Di tengah arus modernisasi yang kian deras, ada sebuah tradisi yang tetap bertahan di Desa Sidodadi, Kecamatan Mijen, Kota Semarang. Tradisi ini bukan sekadar ritual tahunan, melainkan bagian dari identitas masyarakat yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Namanya Bari’an, sebuah perayaan syukur, silaturahmi, dan penghormatan kepada leluhur yang telah ada sejak sebelum Indonesia merdeka.
Jejak Sejarah yang Panjang
Tradisi Bari’an selalu diadakan setahun sekali, tepatnya pada malam Jumat Kliwon bulan Jumadilakhir dalam penanggalan Jawa. Kata “Bari’an” diyakini berasal dari kata barokah, yang berarti “berkah”. Bagi warga Sidodadi, Bari’an adalah wujud rasa syukur atas rezeki dan keselamatan, sekaligus sarana mempererat hubungan antarwarga.
Awal mula tradisi ini tidak lepas dari kisah dua tokoh pendiri desa: Ki Tejo Lelono atau Mbah Degol, dan Ki Wonoyudo atau Mbah Wonoyudo. Julukan “Degol” disematkan karena tangan kiri Ki Tejo Lelono mbedegol (menekuk atau berbeda bentuk).
Mbah Degol adalah orang pertama yang membuka hutan dan menjadikannya permukiman, yang kini dikenal sebagai Desa Sidodadi. Mbah Wonoyudo adalah menantu beliau, yang kelak menjadi tokoh penting dalam sejarah desa.
Kisah yang Melahirkan Tradisi
Konon, pada masa awal berdirinya desa, muncul sekelompok orang yang meresahkan warga. Mereka mengganggu keamanan dan membuat masyarakat hidup dalam ketakutan. Pemimpin setempat saat itu mengadakan sayembara: siapa pun yang berhasil menangkap para pengacau tersebut akan mendapat imbalan.
Mbah Degol dan Mbah Wonoyudo bekerja sama untuk menumpas ancaman itu. Berkat keberanian dan kecerdikan mereka, para pengacau berhasil ditangkap. Sebagai ungkapan syukur atas kemenangan dan keselamatan desa, warga mengadakan tasyakuran yang kemudian diberi nama Bari’an.
Simbol dan Mitos
Dalam setiap pelaksanaan Bari’an, warga membawa makanan khas berupa ketupat dan lepet. Kedua makanan ini memiliki makna simbolis, sekaligus dikaitkan dengan kisah unik: ketupat dan lepet adalah makanan kesukaan harimau peliharaan Mbah Degol yang bernama Raden Ayu Serang.
Dulu, ada kepercayaan bahwa siapa pun yang tidak membawa ketupat dan lepet saat Bari’an akan “didatangi” Raden Ayu Serang pada malam harinya. Mitos ini membuat semua warga patuh membawa kedua hidangan tersebut. Seiring waktu, kepercayaan itu memudar, tapi kebiasaan membawa ketupat dan lepet tetap lestari, kini sebagai simbol kebersamaan dan rasa syukur, bukan karena rasa takut.
Suasana Pelaksanaan Bari’an
Menjelang hari pelaksanaan, warga mulai menyiapkan ketupat dan lepet beberapa hari sebelumnya. Pada malam Jumat Kliwon yang telah ditentukan, mereka berkumpul di pintu masuk desa. Suasana menjadi meriah: lampu-lampu menyala, aroma masakan tercium di udara, dan suara obrolan bercampur tawa menghangatkan malam.
Acara dimulai dengan sambutan dari tokoh masyarakat, dilanjutkan sambutan camat atau lurah. Setelah itu, dibacakan sejarah berdirinya desa, mengingatkan warga akan jasa para pendahulu. Sambil mendengarkan, warga membagikan ketupat dan lepet kepada siapa saja yang lewat, termasuk pendatang dari desa lain.
Saking banyaknya makanan yang dibagikan, jalan masuk desa sering kali macet, apalagi acara ini bertepatan dengan jam pulang sekolah dan kerja. Namun, kemacetan itu justru menjadi tanda kemeriahan. Banyak warga dari desa tetangga sengaja datang untuk ikut merasakan suasana Bari’an.
Warisan yang Terus Hidup
Hingga kini, tradisi Bari’an tetap diadakan setiap tahun oleh seluruh warga Desa Sidodadi. Bagi mereka, Bari’an bukan hanya ritual, tetapi juga pengingat bahwa kebersamaan dan rasa syukur adalah kekuatan yang menjaga desa tetap harmonis.
Sebuah tradisi tidak akan punah jika terus diwariskan kepada anak dan cucu. Dari generasi ke generasi, Bari’an menjadi bukti bahwa di tengah perubahan zaman, ada nilai-nilai yang tetap dijaga, nilai yang mengikat masa lalu, masa kini, dan masa depan dalam satu ikatan kebersamaan. Semoga bermanfaat
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News