Trotoar di banyak kota kini dihiasi garis kuning yang menonjol dari permukaan. Garis tersebut disebut guiding block dan berfungsi sebagai panduan bagi penyandang disabilitas netra saat menggunakan tongkat. Warna yang mencolok membantu mereka yang masih memiliki sisa penglihatan membedakan jalur. Namun, sebagian besar guiding block hanya berupa tonjolan tanpa kode yang jelas sehingga informasi yang bisa dibaca melalui sentuhan sangat terbatas.
Inovasi bernama Tactogram hadir untuk menjawab kekosongan tersebut. Tactogram merupakan usaha pembuatan guiding block bertekstur berbasis desain piktogram universal yang berlokasi di Bandung.
Sistem ini dikembangkan oleh perancang muda Fariz Fadhlillah, yang memadukan pengalaman riset neuroscience, desain universal, dan kebutuhan nyata penyandang disabilitas dalam menavigasi ruang publik. Tujuannya adalah menciptakan piktogram sentuh yang mampu menyampaikan informasi arah secara semantik melalui bentuk-bentuk geometris.
Menurut situs resmi Tactogram, sistem ini dirancang berdasarkan hierarki kebutuhan informasi bagi tunanetra dan direpresentasikan dalam bentuk geometri. Bentuk-bentuk tersebut dibaca secara skematis melalui teknik diskriminasi bentuk dan dipahami secara semantik. Pemilihan geometri mempertimbangkan kemudahan identifikasi serta presisi tinggi untuk dikenali.
Satu simbol misalnya menandakan arah masuk, yang lain menandakan fasilitas umum, dan tanda silang memberi informasi batas atau arah keluar. Sistem seperti ini memaksimalkan ingatan jangka pendek pengguna karena hanya memuat empat jenis simbol informasi. Secara praktis, Tactogram dapat dipasang di stasiun, halte, trotoar, maupun interior bangunan publik sehingga memudahkan navigasi.

Tactile Pictogram Desain | Instagram @tactogram
Selain aspek informasi, Fariz juga memperhatikan keberlanjutan. Pada 2022 ia merancang seri produk “Tac Tiles” dengan menggunakan material sisa limbah. Bahan-bahan seperti busa puntung rokok, kain bekas, serpihan kaca, dan pecahan beton dihaluskan lalu dipadatkan menjadi ubin pemandu.
Inovasi ini tidak hanya mengurangi limbah tetapi juga menghasilkan tekstur khusus yang dapat dibaca layaknya kode morse. Fariz menjelaskan bahwa desain tersebut lahir dari pendekatan ilmu saraf untuk membuat kode somatosensorik yang dapat diubah menjadi informasi grafis dan alat bantu. Tiga bentuk dasar yaitu segitiga, lingkaran, dan tanda silang mewakili arah pintu masuk, fasilitas umum, dan pintu keluar atau batas jalan.
Material berbahan limbah beton telah diuji kekuatannya dan tidak licin saat basah, produk Tactogram memperoleh hak paten dari Kementerian Hukum dan HAM pada Maret 2024. Fariz menekankan bahwa solusi untuk penyandang disabilitas harus bukan sekadar inklusif, tetapi juga aman, inovatif, dan memiliki nilai estetika.
Perjalanan Fariz bermula ketika ia menyadari banyak fasilitas publik tidak ramah bagi tunanetra. Penelitian yang ia lakukan menyoroti kurangnya standar ukuran ujung tongkat pemandu di Indonesia, berbeda dengan negara Eropa yang sudah memiliki regulasi.
Hal ini memotivasinya untuk merancang ubin yang futuristis dan dapat diaplikasikan di berbagai negara. Ia juga aktif membagikan filosofi desain, penjelasan material, dan cara penggunaan melalui media sosial resmi, sehingga Tactogram menjadi kanal edukasi yang menarik dan mudah dipahami.
Upaya ini mendapat pengakuan nasional. Daftar penerima Apresiasi SATU Indonesia Awards 2024 mencantumkan Fariz Fadhlillah dari Jawa Barat sebagai penerima di bidang teknologi dengan judul kegiatan “Tactogram (Universal Tactile Pictogram Design for The Visually Impaired in Public Spaces)”. Penghargaan tersebut menandakan bahwa inovasi yang mengedepankan inklusivitas dan keberlanjutan mendapat apresiasi luas.
Selain itu, Fariz berkesempatan mempresentasikan Tactogram di ajang Design Matters Lab yang diadakan Kedutaan Besar Jerman di IFI Bandung dan di Goethe Institut Jakarta pada akhir 2024. Pengakuan ini menunjukkan bahwa desain piktogram sentuh dari Indonesia mampu menarik perhatian internasional.
Tactogram menjadi contoh nyata bahwa inovasi tidak harus spektakuler untuk memberi dampak besar. Dengan menyoroti hal-hal sederhana seperti ubin pemandu, Fariz menunjukkan bahwa riset mendalam dan dedikasi jangka panjang dapat menghasilkan solusi konkret. Inovasi ini menegaskan bahwa aksesibilitas adalah hak dasar, bukan fasilitas tambahan.
Ruang publik yang dilengkapi piktogram sentuh memungkinkan penyandang disabilitas menjalani aktivitas dengan kemandirian dan rasa aman yang setara. Cerita Fariz mengingatkan generasi muda bahwa ada banyak aspek kehidupan sehari-hari yang bisa diperbaiki dengan sentuhan kreatif, dari pemilihan material hingga desain yang inklusif.
Kesuksesan Tactogram juga mengajak semua pihak untuk mendukung ekosistem desain inklusif. Pemerintah dapat mengadopsi standar piktogram taktil di seluruh infrastruktur publik, sementara komunitas dan sektor swasta bisa berkolaborasi dalam sosialisasi dan produksi.
Dengan demikian, Tactogram bukan hanya produk, tetapi gerakan menuju kota yang lebih ramah bagi semua kalangan. Fariz Fadhlillah telah membuka jalan bagi perubahan; kini saatnya masyarakat luas bergandeng tangan agar visi ruang publik inklusif menjadi kenyataan.
#kabarbaiksatuindonesia
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News