gerakan zero waste di cisaranten kulon bandung - News | Good News From Indonesia 2025

Gerakan Zero Waste di Cisaranten Kulon: Memilah Sampah dari Rumah

Gerakan Zero Waste di Cisaranten Kulon: Memilah Sampah dari Rumah
images info

Gerakan Zero Waste di Cisaranten Kulon: Memilah Sampah dari Rumah


Kesadaran menjaga lingkungan kadang lahir dari pengalaman kecil yang kemudian menular jadi gerakan bersama. Di lingkungan Cisaranten Kulon, Bandung, semangat itu tumbuh dari cerita seorang ibu rumah tangga, Euis Nurul Huda.

Pengalaman pribadinya saat berkunjung ke Jepang ternyata menjadi pemantik lahirnya kebiasaan baru di tengah masyarakat, yaitu memilah sampah sejak dari rumah.

Inspirasi dari Negeri Sakura

Pengalaman ini berawal ketika mengunjungi rumah salah satu putranya di Jepang. Euis dibuat terkejut dengan budaya membuang sampah di sana. Ia terbiasa hanya mengenal dua kategori: organik dan anorganik. Namun di Jepang, pemilahan dilakukan sangat detail. Sampah plastik, kertas, kaleng, botol kaca, hingga sampah berbahaya pun punya kategori masing-masing.

Bersama menantunya, Noriko, ia pun belajar menyesuaikan diri dengan aturan yang berlaku. Ada jadwal khusus untuk membuang jenis sampah tertentu. Tidak bisa sembarangan. Bahkan Noriko bercerita bahwa jika seseorang salah membuang sampah, pemerintah bisa memberikan sanksi. Untuk barang elektronik, bukan hanya harus dibuang di waktu khusus, tapi juga disertai kewajiban membayar biaya membuang sampah.

Pengalaman ini begitu membekas hingga akhirnya ia membawa “oleh-oleh” berharga tersebut ke tanah air. Aturan yang awalnya membuat kaget, lama-lama terlihat manfaatnya. Namun, semuanya tidak berjalan mudah. Ada saja yang menertawakan karena bagi sebagian orang memilah sampah dianggap merepotkan dan terlalu ribet untuk dipraktikkan sehari-hari.

Namun niat Euis sederhana. Ia hanya ingin sampah rumahnya tidak bercampur antara yang basah dan kering.

“Minimal, pemulung akan senang karena lebih mudah mengambil barang-barang yang bisa dijual,” katanya.

Di balik itu, ada pula kegelisahan yang ia pendam. Bagaimana jika sampah yang terus menumpuk suatu saat benar-benar mengubur manusia karena tidak bisa terurai? Kekhawatiran ini masuk akal, mengingat tumpukan sampah di kota-kota besar kian hari kian menggunung.

Bak gayung bersambut, semangat Euis menemukan sahabat seperjuangan. Beberapa warga di Cisaranten Kulon ikut mendukung kebiasaan ini. Salah satunya adalah Ibu Gina, yang dengan antusias mengajak warga lain mempraktikkan pemilahan sampah.

Lebih dari itu, Gina juga mengelola sebuah Bank Sampah sebagai tempat menampung hasil pilahan. Dengan begitu, sampah yang terkumpul bukan sekadar dipisahkan, tetapi juga bisa bernilai ekonomi.

Sementara itu, Ibu Euis Indrawati atau yang akrab disapa Mayang, menambahkan dimensi spiritual dari kebiasan bermanfaat ini.

“Kebersihan itu sebagian dari iman,” ujarnya. Baginya, memilah sampah adalah wujud nyata menjaga kebersihan rumah tangga sekaligus ibadah. Rumah menjadi sehat, tidak bau, dan aktivitas ibadah pun lebih nyaman.

Mayang juga menekankan sisi sosial dan ekonomi. Meski keuntungan dari Bank Sampah tidak besar, manfaatnya bisa dirasakan bersama.

“Silaturahmi juga jadi lebih baik. Kita bisa bertemu saat pertemuan warga, lalu berbagi ilmu tentang manfaat memilah sampah. Ilmu itu ‘kan bisa menular, dari keluarga ke tetangga kanan-kiri,” tambahnya.

Tantangan yang Menghadang

Meski semangatnya besar, jalan menuju kebiasaan Zero Waste tidak bebas hambatan. Euis sendiri pernah dianggap terlalu ribet dengan kebiasaan barunya. Mayang pun bercerita bahwa di awal, ia harus menyiapkan tiga tempat sampah berbeda di rumah.

Butuh kedisiplinan untuk memastikan sampah benar-benar dipisah sesuai jenisnya. Belum lagi rutinitas menyetorkan sampah ke Bank Sampah yang menuntut konsistensi.

Gina, sebagai pengelola Bank Sampah, menghadapi tantangan lain. “Belum semua warga sadar, bahkan aparat setempat pun kadang masih abai,” ujarnya. Padahal, tanpa dukungan bersama, gerakan seperti ini sulit berkembang.

Pengalaman ini sedikitnya bisa membuat kita membandingkan situasi Indonesia dengan negara lain seperti Jepang. Jika di Jepang sistem berjalan karena kombinasi ketegasan pemerintah dan budaya disiplin masyarakat, maka di Indonesia dibutuhkan pendekatan berbeda. Menurut mereka, salah satu kekuatan bangsa ini ada pada religiusitas. Ajaran agama bisa menjadi penggerak moral agar masyarakat lebih peduli terhadap kebersihan.

Dari berbagai cerita itu, muncul kesadaran lain. Sebagian besar sampah rumah tangga berasal dari dapur. Artinya, perempuan memegang peranan penting sebagai motor penggerak. Tanpa keterlibatan ibu rumah tangga, kebiasaan memilah sampah hampir mustahil berjalan.

Euis menyadari hal ini. Karena itu, ia berharap agar para perempuan tidak hanya sadar, tapi juga berani menjadi teladan di rumah masing-masing. Dari rumah, gerakan kecil bisa menyebar ke lingkungan sekitar, lalu tumbuh jadi budaya baru.

Harapan ke Depan

Di akhir perbincangan, Euis menyampaikan harapannya. Menurutnya, pemerintah tidak boleh lelah memberikan arahan dan contoh nyata. Ulama juga perlu turun tangan menyampaikan pesan agama tentang pentingnya kebersihan.

“Kesulitannya memang menyadarkan orang, terutama perempuan yang seharusnya jadi penggerak. Tidak cukup hanya dengan sadar, pemerintahnya juga harus kuat, dan ajaran agama juga harus benar-benar diimplementasikan,” pungkasnya.

Gerakan Zero Waste di Cisaranten Kulon telah menunjukkan sesuatu yang penting, yaitu perubahan besar yang berawal dari langkah sederhana. Dari memilah sampah di rumah, warga belajar tentang kesehatan, kebersihan, ibadah, hingga kebersamaan. Siapa sangka, sebuah kebiasaan yang dulu dianggap merepotkan, kini justru menjadi inspirasi untuk masa depan yang lebih lestari.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

RR
KG
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.