Hidup dengan memiliki 'keistimewaan' tertentu kerap tak dipandang sebagai sesuatu yang berbeda. Akses terhadap buku dan bangku sekolah merupakan suatu hal yang lazim terjadi di dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan, kemampuan untuk membaca pun merupakan suatu hal yang memang sewajarnya dimiliki. Namun, di pelosok desa yang sunyi di Kabupaten Malang, masih ada anak-anak kecil yang menatap huruf tersebut dengan penuh damba berharap suatu saat mereka bisa merangkainya menjadi seuntai kata indah penuh makna.
Kenyataan itulah yang memantik semangat Eko Cahyono, seorang pemuda sederhana dari Kota Malang, Jawa Timur. Berbekal tekad dan semangat, ia mendirikan Pustaka Anak Bangsa, sebuah ruang yang hadir tanpa pamrih untuk memberikan ilmu secara tulus kepada mereka yang membutuhkannya. Tindakan sederhana itu memunculkan harapan bagi anak-anak yang sebelumnya terasing dari huruf dan kata.
Pustaka Anak Bangsa untuk Semua
Lima belas tahun yang lalu, Eko Cahyono mendirikan Pustaka Anak Bangsa. Perpustakaan ini jauh dari kata mewah, hanya rak sederhana dengan koleksi buku seadanya. Meski begitu, pintu perpustakaan terbuka 24 jam bagi siapa pun, tanpa batas keanggotaan, tanpa batas siapa yang diperbolehkan untuk datang. Anak-anak mulai mengenal huruf pertama mereka, mengeja kata, hingga perlahan terbebas dari buta huruf. Kini, dari perpustakaan kecil tersebut lahirlah 26 perpustakaan lainnya yang tersebar di 35 desa dan 7 kecamatan yang terletak di Kabupaten Malang. Apa yang semula hanya satu ruang belajar menjelma menjadi gerakan literasi yang tumbuh dan hidup ditengah masyarakat. Lebih dari sekadar menambah ruang baca, keberadaan jaringan perpustakaan ini juga memperkuat kolaborasi antarwarga dan membangun kesadaran bahwa pendidikan adalah tanggung jawab bersama.
Literasi yang Menghidupkan
Seiring dengan berjalannya waktu, Pustaka Anak Bangsa berkembang menjadi sebuah ruang yang lebih dari sekadar perpustakaan. Terdapat bimbingan belajar gratis bagi anak-anak, pelatihan komputer, hingga kelas keterampilan seperti melukis, kerajinan, dan bercocok tanam. Perpustakaan juga menjelma menjadi ruang diskusi warga, tempat menonton film bersama, hingga sarana bertukar informasi. Hal ini menunjukkan bahwa buku hanyalah awal dari semuanya. Pengetahuan yang didapatkan dari buku tersebut dapat mengubah cara pandang dan memberikan kesempatan yang sama bagi setiap orang untuk berkembang.
Dari Desa untuk Indonesia
Atas dedikasinya, Eko Cahyono berhasil menerima penghargaan SATU Indonesia Awards di tahun 2012. Namun sejatinya, pencapaian terbesarnya adalah ketika ia bisa melihat anak-anak yang dulunya tidak mengenal huruf saat ini bisa membaca doa, menulis namanya sendiri, dan percaya bahwa mereka pun berhak untuk mendapatkan kesempatan yang sama dalam mencapai impiannya. Keberhasilan Pustaka Anak Bangsa juga menginspirasi komunitas lain untuk melakukan hal serupa. Apa yang awalnya dimulai dari satu percikan kecil menjalar menjadi gelombang perubahan, membuktikan bahwa kemajuan bangsa bisa dimulai dari sudut yang paling terkecil sekalipun.
Obor Literasi
Kisah Eko Cahyono menjadi pengingat bagi kita semua bahwa keistimewaan bukanlah tentang sesuatu yang kita miliki, namun apa yang berani kita bagikan kepada orang-orang disekitar kita. Berangkat dari sebuah desa kecil di Malang, Eko telah menyalakan obor literasi yang menerangi dan menginspirasi ratusan jiwa. Gerakan Pustaka Anak Bangsa bukan sekadar tentang buku, melainkan tentang harapan yang dibawa olehnya. Huruf demi huruf, kata demi kata, Eko rangkai menjadi sebuah untaian masa depan yang lebih terang bagi generasi yang dulunya hidup terbelenggu buta huruf.
#kabarbaiksatuindonesia
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News