Virtus Showcase 2025 di Jakarta, pada 1 Oktober 2025, menghadirkan praktisi untuk mengulas tentang kesiapan Indonesia menyambut era kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI).
Acara yang mengusung tema "Building the IT Infrastructure of the Future" ini berhasil mengangkat diskusi yang sering terabaikan di tengah euforia AI - bahwa inovasi tanpa fondasi yang kuat justru berpotensi menjadi bumerang.
Tantangan Nyata di Balik AI
Christian Atmadjaja, Direktur Virtus Technology Indonesia, dengan gamblang memetakan medan ranjau yang harus dihadapi perusahaan dalam perjalanan adopsi AI. Menurutnya, salah satu kendala terbesar justru datang dari aspek paling fundamental - data.
"Banyak organisasi terpukau dengan kemampuan AI, tapi lupa bahwa kualitas data adalah fondasi segalanya," ujarnya. Persoalan data ini bukan hanya tentang kuantitas, melainkan juga kualitas, kejelasan, dan kepatuhan terhadap standar privasi yang semakin ketat.
Tantangan berikutnya datang dari sisi infrastruktur yang membutuhkan investasi signifikan, serta persoalan etika dalam menjaga AI dari bias yang dapat merugikan.
Christian menekankan bahwa ketiga tantangan ini saling berkaitan dan harus ditangani secara holistik. Apa artinya memiliki AI yang canggih jika data yang diproses bermasalah? Atau bagaimana mungkin kita bisa memastikan AI bekerja secara adil tanpa standar etika yang jelas?
Manusia: Mata Rantai Terlemah yang Justru Paling Krusial
Diskusi semakin menarik ketika Adi Rusli dari Palo Alto Networks menyoroti aspek manusia dalam transformasi digital. "Kita sering terjebak pada pembahasan teknologi, padahal faktor terpenting justru ada pada people, process, dan budaya," katanya.
Menurut Adi, teknologi secanggih apapun akan sia-sia tanpa disertai transformasi pola pikir dan budaya digital dalam organisasi.
Pergeseran dari cara-cara tradisional ke pendekatan modern, khususnya dalam memahami dan menangkal cybercrime, menjadi kunci kesuksesan adopsi AI. Adi menegaskan bahwa pelatihan dan peningkatan kapasitas SDM bukan lagi opsi, melainkan kebutuhan mendesak.
Dalam dunia yang semakin terhubung, manusia tetap menjadi faktor penentu - baik sebagai pertahanan terdepan maupun sebagai mata rantai terlemah dalam sistem keamanan siber.
Kolaborasi sebagai Kunci Menjawab Tantangan Kompleks
Menanggapi kompleksnya tantangan yang dihadapi, kedua pembicara sepakat bahwa kolaborasi adalah jalan keluar terbaik. Virtus Technology Indonesia tak hanya fokus pada penyediaan solusi infrastruktur, tetapi juga aktif dalam pengembangan kapasitas SDM melalui berbagai program pelatihan.
Sementara Palo Alto Networks berkomitmen membangun ekosistem keamanan siber yang berkelanjutan, termasuk melalui pengembangan kurikulum cybersecurity untuk perguruan tinggi.
Pengalaman juga datang dari Wilbertus Darmadi, CIO Toyota Astra Motor, yang berbagi pelajaran berharga dari proses integrasi AI di perusahaannya. "AI benar-benar dapat memberikan nilai besar ketika diimplementasikan pada infrastruktur yang tepat," katanya. Menurut Wilbertus, kunci sukses terletak pada kemampuan menyeimbangkan antara ambisi inovasi dengan kesiapan infrastruktur dan SDM.
Investasi yang Cerdas untuk Masa Depan yang Aman
Pertanyaan tentang investasi menjadi bagian menarik dalam diskusi. Adi Rusli menjelaskan bahwa investasi di bidang keamanan siber sebenarnya sangat fleksibel dan dapat disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing organisasi.
"Yang penting adalah memahami risk appetite perusahaan, lalu menyesuaikan investasi berdasarkan profil risiko tersebut," jelasnya.
Yang perlu diingat, investasi dalam keamanan siber dan infrastruktur AI bukan lagi dianggap sebagai biaya, melainkan sebagai enabler untuk pertumbuhan bisnis yang berkelanjutan.
Erwin Yusran dari Dell Technologies menambahkan bahwa saat ini AI telah berevolusi dari sekadar buzzword menjadi kekuatan transformatif yang nyata. "Tetapi transformasi itu hanya mungkin terjadi ketika didukung infrastruktur yang kuat dan scalable," tegasnya.
Membangun Kepercayaan di Era AI
Di tengah optimisme yang dibawa AI, Adi Rusli mengingatkan pentingnya pendekatan Zero Trust dalam membangun kepercayaan digital. "AI memang membuka peluang besar, tapi sekaligus memperluas permukaan serangan," katanya. Pendekatan Zero Trust bukan sekadar soal teknologi, melainkan filosofi yang menempatkan keamanan sebagai core business strategy.
Pesan yang mengemuka dari Virtus Showcase 2025 jelas: revolusi AI bukan tentang siapa yang paling cepat mengadopsi teknologi terbaru, melainkan tentang siapa yang paling siap dengan fondasi yang kuat.
Seperti diingatkan Christian, "Kesiapan infrastruktur tidak berarti harus membangun segalanya sekaligus. Yang penting adalah fondasi yang scalable dan fleksibel."
Pada akhirnya, kesuksesan Indonesia dalam memanfaatkan AI akan sangat ditentukan oleh kemampuan kita dalam membangun tiga pilar utama: infrastruktur yang tangguh, keamanan siber yang robust, dan SDM yang mumpuni.
Ketiganya harus berjalan beriringan, karena inovasi tanpa keamanan ibarat membangun istana pasir di tepi pantai - megah untuk sementara, tetapi rentan runtuh kapan saja.
Baca juga Kecerdasan Buatan, Memperkuat atau Menggantikan Manusia?
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News