merayakan kegagalan untuk menumbuhkan anak didik usia dini di sekolah - News | Good News From Indonesia 2025

Merayakan Kegagalan untuk Menumbuhkan Anak Didik Usia Dini di Sekolah

Merayakan Kegagalan untuk Menumbuhkan Anak Didik Usia Dini di Sekolah
images info

Di Indonesia sejak dini anak sudah dituntut untuk harus bisa baca tulis, menggambar, bermain alat musik sekaligus menghitung agar memenuhi ekspektasi siswa unggul. Padahal, setiap orang berkembang dengan ritme berbeda. Seakan prestasi hanya diukur dari seberapa cepat anak menguasai.

Di sinilah pentingnya belajar “merayakan” kegagalan. Belum bisa membaca, nilai rapor merah atau salah menghitung bukanlah aib, melainkan bagian dari bertumbuh. Kawan bayangkan Thomas Edison penemu lampu pijar yang jika saja menyerah selangkah dari beribu kegegalan sebelum temuannya berhasil.

Pepatah bilang orang hanya peduli hasil, bukan proses. Namun, jika anak hanya diajarkan mengejar nilai tanpa ada kesempatan untuk melatih daya tahan, mereka bisa tumbuh rapuh dan terbiasa mencari jalan pintas.

Bagaimana menurut Kawan? Bukankah justru kegagalan memberi ruang anak untuk mencoba berusaha dengan kemampuannya sendiri.

Kegagalan Anak Bisa Menumbuhkan Anak

Kawan barangkali pernah mendengar motivasi guru saat nilai di kelas buruk atau dari orang tua yang kecewa dengan nilai yang didapat. Seringkali nasihat itu hanya ajakan supaya tidak gagal, padahal kegagalan merupakan proses dan kesempatan untuk bangkit.

Menurut artikel Teaching Students to Use Failures Productively in Pre-K di laman edutopia.org, ada penjelasan biologis bagaimana kegagalan bisa menumbuhkan. Anak didik yang melihat potensi diri mereka akan melihat kondisi gagal sebagai kesempatan belajar daripada sebagai keterbatasan.

Ini berkaitan dengan ilmu neurosains yang menekankan pada bagaimana otak mengingat dan memberi solusi terhadap kesalahan yang dilakukan anak. Hal tersebut biasanya terjadi sejak anak belajar di taman kanak-kanak, waktu anak baru belajar skill motorik dan saat mereka mulai mengenal interaksi sosial. Pengalaman tersebut akan membentuk mereka kedepannya.

Contoh konket misalnya, seorang guru mewajibkan anak didiknya maju bercerita di depan kelas. Tentu murid yang suka perhatian semangat karena yakin nilai tugas mereka bagus.Sebaliknya, murid yang suka kedamaian cenderung keberatan karena mereka takut dapat nilai buruk lantaran kurang percaya diri.

Apakah nilai praktek siswa pendiam dan siswa aktif dibedakan?

Solusi nya jelaskan dan arahkan bagaimana mengatasi kegagalan sesuai dengan karakter siswa. Guru dalam hal ini lebih berperan sebagai fasilitator, bukan menyuruh murid berlari lalu menagih cepat di garis akhir.

Mekanisme Penilaian di Sekolah Sering Jadi Standar Kegagalan

Sesuai Permendikbud No. 23 Tahun 2016 Pasal 10 ayat 1, pihak dewan pendidik berhak mengatur mekanisme penilaian yang harus dicapai anak didik melalui rapat. Tujuannya agar sesuai dengan kemampuan dan potensi peserta didik, namun seringkali KKM dinaikkan seiring nilai bagus yang juga dimudahkan oleh guru.

Belajar dari embel-embel sekolah internasional yang dihapus karena disalahgunakan dulu. Fenomena ini digadang bukan semata demi mutu pendidikan, melainkan pencitraan oleh pihak sekolah untuk persaingan unit pendidikan unggul. Alih-alih fokus pada pengembangan karakter dan keterampilan berpikir kritis, sekolah justru menaikkan citra lewat nilai rapor yang indah.

Pasalnya, orang tua mana yang tidak senang bila anaknya unggul dalam hal akademik dan non akademik?

Kepala sekolah mana yang tidak ingin sekolahnya jadi favorit dan dikenal meluluskan siswa berprestasi?

Siswa mana yang tidak ingin nilainya bagus dan membuat orang tuanya bahagia?

Jawabannya adalah mereka yang tak sudi terkena risiko ilusi prestasi. Pada akhirnya siswa kehilangan daya juang karena dimanja nilai estetik tanpa berusaha. Kembali lagi, muaranya semua orang butuh makan dan ingin hidup aman. Mereka kaget beradaptasi dengan dunia kerja yang menuntut persaingan dan kreativitas yang tidak bisa didapat seperti nilai di sekolah.

Poin di atas pemetaan logika berpikirnya seperti pada tabel berikut:

Perlu Kawan GNFI ketahui bahwa menyanjung kegagalan secara berebihan itu lebih buruk dari memberi nilai palsu. Justru kebohongan itu membuat anak merasa paling spesial kapan pun dan dimana pun, sehingga sulit menerima kegagalan.

Pada akhirnya, pendidikan bukan hanya soal seberapa cepat anak mencapai target, tetapi bagaimana mereka mampu tumbuh sebagai manusia yang tangguh, jujur, dan tidak takut mencoba.

Bukankah lebih baik melahirkan generasi yang tahan banting daripada generasi yang takut terbanting?

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

MF
KG
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.