Di tanah yang sering dielu-elukan karena hutan tropis, laut biru, dan pegunungan hijau, ada kisah lain yang jarang diperhatikan. Kisah tentang huruf-huruf yang belum terucap, angka-angka yang belum terhitung, dan anak-anak yang bahkan belum bisa membaca namanya sendiri. Di balik keelokan alam Papua, Ratna Catur Hastuti melihat ironi bahwa pendidikan masih jauh dari kata merata.
"Kalau saya mengatakan, Papua itu musuhnya ada tiga. Yang pertama, malas. Yang kedua, mabuk. Yang ketiga, mencuri," ujar Ratna sebagaimana dikutip dari IDN Times. Ucapan itu bukan kalimat penghakiman, melainkan jeritan simpati dari seorang perempuan yang setiap harinya berhadapan langsung dengan kenyataan pendidikan di Papua.
Hari ini, nama Ratna dikenal lewat Rumah Belajar Papua Hei, sebuah komunitas literasi dan pendidikan nonformal yang ia dirikan. Dari komunitas belajar kecil di Pulau Yapen, kini Rumah Belajar Papua Hei telah tumbuh menjadi ruang belajar yang nyaman bagi anak-anak Papua.
Sebuah Ajakan Tumbuh
Langkah awal Rumah Belajar Papua Hei berakar dari keprihatinan. Saat ditempatkan di Serui, Kabupaten Kepulauan Yapen, Ratna menjabat sebagai Ketua Persit Kartika Candra Kirana (KCK) Cabang XXII Kodim 1709/Yapen Waropen. Dari posisinya itu, ia menggerakkan para ibu untuk aktif mendukung pendidikan anak-anak.
"Papua Hei berdiri atas dasar keprihatinan sebagai anak bangsa melihat bangsanya sendiri, generasi bangsa Papua. Dalam artian, ini generasi masyarakat Papua yang adalah saudara kita sebagai sebangsa, itu masih jauh dari standar yang semestinya," kata Ratna.
Nama Papua Heisendiri lahir dari kebiasaannya memanggil anak-anak, “Hei, mari belajar.” Dari panggilan sederhana itulah tumbuh sebuah gerakan. Kata "Hei" yang semula sekadar ajakan, berubah makna menjadi seruan penuh semangat untuk membangun Papua melalui pendidikan.
Rumah Belajar Papua Hei pertamakali berdiri di atas laut, di Kampung Sarawandori. Buku-bukunya datang dari sumbangan relawan dan sebuah toko buku. Dari rumah kecil di atas air itulah, bibit perubahan mulai disemai. Anak-anak yang semula enggan sekolah, perlahan belajar mengeja, membaca, dan berhitung.
Mengajar dengan Hati, Bukan Kekerasan
Satu hal yang membuat Rumah Belajar Papua Hei berbeda dari komunitas pendidikan lain adalah cara mengajarnya yang bersahabat dan penuh perhatian.
“Kita tidak perlu berteriak, tetapi kita berbuat dengan menyeimbangkan yang positif," kata Ratna.
Anak-anak Papua terbiasa membantu orang tua, bermain di luar rumah, atau berkeliaran tanpa arah. Bagi mereka, sekolah bukan prioritas. Ratna menyadari jika pendidikan dipaksakan dengan kekerasan, hanya akan menambah jarak. Maka ia memilih jalan kelembutan dengan merangkul anak-anak dengan kasih sayang.
Pendekatan itu berhasil. Anak-anak menyebutnya “Aunty,” bukan “Bu Guru.” Hubungan hangat ini membuat mereka lebih terbuka. Belajar tidak lagi menjadi kewajiban, melainkan pengalaman yang menyenangkan.
Realitas yang Menghantam
Banyak anak kelas 5 dan 6 SD di Papua yang masih kesulitan membaca dan berhitung. Oleh karena itu, Rumah Belajar Papua Hei memfokuskan pembelajarannya pada keterampilan dasar seperti membaca, menulis, dan berhitung. Sebelum belajar, setiap anak mengikuti asesmen untuk mengetahui kemampuannya. Hasil asesmen ini membagi mereka ke dalam empat level, sehingga proses belajar berlangsung sesuai kemampuan, bukan sekadar mengikuti kelas formal.
Metode ini membuat anak-anak tidak merasa malu, sekaligus memastikan pembelajaran lebih efektif. Perlahan, mereka mulai bisa mengeja kata, menulis kalimat sederhana, hingga berhitung dengan lancar.
Meski fokus awalnya calistung, Rumah Belajar Papua Hei tidak berhenti di sana. Setiap pertemuan selalu diawali dengan upacara, menyanyikan Indonesia Raya, dan menghafal Pancasila. Bagi Ratna, pendidikan karakter sama pentingnya dengan literasi. Ia percaya, anak-anak yang tumbuh dengan rasa cinta pada bangsanya akan memiliki integritas dan semangat untuk membangun daerahnya.
Dari Keprihatinan ke Apresiasi
Perjalanan Rumah Belajar Papua Hei tak selalu mulus. Ratna kerap berhadapan dengan budaya masyarakat yang kurang menempatkan pendidikan sebagai hal utama. Anak-anak dianggap lebih berguna membantu mencari nafkah ketimbang duduk belajar. Namun justru di situlah tekadnya menguat.
"Jadi, kita intinya tuh tidak bisa melihat mereka dengan kacamata kita. Kita harus melihat mereka dengan kacamata mereka, setelah itu kita tahu apa kebutuhan mereka, kita dampingi dengan kesederhanaan dan talenta kita masing-masing. Maka kita akan bisa menolong mereka," ujar ratna.
Ketekunan itu membuahkan hasil. Pada 2018, Rumah Belajar Papua Hei meraih penghargaan Reading Community Competition dan kategori “Peduli” dalam Penggerak Pendidikan Indonesia. Tahun 2023, Ratna menerima Apresiasi SATU Indonesia Award dari Astra di bidang pendidikan. Dan tahun berikutnya, di bawah pimpinan Laura Marisa Siagian, Papua Hei! kembali masuk jajaran penerima apresiasi yang sama.
Penghargaan itu bukan sekadar simbol. Melainkan menjadi pengakuan bahwa gerakan kecil dari rumah belajar di atas laut mampu memberi harapan besar bagi masa depan anak-anak Papua.
Perempuan sebagai Penjaga Api
Bagi Ratna, pendidikan bukan sekadar angka di rapor. Pendidikan adalah jembatan yang menghubungkan generasi muda Papua dengan peluang dan kemajuan. Rumah Belajar Papua Hei bukan hanya soal membaca atau berhitung, melainkan menjadi sebuah seruan, ajakan, sekaligus doa. Ajakan untuk melihat Papua bukan hanya lewat alamnya yang mempesona, tetapi lewat semangat anak-anaknya yang ingin belajar.
Doa Ratna adalah agar lahir lebih banyak Ratna lain yang berani menyalakan api kecil pendidikan. Api kecil itu, jika dijaga bersama, akan tumbuh menjadi terang untuk masa depan Papua dan Indonesia. Di balik semangat itu, Ratna selalu menekankan pentingnya peran perempuan. Ia meyakini perempuan adalah pendidik pertama bagi generasi muda. Dengan kasih sayang dan ketelatenan, perempuan mampu menanamkan nilai moral, semangat, dan karakter pada anak-anak.
Oleh karena itu, Ratna mengajak semua perempuan untuk aktif bergerak menebar kebaikan bagi generasi muda, dalam bentuk apa pun dan di mana pun berada. Bagi Ratna, peran perempuan tidak bisa dipisahkan dari proses membangun bangsa. Sebagai pendidik, pembimbing, dan panutan, perempuan berperan penting membentuk karakter anak-anak dan menciptakan fondasi kokoh bagi masa depan yang lebih cerah.
#kabarbaiksatuindonesia
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News