Banyuwangi bukan hanya dikenal sebagai “The Sunrise of Java” dengan keelokan alamnya, tetapi juga sebagai ruang kultural yang kaya akan tradisi dan kearifan lokal. Salah satu titik penting dari kekayaan budaya tersebut adalah Desa Kemiren, sebuah desa adat yang menjadi representasi hidup masyarakat Using (Osing), suku asli Banyuwangi.
Desa ini bukan sekadar objek wisata budaya, melainkan laboratorium sosial tempat tradisi, modernitas, dan pariwisata saling bersinggungan dalam dialektika yang unik. Desa Kemiren, yang dikenal sebagai Desa Osing, termasuk dalam program Kampung Berseri Astra (KBA) setelah ditetapkan sebagai desa binaan resmi oleh Astra. Melalui program ini, potensi desa dikembangkan secara menyeluruh, meliputi aspek kesehatan, pendidikan, pelestarian lingkungan, hingga penguatan kewirausahaan masyarakat.
Identitas dan Keunikan Desa Kemiren
Desa Kemiren terletak di Kecamatan Glagah, Banyuwangi, hanya sekitar 15 menit dari pusat kota. Desa ini kerap disebut sebagai “jendela kebudayaan Osing” karena masih mempertahankan adat istiadat leluhur secara konsisten. Rumah-rumah tradisional Osing dengan struktur khas tikel balung (atap berbentuk segitiga ganda) berdiri berdampingan dengan bangunan modern, menciptakan lanskap visual yang merekam perjalanan waktu.
Di tengah derasnya globalisasi, Desa Kemiren berhasil menjadikan identitas kultural sebagai modal sosial. Bukan sekadar untuk kepentingan pariwisata, melainkan sebagai bentuk resistensi terhadap homogenisasi budaya yang kerap mengikis lokalitas. Ritual-ritual seperti Barong Ider Bumi, upacara bersih desa yang digelar setiap Lebaran Ketupat, menjadi bukti bahwa nilai sakral tetap hidup meski pariwisata merambah.
SATU Indonesia Awards 2024 untuk I Made Aditiasthana, Perawat Luka Diabetes dari Bali
Dinamika Sosial-Budaya: Tradisi yang Menyatu dengan Kehidupan
Kehidupan masyarakat Desa Kemiren tidak dapat dilepaskan dari ikatan sosial yang kuat, sebuah nilai yang diwariskan dari generasi ke generasi. Di desa ini, tradisi bukan sekadar simbol, melainkan realitas yang mengatur ritme kehidupan sehari-hari. Gotong royong menjadi fondasi utama dalam setiap aktivitas, mulai dari kegiatan pertanian, pembangunan rumah, hingga penyelenggaraan upacara adat. Prinsip kolektivitas ini menunjukkan bahwa masyarakat Osing menempatkan kebersamaan sebagai prioritas, jauh di atas kepentingan individual.
Salah satu tradisi sosial yang paling menonjol adalah ngopi bareng, sebuah aktivitas sederhana namun sarat makna. Warung kopi di Kemiren tidak hanya berfungsi sebagai tempat menikmati kopi hitam khas Osing, melainkan juga menjadi ruang publik yang menampung berbagai percakapan. Di sanalah masyarakat saling bertukar pikiran tentang kehidupan sehari-hari, mengulas dinamika politik lokal, hingga membicarakan isu-isu global yang sedang hangat. Dengan kata lain, warung kopi berfungsi layaknya “parlemen rakyat” di mana setiap suara memiliki ruang untuk didengar. Tradisi ini menunjukkan bahwa masyarakat Kemiren memiliki kultur diskursus yang egaliter, menjadikan warung kopi sebagai media intelektual yang tumbuh dari akar budaya lokal.
Selain aspek sosial, kekayaan budaya Desa Kemiren juga tercermin dalam kesenian yang masih dijaga kelestariannya hingga kini. Tari Gandrung Banyuwangi, misalnya, bukan hanya sekadar pertunjukan estetis, tetapi juga representasi historis tentang penghormatan pada Dewi Sri sebagai simbol kesuburan. Tarian ini berkembang menjadi ikon identitas Banyuwangi, sekaligus sarana komunikasi budaya yang menyatukan masyarakat dengan masa lalunya.
Begitu pula dengan Angklung Paglak, kesenian yang awalnya tumbuh dari kehidupan agraris masyarakat. Alat musik bambu yang dimainkan dari atas gardu di sawah, selain menjadi hiburan, juga berfungsi praktis untuk mengusir hama burung. Kini, Angklung Paglak tampil sebagai kesenian khas yang menyimpan narasi tentang bagaimana masyarakat Osing mampu menggabungkan kreativitas artistik dengan kebutuhan hidup sehari-hari.
Tak kalah penting, Janger Osing hadir sebagai kesenian rakyat yang memadukan musik, tari, dan dialog berbahasa Osing. Pertunjukan ini tidak hanya menghibur, tetapi juga menjadi sarana pendidikan budaya. Melalui Janger, pesan-pesan moral, kritik sosial, bahkan refleksi kehidupan sehari-hari disampaikan kepada penonton dalam balutan seni yang menyenangkan. Dengan demikian, kesenian di Desa Kemiren berfungsi ganda: di satu sisi sebagai hiburan kolektif, dan di sisi lain sebagai alat ekspresi eksistensial yang meneguhkan identitas suku Osing.
Justitia Avila Veda Advokat Korban Kekerasan Seksual, Suara Bagi yang Tak Terdengar
Para seniman di desa ini tidak melihat kesenian hanya sebagai komoditas untuk pariwisata, melainkan sebagai perwujudan kesadaran budaya. Mereka meyakini bahwa setiap tarian, musik, dan ritual memiliki roh serta makna yang harus dijaga. Seni di Kemiren adalah bahasa spiritual sekaligus sosial, yang menghubungkan manusia dengan leluhur, masyarakat dengan generasi penerus, serta desa dengan dunia luar.
Transformasi Desa Kemiren Melalui Program KBA Astra
Desa Kemiren berhasil meraih penghargaan Kampung Berseri Astra karena mampu menunjukkan keseimbangan antara pelestarian budaya lokal dan peningkatan kualitas hidup masyarakat. Keunikan masyarakat Osing yang masih teguh menjaga adat istiadat, bahasa, dan kesenian tradisional menjadi modal sosial yang kuat untuk membangun desa berbasis kearifan lokal. Di sisi lain, program KBA di Kemiren berjalan efektif karena empat pilar utama yaitu kesehatan, pendidikan, lingkungan, dan kewirausahaan yang benar - benar diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam bidang kesehatan, KBA mendorong penguatan posyandu dan posbindu, menyediakan pemeriksaan kesehatan gratis, serta mengedukasi warga tentang gizi seimbang dan pola hidup bersih. Upaya ini diperkuat dengan gerakan sanitasi sehat melalui pembangunan jamban keluarga, penyediaan air bersih, serta pendampingan ibu hamil dan balita untuk mencegah stunting.
Di bidang pendidikan, dukungan diberikan melalui bantuan fasilitas sekolah, pelatihan guru, serta kelas literasi dan budaya bagi anak-anak yang tidak hanya berfokus pada kemampuan membaca, tetapi juga pada pemahaman bahasa dan kesenian Osing. Beasiswa pun disalurkan untuk anak-anak berprestasi dari keluarga kurang mampu, sehingga kesempatan memperoleh pendidikan lebih merata.
Kesadaran menjaga kelestarian lingkungan juga diperkuat melalui program bank sampah, gerakan penghijauan, serta edukasi tentang pengelolaan limbah rumah tangga. Warga diajak untuk memilah sampah, mengurangi plastik sekali pakai, hingga memanfaatkan kompos. Selain itu, kampanye desa bersih dan asri dijalankan agar Kemiren tetap terjaga keindahannya sebagai destinasi wisata budaya yang sehat dan nyaman.
Di sisi lain, bidang kewirausahaan turut menjadi fokus utama dengan mengembangkan potensi lokal seperti kopi Osing, pecel pitik, dan kerajinan tangan khas masyarakat Osing. Warga juga didorong membuka homestay budaya, sehingga wisatawan dapat merasakan pengalaman tinggal di rumah adat. Untuk memperkuat usaha, KBA memberikan pelatihan manajemen, pendampingan dalam pencatatan keuangan, strategi pemasaran, hingga pengemasan produk agar lebih menarik dan siap bersaing di pasar yang lebih luas.
Melalui serangkaian aksi tersebut, KBA tidak hanya meningkatkan kualitas hidup masyarakat Kemiren dari segi kesehatan, pendidikan, lingkungan, dan ekonomi, tetapi juga memperkuat identitas desa sebagai pusat budaya Osing yang mampu bertahan sekaligus beradaptasi di tengah arus modernisasi.
#kabarbaiksatuindonesia
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News