Bagi banyak orang, kehilangan penglihatan bisa terasa seperti akhir dari segalanya. Namun bagi Tutus Setiawan L, hal itu justru menjadi awal untuk menyalakan lentera harapan bagi penyandang tunanetra melalui gerakan Pembuka Mata Tuna Netra.
Tutus Setiawan L, pria asal Jawa Timur, lahir dengan penglihatan normal. Kehidupannya berubah drastis ketika ablasi retina merenggut penglihatannya. Alih-alih menyerah pada keadaan, Tutus menunjukkan tekad yang luar biasa. Ia melanjutkan pendidikan hingga meraih gelar magister di Universitas Negeri Surabaya. Prestasi ini tidak hanya menjadi bukti kegigihan pribadi, tetapi juga membuka matanya terhadap tantangan akses pendidikan bagi penyandang tunanetra di Indonesia.
Kesadaran tersebut mendorongnya untuk bergerak. Tutus mendirikan Lembaga Pemberdayaan Tunanetra (LPT) yang menaungi gerakan Pembuka Mata Tuna Netra. LPT menjadi ruang belajar dan pemberdayaan, di mana para tunanetra dilatih untuk mandiri melalui berbagai kegiatan, mulai dari penggunaan tongkat, navigasi di ruang publik, hingga penguasaan teknologi modern seperti komputer dan pembaca layar. Menurut Tutus, kemandirian adalah kunci untuk membuka kesempatan lebih luas bagi penyandang disabilitas netra.
Selain itu, LPT secara rutin mengadakan workshop dan pelatihan kemandirian yang diikuti puluhan anak tunanetra setiap tahunnya. Beberapa peserta berhasil meraih prestasi akademik maupun keterampilan profesional berkat program ini. Contohnya, ada anak yang awalnya kesulitan membaca dan menulis kini bisa mengoperasikan komputer dan menggunakan pembaca layar untuk belajar secara mandiri. Ada juga peserta yang berhasil menembus dunia kerja sebagai tenaga administrasi dan pendamping disabilitas, membuktikan bahwa dukungan yang tepat mampu mengubah hidup mereka.
Inovasi Tutus tidak berhenti di situ. Ia juga memprakarsai Radio Braille, sebuah media alternatif yang menghadirkan informasi dan hiburan bagi komunitas tunanetra. Radio ini menyiarkan program pendidikan, berita, dan tips kemandirian. Melalui platform ini, banyak penyandang tunanetra merasa lebih terhubung dengan dunia luar, mendapatkan pengetahuan, dan memahami bahwa keterbatasan fisik bukan halangan untuk berkembang. Radio Braille juga menjadi sarana untuk memperjuangkan hak-hak penyandang disabilitas, termasuk akses transportasi, pendidikan, dan fasilitas publik yang ramah disabilitas.
Perjuangan Tutus tidak selalu mudah. Ia menghadapi keterbatasan fasilitas, kurangnya dukungan finansial, dan stigma sosial yang masih melekat di masyarakat. Namun, tekadnya yang kuat membawanya meraih SATU Indonesia Awards 2015 di kategori Pendidikan. Penghargaan ini tidak hanya menjadi pengakuan atas jerih payahnya, tetapi juga memperluas jaringan kolaborasi dan membuka pintu dukungan dari berbagai pihak. Berkat hal ini, gerakan yang ia rintis dapat menjangkau lebih banyak tunanetra di berbagai daerah.
Selain itu, Tutus percaya bahwa pendidikan adalah kunci perubahan hidup. Ia terus mendorong anak-anak tunanetra untuk bermimpi setinggi mungkin dan menapaki masa depan yang lebih cerah. Setiap langkah kecil yang mereka ambil dianggap sebagai kemenangan besar, karena mampu mengubah cara pandang masyarakat tentang kemampuan penyandang disabilitas. Tutus kerap menekankan bahwa “keterbatasan fisik bukanlah batasan kemampuan, tetapi kesempatan untuk belajar dan berinovasi.”
Kisah Tutus Setiawan L mengingatkan kita bahwa perubahan besar sering kali lahir dari keberanian satu individu yang peduli, meskipun berada dalam keterbatasan. Dari Jawa Timur, lentera kecil yang ia nyalakan kini menerangi jalan banyak orang. Dengan mengenal kisahnya, kita diingatkan bahwa inklusi dan pemberdayaan dimulai dari empati, kepedulian, dan aksi nyata. Semoga semakin banyak lentera seperti Tutus yang mampu menerangi jalan bagi mereka yang membutuhkan.
#kabarbaiksatuindonesia
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News