Sungai Jelai, dengan airnya yang berwarna coklat pekat mirip teh, adalah sebuah fenomena alam yang memesona sekaligus penuh misteri. Bagi mata yang tak terbiasa, warna ini mungkin dianggap sebagai tanda polusi atau limbah.
Namun, di balik rona gelapnya tersimpan sebuah ekosistem yang unik, kompleks, dan vital bagi kehidupan di sekitarnya. Sungai ini bukanlah saluran pembuangan, melainkan nadi bagi masyarakat dan keanekaragaman hayati disana.
Sungai Jelai di Kalimantan Tengah
Sungai Jelai merupakan salah satu sungai penting yang mengalir di Kabupaten Sukamara, Provinsi Kalimantan Tengah. Alirannya berperan sebagai anak sungai dari sistem sungai yang lebih besar yang bermuara ke Laut Jawa.
Hulu Sungai Jelai berawal dari kawasan rawa gambut yang luas dan masih sangat alami di pedalaman Kalimantan. Airnya mengalir perlahan, membawa material organik dari dekomposisi vegetasi gambut, menuju daerah hilir di sekitar wilayah Sukamara sebelum akhirnya bergabung dengan sungai-sungai besar menuju laut.
Data dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) menunjukkan bahwa Daerah Aliran Sungai (DAS) Jelai memiliki luas sekitar 3.870 km².
Adapun panjang aliran utama sungai diperkirakan mencapai lebih dari 150 kilometer. Ukuran ini menegaskan perannya yang signifikan dalam tata air dan ekosistem regional.
Misteri Warna Coklat Pekat Sungai Jelai
Fenomena warna coklat pada Sungai Jelai adalah sebuah mahakarya alam yang disebabkan oleh proses biogeokimia yang kompleks di lahan gambut. Warna ini sama sekali bukan indikator pencemaran limbah industri atau domestik, melainkan hasil dari senyawa organik alami.
Penyebab utamanya adalah asam tannin dan fulvat yang tercuci dari lapisan seresah dan kayu-kayu yang membusuk di dalam ekosistem rawa gambut.
Lahan gambut sendiri terbentuk dari timbunan bahan organik, seperti daun, ranting, dan kayu, yang terendam air selama ribuan tahun dalam kondisi anaerob (tanpa oksigen). Proses dekomposisi yang lambat ini menghasilkan senyawa-senyawa organik kompleks.
Sebuah penelitian dalam jurnal Limnology yang mempelajari sungai-sungai air hitam (blackwater rivers) di Asia Tenggara menjelaskan bahwa ketika air hujan meresap melalui lapisan gambut yang tebal, ia melarutkan senyawa-senyawa tannin ini.
Tannin pada dasarnya adalah senyawa polifenol yang sama yang ditemukan dalam teh. Inilah yang memberikan karakteristik warna coklat teh dan tingkat keasaman (pH) yang relatif rendah pada air sungai.
Kondisi ini menciptakan sebuah lingkungan akuatik yang unik dan khusus, yang hanya dapat dihuni oleh spesies-spesies yang telah berevolusi untuk beradaptasi.
Biodiversitas Tersembunyi di Balik Air yang Gelap
Bertentangan dengan kesan "tandus" yang mungkin diberikan oleh airnya yang keruh, Sungai Jelai justru merupakan pusat keanekaragaman hayati yang penting. Ekosistem air hitam gambut ini menjadi habitat bagi beragam jenis ikan yang telah beradaptasi sempurna dengan kondisi air yang asam dan rendah mineral.
Beberapa jenis ikan yang dapat ditemui di perairan seperti Sungai Jelai berdasarkan catatan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan berbagai publikasi ilmiah termasuk ikan-ikan yang bernilai ekonomis dan ekologis tinggi. Ikan Seluang (Rasbora spp.), ikan Baung (Hemibagrus spp.), dan ikan Lais (Kryptopterus spp.) adalah pemandangan umum.
Yang lebih menakjubkan, sungai-sungai jenis ini di Kalimantan juga merupakan rumah terakhir bagi mamalia air tawar yang paling ikonik dan terancam punah di dunia: Pesut Mahakam (Orcaellabrevirostris).
Meskipun populasi terbesarnya ada di Sungai Mahakam, keberadaan pesut juga tercatat di beberapa sistem sungai air hitam di Kalimantan, termasuk yang memiliki karakteristik mirip dengan DAS Jelai, yang menunjukkan pentingnya Sungai jelai bagi kelangsungan hidup spesies ini ini.
Selain ikan, ekosistem Sungai Jelai juga berfungsi sebagai penjaga keseimbangan hidrologi kawasan gambut, mencegah kekeringan dan kebakaran di musim kemarau.
Terancam Alih Fungsi Lahan Gambut
Sayangnya, keunikan dan kekayaan Sungai Jelai tidak luput dari ancaman. Alih fungsi lahan gambut menjadi perkebunan monokultur, seperti kelapa sawit, merupakan tekanan terbesar.
Pengeringan gambut melalui kanal-kanal mengganggu sistem hidrologi, mengancam kelangsungan sungai dan seluruh ekosistem yang bergantung padanya.
Aktivitas penambangan emas tanpa izin (PETI) juga berpotensi mencemari sungai dengan merkuri, yang merupakan racun berbahaya bagi seluruh rantai makanan.
Oleh karena itu, upaya konservasi yang terintegrasi mutlak diperlukan. Perlindungan kawasan hutan gambut di hulu Sungai Jelai adalah kunci untuk memastikan kualitas dan kuantitas airnya tetap terjaga.
Pemberdayaan masyarakat lokal dengan ekonomi berkelanjutan, seperti ekowisata yang mempromosikan keunikan "sungai teh" ini dan perikanan tangkap ramah lingkungan, dapat menjadi solusi.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News