Eskalasi politik pada akhir Agustus hingga awal September 2025 kembali membuka luka lama demokrasi. Demonstrasi yang seharusnya menjadi saluran kritik konstruktif justru diwarnai anarkisme, memakan korban jiwa, dan sarat kepentingan tersembunyi.
Dalam situasi inilah istilah "mafia" mencuat, bukan sekadar metafora, melainkan indikasi adanya jaringan gelap yang mengendalikan gejolak politik dan ekonomi dari balik layar.
Mafia Bukan Sekadar Kriminal
Sebagaimana dijelaskan oleh Moisés Naím dalam tulisannya Mafia States (Carnegie Endowment, 2012), ketika kepentingan mafia yang telah menyatu dengan rezim terganggu, mereka tidak segan menggunakan kekuasaan untuk menciptakan kekacauan sistemik demi melindungi bisnis ilegal sekaligus mempertahankan kendali politik.
Naím menegaskan, “Governments heavily involved in illicit trade might be more prone to use force when their access to profitable markets is threatened”.
Argumen Naim diperkuat oleh Letizia Paoli dalam bukunya Mafia Brotherhoods: Organized Crime, Italian Style (Oxford University Press, 2003). Paoli mencatat bahwa organisasi Cosa Nostra dan Ndrangheta, “Do not limit themselves to threats or bomb attacks... they do not hesitate to physically eliminate whoever hinders their plans” (hlm. 81).
Dengan kata lain, kekerasan terorganisasi bukanlah reaksi spontan, melainkan strategi yang dirancang untuk menjaga kepentingan.
Konteks Indonesia
Di Indonesia, gejala serupa terlihat jelas. Presiden Prabowo Subianto, dalam Pidato Kenegaraan 15 Agustus 2025, menegaskan komitmennya menindak para mafia, salah satunya mafia pertambangan ilegal yang ditaksir merugikan negara hingga ratusan triliun rupiah.
Ia menyebut adanya 1.063 tambang ilegal dan menekankan bahwa tidak ada pihak-baik pejabat, politisi, maupun kader partainya sendiri-yang akan dilindungi jika terbukti terlibat.
Bahkan, pada 1 September 2025 ia kembali menegaskan:
Saya menduga kita sudah ada indikasi-indikasi dan kita akan tidak ragu-ragu. Saya tidak ragu-ragu membela rakyat. Saya akan hadapi mafia-mafia yang sekuat apapun saya hadapi atas nama rakyat. Saya bertekad memberantas korupsi. Sekuat apapun mereka, demi Allah saya tidak akan mundur sekuat apapun," (Sumber : Youtube Sekretariat Presiden).
Mafia Sebagai Jaringan Bayangan
Pertarungan melawan mafia bukan hanya soal keamanan publik, melainkan juga konfrontasi dengan jaringan bayangan yang telah mengakar dalam birokrasi, politik, dan aparat.
Demonstrasi yang seharusnya menjadi ekspresi demokrasi bisa berubah menjadi panggung bagi segelintir elite untuk membiayai provokasi dan menjadikan kericuhan sebagai alat tekan terhadap negara.
Strategi Kelam dan Daya Adaptasi Mafia
Mafia adalah aktor yang adaptif. Mereka menciptakan narasi alternatif untuk meruntuhkan legitimasi negara di mata publik. Mereka menyusup ke dalam struktur kekuasaan dengan mendanai kampanye dan mengendalikan kebijakan.
Mereka juga membangun aliansi dengan aparat agar operasi negara mudah bocor atau bahkan gagal total. Dengan strategi semacam ini, mafia mampu bertahan bahkan di tengah upaya pemberantasan yang masif.
Belajar dari Dunia
Fenomena ini bukan khas Indonesia. Di Ghana, operasi penertiban tambang ilegal menghadapi lobi politik. Di Venezuela, konflik tambang di Arco Minero berkembang menjadi kekerasan bersenjata. Di Filipina, Menteri Lingkungan Gina Lopez dilengserkan setelah menantang oligarki tambang.
Polanya sama: ketika kepentingan ekonomi gelap terganggu, mafia menciptakan kekacauan demi melindungi jaringannya.
Laporan Global Organized Crime Index tahun 2023 menempatkan Indonesia pada peringkat ke-20 dunia dengan skor 6,85 dari 10, kategori high criminality. Ancaman terbesar datang dari aktor sektor swasta, terutama yang terlibat dalam sumber daya alam seperti pertambangan ilegal (Global Initiative, 2023). Fakta ini menegaskan mafia bukan sekadar isu lokal, melainkan ancaman global yang nyata.
Upaya Melawan Mafia: Pertarungan Ideologis dan Demokrasi
Pada akhirnya, pertarungan ini bukan hanya soal keamanan, melainkan soal ideologi: siapa yang menentukan arah negara, institusi sah yang lahir dari demokrasi, atau kekuatan gelap yang beroperasi di balik layar. Karena itu upaya melawan mafia dan kejahatan terorganisir tidak dengan pendekatan represif, apalagi menyasar masyarakat yang tidak tahu-menahu atau hanya menjadi korban para mafia
Strategi komprehensif diperlukan: penegakan hukum yang transparan, pemberdayaan media dan masyarakat sipil, serta regulasi yang membatasi pendanaan politik dari sumber ilegal.
Studi-studi di negara lain, khususnya di Italia, Seperti yang dipaparkan oleh Vincenzo Militello dalam tulisannya dibuku Social Dimensions of Organised Crime (Springer, 2016) menunjukkan bahwa keberhasilan melawan pengaruh mafia bergantung pada kombinasi transparansi dalam penegakan hukum, keterlibatan masyarakat sipil, dan faktor politik sangat penting untuk mengurangi pengaruh mafia dalam politik dan ekonomi.
Lebih lanjut ditegaskan oleh Vincenzo Militello bahwa "the collaboration between institutions and civil society is undoubtedly the greatest contribution which Italy can offer-even considering the high price paid in terms of human suffering-to the general debate (also at international level) over organised crime" (hlm. 175-176). Dengan kata lain, kolaborasi antara negara dan masyarakat sipil adalah kunci untuk melawan mafia.
Penutup: Negara Harus Konsisten
"Ketika negara melawan mafia" bukanlah sekadar jargon, melainkan panggilan untuk konsistensi. Konsistensi berarti penegakan hukum tanpa pandang bulu, institusi yang berintegritas, serta keberpihakan nyata kepada rakyat.
Hanya dengan itu demokrasi dapat bertahan, agar masa depan Indonesia tetap berada di tangan rakyat, bukan di tangan jaringan gelap yang bersembunyi di baliknya.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News