi hanya dalam waktu 4–6 menit. Kalau penanganan tidak segera dilakukan, kerusakan tersebut dapat menjadi permanen dalam 8–10 menit.

Data terbaru dari Institute for Health Metrics and Evaluation (IHME) dalam artikel yang ditulis oleh Sholikhah mengungkap bahwa pada tahun 2023, sekitar 251 dari setiap 100.000 penduduk Indonesia meninggal akibat henti jantung.

baca juga

Angka tersebut naik sekitar 1,25% dibandingkan tahun sebelumnya. Menandakan bahwa kasus henti jantung masih menjadi ancaman serius bagi kesehatan masyarakat.

Pentingnya Resusitasi Jantung Paru

Resusitasi Jantung Paru (RJP) adalah pertolongan pertama yang diberikan pada kasus henti jantung.

Adapun pertolongan pertama adalah langkah awal penyelamatan yang diberikan saat seseorang mengalami keadaan darurat, sebelum petugas medis datang atau sebelum dibawa ke rumah sakit maupun puskesmas.

Dalam situasi darurat seperti henti jantung, masyarakat sering kali bingung dalam mengambil keputusan saat memberikan pertolongan pertama. Tak jarang, orang justru terlambat menghubungi layanan darurat 119 atau memilih membawa korban dengan kendaraan pribadi. Dalam kasus tertentu, diberangkatkan dengan ambulans jauh lebih aman dan siap dengan peralatan medis darurat.

Tindakan awal yang cepat dan tepat sangat menentukan keselamatan korban. Saat menghadapi kasus henti jantung, penolong harus fokus pada upaya menyelamatkan nyawa. Bukan sekadar memindahkan korban, agar peluang hidup tetap terbuka sebelum tenaga medis tiba.

Berdasarkan data American Heart Association (AHA) tahun 2020, meskipun jumlah kasus henti jantung mengalami peningkatan dalam beberapa tahun terakhir, kesadaran masyarakat untuk melakukan RJP masih tergolong rendah.

Kurang dari 40% korban yang mengalami henti jantung mendapatkan pertolongan RJP dari orang di sekitarnya sebelum bantuan medis datang.

baca juga

Padahal, tindakan cepat dari masyarakat umum dapat menjadi penentu antara hidup dan mati, karena setiap menit keterlambatan dapat menurunkan peluang selamat korban secara signifikan.

RJP Berkualitas Tinggi

Dalam situasi henti jantung, RJP menjadi langkah krusial yang bisa menentukan hidup atau mati seseorang. Bukan sekadar menekan dada saja seperti di sinetron.

Menurut AHA 2020, RJP berkualitas tinggi mencakup beberapa hal penting: tekanan dada dilakukan 100–120 kali per menit, kedalaman sekitar 5 cm untuk orang dewasa (atau sepertiga dari dada pada bayi dan anak-anak), pemulihan dada sepenuhnya setelah menekan dada, meminimalkan waktu interupsi, pemberian napas/ventilasi yang tepat.

Dengan teknik yang benar, RJP bisa menjadi jembatan kehidupan sebelum bantuan medis lanjutan tiba.

Jadi, memahami cara melakukan RJP dengan baik bukan hanya tugas tenaga medis, siapa pun bisa jadi penyelamat bila tahu caranya.

Peran Media dan Masyarakat

Di era digital ini, media memiliki pengaruh besar dalam membentuk cara kita memandang dunia medis. Masyarakat dapat belajar melalui sinetron, film, atau tayangan televisi. Sayangnya, apa yang disajikan di layar sering lebih fokus pada drama ketimbang realitanya.

Adegan penyelamatan nyawa dibuat terlihat mudah dan heroik. Padahal di lapangan, keberhasilan resusitasi adalah pertarungan yang menegangkan antara waktu dan keterampilan.

Media sebetulnya punya peluang besar untuk berbuat lebih dari sekadar mengaduk emosi penonton. Coba bayangkan, jika setiap sinetron medis menyelipkan pesan sederhana tentang cara memberi pertolongan pertama, mengenali tanda-tanda henti jantung, atau nomor darurat yang bisa dihubungi pada kondisi henti jantung.

Inilah saatnya dunia medis, pendidikan, dan media bekerja bersama. Bukan hanya demi tayangan yang menarik, tetapi juga yang mendidik. Kolaborasi ini merupakan kebutuhan untuk membangun masyarakat yang lebih siap, sadar, dan peduli terhadap kesehatan.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

NR
KG
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.