Indonesia kembali menyatakan dukungannya untuk mewujudkan two-state solution atau solusi dua negara bagi Palestina dan Israel. Hal ini disampaikan langsung oleh Presiden Prabowo Subianto dalam Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (SMU PBB) beberapa waktu lalu.
Namun, yang disampaikan oleh Prabowo itu menuai berbagai komentar dari masyarakat. Banyak yang menilai bahwa two-state solution akan merugikan rakyat Palestina.
Benarkah Jadi Solusi Paling Realistis?
Menjawab hal ini, Dosen Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Prof. Sidik Jatmika, M.Si., menilai bahwa two-state solution menjadi opsi yang paling realistis untuk meredam konflik tersebut.
Menyadur dari laman umy.ac.id, Sidik mengutip teori William D. Copeland, di mana menurutnya pergeseran sikap negara Barat akhir-akhir ini dipengaruhi oleh tiga hal utama dalam pengambilan keputusan politik luar negeri, yakni dinamika politik domestik, kombinasi kemampuan militer dan kondisi ekonomi, serta konteks internasional.
Ia menyoroti bagaimana negara-negara di Eropa kini ‘berbalik’ dan mendukung Palestina. Faktor ekonomi disebut Sidik menjadi pertimbangan penting di balik perubahan sikap negara-negara yang dulu mendukung Israel itu.
“Dulu Israel mendapat dukungan penuh dari Amerika Serikat, Inggris, dan Prancis. Kini, sejumlah negara Eropa, Kanada, dan Australia mulai melonggarkan dukungannya dan bahkan mengakui kemerdekaan Palestina. Faktor ekonomi menjadi pertimbangan penting di balik perubahan sikap ini,” jelasnya.
Negara-negara di Eropa, Kanada, dan Australia disebut memiliki ketergatungan energi yang sangat tinggi di kawasan Timur Tengah. Artinya, stabilitas Timur Tengah jelas sangat berpengaruh pada kepentingan nasional negara-negara tersebut.
Sebaliknya, Amerika Serikat disebut Sidik justru relatif tidak merasa dirugikan dengan konflik Timur Tengah, karena negara adidaya itu tidak terlalu bergantung pada pasokan minyak dari sana.
Krisis berkepanjangan tentu akan membuat harga minyak dunia tidak stabil. Sidik mengatakan, krisis ini akan mendorong lahirnya solusi perdamaian.
“Dorongan untuk win-win solution semakin kuat ketika ada krisis bersama atau multi-disruption. Hal ini menumbuhkan harapan bahwa solusi dua negara akan menjadi pilihan paling masuk akal,” terang pakar keamanan internasional itu.
Ia berpendapat, konflik Palestina-Israel selama ini bercorak zero-sum game, di mana salah satu pihak harus ‘kalah’, dan akhirnya akan mengarah pada kesepakatan jalan tengah. Sidik juga mencontohkan bagaimana sikap politik luar negeri Indonesia yang konsisten mendorong kemerdekaan Palestina, tetapi juga mempertimbangkan eksistensi Israel.
“Pak Prabowo dalam Sidang Umum PBB ke-80 menegaskan Indonesia mendukung kemerdekaan Palestina, tetapi juga memikirkan keberlangsungan Israel. Sejak awal Indonesia memang mendukung kemerdekaan Palestina tanpa menafikan eksistensi bangsa Israel,” imbuhnya.
Menurut Sidik, solusi dua negara, dengan pembagian wilayah, termasuk Yerusalem Timur, Tepi Barat, dan Jalur Gaza merupakan opsi paling realistis dalam kondisi saat ini.
“Pilihan ini yang paling masuk akal dan mendapat dorongan kuat seiring pergeseran dukungan internasional,” pungkasnya.
Dukungan Indonesia untuk Mewujudkan Solusi Dua Negara
Majelis Umum PBB mengadopsi New York Declaration on the Peaceful Settlement of the Question of Palestine and the Implementation of the Two-State Solution pada 12 September 2025. Hasil dari deklarasi tetsebut, sebanyak 142 negara setuju untuk mendukung two-state solution sebagai solusi untuk menciptakan perdamaian Palestina dan Israel.
Menariknya, Indonesia menjadi salah satu negara mitra yang bergabung dalam deklarasi yang diketuai oleh Prancis dan Arab Saudi itu. Deklarasi New York berisikan peta jalan yang komprehensif untuk menyelesaikan konflik.
Indonesia sendiri memang sudah lama mendukung pengimplementasian two-state solution untuk kedua negara. Namun, hasilnya masih nihil.
Dokumen deklarasi ini juga mengatur rencana pemulihan pascaperang yang tertuang pada Arab OIC Gaza Recovery Plan. Nantinya, setelah perang benar-benar usai, prioritas utama yang dilakukan adalah pembersihan puing persenjataan, penyediaan perumahan darurat, pemulihan layanan kesehatan, pendidikan, air, energi, dan menciptakan lapangan kerja agar ekonomi Gaza dapat hidup kembali.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News