Theresia Dwiaudina Sari Putri, akrab Dini, merupakan satu-satunya bidan di Desa Uzuzozo, Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur. Ia bukan hanya tenaga medis, tetapi juga garda depan edukasi kesehatan di wilayah 3T yang serba terbatas ini.
Dini merupakan salah satu penerima SATU Indonesia Awards, program yang digagas Astra untuk mengapresiasi anak muda yang melakukan aksi nyata demi Indonesia. Semangatnya kembali ke desa setelah lulus sekolah kebidanan di Surabaya, menjadi awal perjuangannya mendampingi ibu hamil sekaligus menurunkan angka stunting di kampung kelahirannya.
“Motivasi besar saya dalam menurunkan angka stunting adalah untuk mendukung program pemerintah dan menciptakan generasi bangsa yang sehat,” ujar Dini, dikutip dari akun resmi @satu_indonesia.
Baca Juga: Pojokgizi: Melawan Hoaks Gizi, Membangun Generasi Sehat
Awalnya, Dini tidak pernah membayangkan menjadi tenaga kesehatan. Cita-citanya justru berkaitan dengan seni. Namun, berkat dorongan orang tua dan rasa kemanusiaan, ia akhirnya memilih jalan hidup sebagai bidan. Pada 2016, ia merampungkan Diploma 3 Kebidanan di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Surabaya, lalu memutuskan pulang untuk mengabdi di desa.
Setahun kemudian, ia mendaftar sebagai bidan di puskesmas setempat. Jalan yang ia tempuh tidak mulus. Berbagai penolakan sempat ia hadapi karena masyarakat lebih percaya pada dukun bersalin ketimbang tenaga medis. Puskesmas tempatnya bekerja pun sederhana, dengan fasilitas dan peralatan terbatas.
Meski begitu, Dini tidak menyerah. Ia gencar melakukan penyuluhan dari pintu ke pintu, meyakinkan para ibu hamil agar mau melahirkan di fasilitas kesehatan. Ia juga menggandeng dukun bersalin untuk bekerja sama, membagi peran agar masyarakat lebih mudah menerima keberadaannya.
"Saya melakukan pendekatan ke ibu hamil. Mereka yang sudah melakukan persalinan di fasilitas kesehatan pun memberikan testimoni," jelasnya.
Perjalanan Dini penuh tantangan. Di Desa Uzuzozo, masih berlaku tradisi menyembunyikan kehamilan demi keselamatan ibu dan bayi. Situasi ini membuat data kesehatan seringkali tidak akurat. Untuk mengatasinya, Dini kembali menggandeng para dukun agar mau berbagi informasi tentang ibu hamil yang datang pada mereka.
"Saya melakukan kerjasama kepada mama-mama dukun ini untuk saling sharing cerita. Jika ada ibu hamil yang mengunjungi dukun, maka silahkan lakukan apa yang menjadi tugas ibu dukun dan saya melakukan tugas saya," ujar Dini, seperti yang tertera di akun instagram resmi @satu_indonesia.
Langkah kecil itu membawa hasil besar. Perlahan, masyarakat mulai terbuka dan percaya. Testimoni para ibu yang melahirkan dengan selamat di bawah pengawasan Dini menjadi pintu masuk perubahan. Angka stunting di desa pun menurun drastis, dari 15 anak menjadi hanya 3 anak. Anhka stunting menurun hingga 70 persen.
Pengabdiannya dijalankan dengan penuh keikhlasan, meski gaji awalnya hanya berasal dari dana desa. Ia bahkan pernah menerima seekor anjing sebagai bentuk pembayaran. Setelahnya ia mendapat bayaran satu juta rupiah perbulan dan terus naik seratus ribu pertahun. Dini membuktikan tak perlu gaji tiga juta perhari agar bekerja tulus untuk Indonesia.
Atas dedikasinya, Dini menerima SATU Indonesia Award pada 2013. Dana apresiasi yang ia terima tidak dinikmati sendiri, melainkan dipakai untuk membeli peralatan medis tambahan di puskesmas. Sejak itu, kepercayaan masyarakat terhadap layanan kesehatan semakin meningkat.
Program SATU Indonesia Awards sendiri sudah berjalan sejak 2010. Tahun ini kembali hadir dengan tema “Satukan Gerak, Terus Berdampak”, menjaring anak-anak muda yang berkontribusi nyata di bidang kesehatan, pendidikan, lingkungan, kewirausahaan, dan teknologi. Dini menjadi salah satu bukti bahwa aksi kecil dari desa terpencil mampu memberi dampak besar bagi masa depan bangsa.
#kabarbaiksatuindonesia
Baca Juga: Hera Wijaya: Menyulap Bonggol Pisang Menjadi Produk Olahan Bernilai
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News