Nama H.I.M Damsyik melejit karena memerankan peran Datuk Maringgih. Namun, jauh sebelum itu ia lebih populer sebagai raja dansa. Lenggak-lenggoknya menghipnotis mata juri yang membawanya ke podium juara kontes tingkat kota.
Haji Incik Muhammad Damsyik nama lengkapnya. “Gelar” haji disematkan di depan nama lahir setelah ia menuaikan Rukun Islam kelima di tanah suci. Semenjak itu pula ia kemudian lebih sering dikenal dengan nama H.I.M. Damsyik.
Damsyik berkesenian sedari muda hingga tua. Puncak kariernya ada di dunia seni peran di mana dirasakannya pada awal 1990-an. Saat itu, ia memerankan tokoh antagonis Datuk Maringgih dalam miniseri TVRI, Siti Nurbaya yang diadaptasi dari novel Sitti Nurbaya: Kasih Tak Sampai (1922) karya Marah Rusli.
Totalitas Damsyik melakoni peran Datuk Maringgih mengena bagi banyak orang. Mengena, sampai-sampai ada pula yang gemas oleh Damsyik gegara terlampau sukses menjalani peran sosok saudagar tua kaya yang berambisi menikahi Siti Nurbaya yang dimainkan Novia Kolopaking.
“Saya masih ingat tubuh saya yang kurus ini dicubitin ibu-ibu. Gara-gara saya kejam dengan Siti Nurbaya,” kata Damsyik dikutip Good News From Indonesia dari surat kabar Berita Yudha terbitan 4 Desember 1997.
Akting Damsyik membekas, tapi imbasnya banyak orang kerap lupa bahwa prestasinya dalam berkesenian tak cuma itu. Jauh sebelum sukses di dunia akting, ia dikenal sebagai maestro dansa. Damsyik muda bahkan merajai lantai dansa dalam kontes di Ibu Kota Jakarta pada 1950-an.
Asa Raja Dansa
Ketertarikan Damsyik terhadap dansa tumbuh pada 1951. Mulanya, ia diajak ke pasar malam di Lapangan Gambir bersama beberapa teman perempuannya. Di tengah kemeriahan, semuanya berdansa bersama di atas ubin yang licin.
Kecuali Damsyik. Ia tidak bisa. Betul-betul tidak bisa. Alhasil ia hanya terpaku melihat kawan-kawannya berdansa kesana dan kemari.
Sang kawan lantas tidak tinggal diam dan meminta Damsyik untuk melantai bersama. Akan tetapi ajakan itu langsung ditolaknya. Damsyik pun diancam tidak tak akan lagi diajak keluar bersama jika tidak segera berdansa. Dari situlah ia mencoba serius untuk belajar dansa agar tidak dipermalukan lagi. Ia berguru dengan beberapa maestro salah satunya Henry Tan yang pakar dalam dansa Waltz dan Quickstep.
“Sejak itu kupelajarilah dansa-dansa dengan sungguh-sungguh untuk beberapa bulan lamanya. Mula-mulanya belajar dengan Alfred Allen sudah itu berpindah-pindah belajar pada Rallen, Tim, dan akhirnya pada Henry Tan. Dari Tan inilah boleh dikatakan yang sungguh-sungguh belajar,” ucap Damsyik, dikutip dari artikel majalah Aneka berjudul “Seorang achli bertjerita tentang DANSA” edisi 10 Desember 1953.
Damsyik belajar dan belajar. Ia malah sudah merasa siap berkompetisi di tingkat kota pada tahun yang sama ia berkenalan dengan dansa. Namun, Henry Tan mencegah keinginan Damsyik dengan alasan sang murid belum cakap benar mempertontokan kebolehannya.
Keputusan bulat diambil Damsyik. Ia berhenti berguru dengan Henry Tan dan memilih belajar sendiri untuk mengikuti pertandingan. Di luar dugaan, Damsyik yang hanya mempersiapkan diri selama sebulan dinobatkan sebagai juara dalam kontes yang diadakan di Gedung Algemeene Maatschappij voor Jongemannen (AMVJ).
Damsyik masih merajai lantai dansa tingkat kota setahun kemudian. Saat itu ia dan istrinya tampil dalam kontes yang digelar di ruangan lantai atas Hotel des Indes pada 10 Mei 1952. Beraksi di hadapan Wali Kota Syamsurizal yang menjadi tamu kehormatan, Damsyik dan istri menempati posisi pertama karena meraih poin tertinggi salah satunya dalam kategori dansa individu.
“Tuan dan Nyonya Damsyik dengan 150 poin juga membawakan (dansa) Waltz Inggris dan Slow-fox lewat penampilan dansa individu,” tulis harian Java Bode dalam artikel “Vijf beste dansparen van Djakarta gekozen” terbitan 12 Mei 1952.
Menjadi yang terbaik di kontes dansa Jakarta membawa Damsyik lolos ke kontes dansa seantero Jawa yang digelar di Bandung, Jawa Barat pada awal bulan Juli. Sayangnya, Damsyik dan istri hanya menempati peringkat kedua karena gelar juara jatuh ke pedansa Bandung, Yang Hwei Chen dan Henny Gouw.
Semakin andal, asa pun semakin pula menebal. Damsyik lalu memberanikan diri mendirikan sekolah dansa di daerah Tanah Abang, Jakarta Pusat. Berbekal prestasi tentu ia mengharapkan banyak peminat berdatangan untuk menikmati kelas dansa.
“Niatan untuk membuka sekolah dansa sendiri baru timbul atas anjuran kawan-kawan yang meminta agar mengajar dansa kepada mereka,” kata Damsyik.
Ketenaran Damsyik dan sekolah dansanya nyatanya memang benar menarik minat orang. Dari banyak peminat di antaranya ada ayah dan ibu penyanyi terkenal Indonesia, Chrisye yang mengikuti pelajaran dari sang maestro.
“Begitu semangatnya papi dan mami untuk terlibat dalam pesta dansa, sampai keduanya mendaftarkan diri ke HM Damsyik Dans School. HM Damsyik saat itu dipandang sebagai jagoan dansa paling beken. Banyak selebriti dan socialite zaman itu berguru ke sekolahnya demi bisa dibilang up to date karena jago melantai. Beberapa kali dalam seminggu, papi dan mami kursus di sana,” kata Chrisye dalam buku biografi Chrisye: Sebuah Memoar Musikal (2007) yang ditulis Alberthiene Endah.
Dansa Juga Olahraga
Dansa juga olahraga, bung! Bukan sekadar seni tari semata. Jadi bisa dibilang Damsyik adalah atlet olahraga dansa (dancesport) pada masanya.
Sama seperti olahraga lainnya, olahraga dansa juga memiliki federasi internasionalnya yakni World DanceSport Federation (WDSF). Komite Olimpiade Internasional telah mengakui adanya olahraga ini sejak 1997 dan telah menyertakannya dalam Olimpiade Paris 2024 melalui cabang tari kejang alias breakdancing.
Di Indonesia sendiri olahraga dansa diinduki oleh Ikatan Olahraga Dancesport Indonesia (IODI). Damsyik, sang Datuk Dansa yang sudah berpulang pada 3 Februari 2012 itu, pernah didaulat sebagai ketua umum organisasi tersebut tahun 2002 silam.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News