Mahasiswa IPB University yang tergabung dalam tim Program Kreativitas Mahasiswa Riset Sosial Humaniora (PKM-RSH) menggelar FGD bersama para pemangku kepentingan di bidang pendidikan pada Jumat, 19 September 2025.
Diskusi ini dilaksanakan secara hybrid, yakni tatap muka di Btari Coffee, Bogor, serta daring melalui Zoom Meeting. Melibatkan perwakilan Cabang Dinas Pendidikan Wilayah II dan XIII Jawa Barat, Ketua Yayasan Darma Bakti Karya, Perwakilan Yayasan Bina Profesi, Kepala SMK Bakti Karya Parigi, serta Wakil Kepala Sekolah SMK Bina Profesi Bogor.
Kegiatan ini menjadi wadah bagi mahasiswa untuk memaparkan hasil riset mereka mengenai kondisi sekolah menengah kejuruan, sekaligus mendengar langsung pengalaman dan tantangan yang dihadapi pihak sekolah maupun yayasan.
Dengan sistem hybrid, diskusi berjalan interaktif dan memungkinkan kehadiran stakeholder dari berbagai wilayah tanpa hambatan jarak.
Dalam pemaparannya, mahasiswa IPB University menyampaikan bahwa terdapat perbedaan karakteristik siswa antara dua sekolah yang menjadi lokasi riset, yakni SMK Bakti Karya Parigi dan SMK Bina Profesi Bogor.
SMK Bakti Karya Parigi, yang menampung siswa dari 24 provinsi, memiliki tingkat toleransi yang tinggi karena siswanya terbiasa berinteraksi dengan latar belakang yang berbeda.
Sementara itu, di SMK Bina Profesi Bogor ditemukan tantangan rendahnya rasa percaya diri siswa, yang sebagian besar berasal dari keluarga dengan kondisi ekonomi terbatas.
Temuan tersebut mendapat tanggapan dari pihak sekolah. Kepala Yayasan SMK Bakti Karya Parigi, Ainur Hidayat, mengungkap bahwa sekolah swasta seperti yang ia pimpin sering kali harus berinovasi agar bisa bertahan.
Sejak berdiri pada tahun 2012, sekolah tersebut bahkan sempat hampir tutup karena keterbatasan siswa. Namun melalui program beasiswa penuh dan penerimaan siswa multikultural sejak 2016, sekolah tersebut kini mampu bertahan hingga melahirkan sepuluh angkatan.
“Kalau sekolah swasta tidak melakukan inovasi, bisa bangkrut sejak awal. Selama sembilan angkatan, tidak ada satu pun siswa kami yang mendapat dukungan pemerintah. Baru setahun terakhir ada enam siswa yang akhirnya ditanggung. Padahal pendidikan adalah hak semua anak bangsa,” ujarnya.
Sementara itu, perwakilan SMK Bina Profesi Bogor menekankan bahwa faktor keluarga turut berpengaruh pada rendahnya motivasi siswa. Mereka menyebut bahwa mayoritas siswa berasal dari keluarga pekerja dengan ekonomi menengah ke bawah, sehingga dukungan belajar di rumah terbatas.
Kondisi ini membuat banyak siswa pasif dan kurang percaya diri, meskipun sekolah sudah berusaha memberi motivasi tambahan.
Selain itu, keterbatasan dana juga membuat gaji guru masih jauh di bawah upah minimum, sebuah kenyataan yang dinilai memperburuk semangat tenaga pendidik.
Diskusi hybrid ini juga menyinggung persoalan fasilitas sekolah swasta. Dana Bantuan Pendidikan Menengah Universal (BPMU) dinilai tidak mencukupi untuk pembelian peralatan praktik yang mahal, terutama di SMK.
Akibatnya, kegiatan pembelajaran belum sepenuhnya optimal. Para guru mengakui bahwa beban administrasi yang berat, ditambah keterbatasan fasilitas, membuat proses belajar mengajar semakin menantang.
Dari hasil riset yang dipaparkan, mahasiswa IPB University menyusun sejumlah rekomendasi kebijakan yang akan dituangkan dalam policy brief. Beberapa di antaranya adalah pentingnya keberadaan sekolah multikultural di setiap daerah sebagai sarana menanamkan toleransi, perlunya regulasi yang lebih jelas terkait pembelajaran agama non-muslim, peningkatan tripusat pendidikan, yaitu keterlibatan keluarga, sekolah dan masyarakat dalam pendidikan, serta kebijakan afirmatif untuk meningkatkan kesejahteraan guru di sekolah swasta maupun negeri.
Acara FGD ditutup dengan menekankan bahwa forum ini bukan hanya menghasilkan data, tetapi juga merajut kolaborasi.
“Diskusi ini membuktikan bahwa pendidikan adalah tanggung jawab bersama. Melalui FGD ini, kami berharap rekomendasi yang lahir bisa menjadi jembatan untuk perubahan kebijakan yang lebih adil dan inklusif,” ujar Adrian selaku moderator.
Pelaksanaan FGD secara hybrid memungkinkan berbagai pihak untuk tetap terlibat aktif, baik yang hadir langsung di lokasi maupun yang bergabung secara daring. Dengan cara ini, mahasiswa IPB University tidak hanya menghadirkan ruang dialog yang konstruktif. Namun, juga menunjukkan bahwa kolaborasi lintas wilayah dan lintas peran dapat tercapai dengan cara yang lebih fleksibel.
Hasil diskusi ini diharapkan dapat memperkuat sinergi antara perguruan tinggi, sekolah, yayasan, dan pemerintah daerah demi membangun sistem pendidikan yang lebih setara, inklusif, dan berkelanjutan.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News