Kawan GNFI tentu pernah merasakan bagaimana beras yang keras dan kering berubah menjadi nasi yang pulen, lembut, dan hangat setelah dimasak. Perubahan sederhana ini kerap dianggap biasa, padahal di baliknya bekerja sebuah fenomena ilmiah bernama gelatinisasi pati.
Pati adalah karbohidrat utama yang terdapat pada berbagai bahan pangan seperti beras, jagung, gandum, kentang, singkong, dan ubi jalar. Granulanya berbentuk kecil dan keras, tetapi ketika bertemu dengan panas dan air, ia mulai menyerap cairan, membengkak, dan kehilangan bentuk aslinya.
Pemanasan lebih lanjut membuat granula pecah sehingga molekulnya, seperti amilosa dan amilopektin, terlepas ke dalam cairan. Dari sinilah nasi menjadi pulen, bubur menjadi lembut, dan saus menjadi kental (Rohman et al., [2023]).
Fenomena ini tidak hanya terjadi pada nasi. Roti menjadi empuk karena butiran pati yang pecah saat adonan dipanggang. Sup dan saus menjadi creamy karena tepung yang dimasak bersama cairan berubah strukturnya. Mi instan bahkan cukup diseduh dengan air panas untuk kembali kenyal karena teknologi pangan memanfaatkan prinsip gelatinisasi agar rehidrasi berjalan cepat. Tanpa disadari, proses ilmiah sederhana ini selalu menemani Kawan GNFI di meja makan.
Lebih dari sekadar menciptakan tekstur, gelatinisasi juga mempengaruhi pencernaan. Ketika granula pecah, enzim pencernaan lebih mudah menjangkau molekul pati. Akibatnya, glukosa dilepaskan lebih cepat dan energi segera tersedia bagi tubuh.
Imanningsih (2017) menegaskan bahwa profil gelatinisasi tertentu pada tepung-tepungan dapat mempercepat ketersediaan energi sehingga makanan yang dimasak dengan baik menjadi lebih mudah dicerna. Tidak heran, sepiring nasi hangat mampu mengembalikan tenaga dengan cepat setelah lelah beraktivitas.
Yang menarik, setiap jenis pati memiliki suhu gelatinisasi berbeda. Ubi jalar, misalnya, membutuhkan kondisi sekitar 59 hingga 60°C dengan waktu pemanasan sekitar 15 menit untuk menghasilkan pati yang larut optimal, mengembang maksimal, dan memiliki kapasitas mengikat air tinggi.
Muslimin (2018) menekankan bahwa pemahaman ini penting agar bahan lokal bisa diolah secara tepat, sehingga bukan hanya enak tetapi juga bernilai gizi lebih baik.
Selain jenis bahan, keberadaan zat tambahan turut menjadi faktor. Gula, misalnya, dapat mengubah suhu gelatinisasi. Florentina (2012) menjelaskan bahwa ketika gula hadir, molekul air lebih sibuk berikatan dengan gula dibandingkan membantu pati mengembang. Akibatnya, tekstur puding manis terasa berbeda dengan bubur polos meskipun keduanya sama-sama berbasis pati.
Tidak hanya gula, serat pun berperan. Widiastuti et al. (2018) menemukan bahwa serat arabinoxylan yang berasal dari dedak gandum mampu memperlambat gelatinisasi pati gandum karena air lebih banyak terikat pada serat. Inilah yang membuat roti gandum lebih padat dan kenyal, berbeda dengan roti putih yang lembut dan mudah hancur.
Dalam dunia industri, prinsip gelatinisasi dimanfaatkan secara luas. Produsen makanan bayi instan, mi instan, hingga makanan fungsional rendah indeks glikemik, semuanya bergantung pada pemahaman yang baik mengenai titik dan kondisi gelatinisasi pati.
Dengan mengendalikan suhu, lama pemanasan, dan komposisi bahan, produsen dapat menentukan kualitas tekstur sekaligus manfaat gizi produknya. Hal ini juga membuka peluang pemanfaatan bahan pangan lokal, seperti singkong, sagu, dan ubi jalar, untuk diolah menjadi produk inovatif bernilai tambah.
Pada akhirnya, gelatinisasi membuktikan bahwa ilmu pengetahuan tidak selalu berada di laboratorium. Ia hadir di dapur rumah tangga, dalam panci yang mengepul, dan di setiap suapan makanan yang kawan GNFI nikmati.
Dari nasi, bubur, roti, hingga pasta, semua makanan yang kita santap setiap hari sesungguhnya adalah hasil kerja molekul yang membengkak karena panas dan air. Proses sederhana yang menghadirkan rasa, tekstur, dan manfaat kesehatan sekaligus menjadi bukti bahwa sains selalu akrab dengan kehidupan sehari-hari.
Referensi:
- Florentina, F. 2012. Teknik gelatinisasi tepung beras untuk menurunkan indeks glikemik. Jurnal Gizi dan Pangan. Vol. 7(2): 83–90.
- Imanningsih, N. 2017. Profil gelatinisasi beberapa formulasi tepung-tepungan. Jurnal Penelitian Gizi dan Makanan. Vol. 40(2): 105–112.
- Muslimin, M. 2018. Karakterisasi pati ubi jalar (putih, orange, dan ungu). Jurnal Saintis. Vol. 18(2): 45–54.
- Rohman, A., Huda, N., dan Lestari, D. 2023. Struktur pati beras (Oryza sativa L.) dan mekanisme perubahan pada fenomena gelatinisasi dan retrogradasi. Agrointek. Vol. 17(1): 120–129.
- Widiastuti, T., Susanto, T., dan Nurhayati, R. 2018. Sifat fisikokimia roti gandum akibat interaksi pati dengan serat. Jurnal Teknologi Pangan. Vol. 19(1): 34–42.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News