mundur untuk menang membaca strategi sun tzu di tengah represi aparat - News | Good News From Indonesia 2025

Mundur untuk Menang, Membaca Strategi Sun Tzu di Tengah Represi Aparat

Mundur untuk Menang, Membaca Strategi Sun Tzu di Tengah Represi Aparat
images info

Dalam buku Seni Perang, Sun Tzu memandang mundur saat menghadapi lawan yang lebih kuat bukan sebagai kepengecutan, melainkan sebagai wujud kebijaksanaan dalam mengatur strategis tertinggi.

Sebuah pemikiran kuno dari abad ke-5 sebelum masehi itu terasa sangat relevan di tengah hiruk pikuk demonstrasi yang mewarnai ruang publik Indonesia belakangan ini.

Hal itu bukan sekadar catatan militer, melainkan refleksi tentang seni menjaga kekuatan agar tidak terkikis sia-sia. Hari ini, ketika gelombang demonstrasi kembali mewarnai jalan-jalan di Indonesia, pesan Sun Tzu terasa semakin terlihat begitu relevan, terutama di tengah eskalasi kekerasan aparat yang kian memburuk.

Kemenangan, menurut Sun Tzu, bukan diukur dari keberhasilan memenangkan setiap pertempuran. Justru kemenangan sejati hadir ketika tujuan tercapai dengan kerugian minimal. Prinsip ini terdengar sederhana, tetapi konteks hari ini menunjukkan betapa sulitnya menerapkannya.

Dari sejumlah kota, aparat mulai menangani massa aksi dengan cara-cara yang kian tegas, bahkan menggunakan peluru tajam maupun karet. Situasi semacam ini menegaskan betapa timpangnya kekuatan yang dihadapi oleh demonstran. Melawan secara frontal dalam kondisi demikian sama saja menjerumuskan diri ke jurang kehancuran.

Negeri yang Tertinggal di Belakang, Sendirian

Seperti dalam perang, demonstrasi adalah bentuk perjuangan politik yang sah namun penuh dengan medan yang tidak pasti. Ada aparat dengan kekuatan penuh, ada opini publik yang mudah berubah, ada risiko disusupi provokasi. Tanpa perencanaan ulang secara matang, aksi yang lahir dari semangat bisa berujung pada kelelahan kolektif.

Sun Tzu menulis bahwa kemenangan sudah ditentukan bahkan sebelum pertempuran dimulai, melalui perencanaan yang matang dan kalkulasi yang cermat. Aksi yang lahir semata dari emosi tanpa perencanaan akan cepat habis tenaga, sementara negara dengan mudah menekannya melalui aparat yang makin represif.

Konsep mengenal diri sendiri dan mengenal lawan yang diajarkan Sun Tzu menjadi pelajaran penting. Demonstran harus paham kekuatan dan kelemahan mereka sendiri hingga perlu memahami sejauh mana kekuatan mereka bisa dipertahankan, sekaligus membaca kesiapan lawan.

Apabila dilihat dari sisi lain, memahami kekuatan lawan berarti membaca kesiapan aparat, memprediksi strategi negara dalam merespons dan memperkirakan apakah aksi akan ditoleransi, dinegosiasikan atau langsung ditekan dengan kekerasan. Tanpa membaca dua sisi ini, aksi bisa salah kalkulasi.

Aparat hari ini sudah menunjukkan tanda-tanda eskalasi: barisan polisi bersenjata lengkap, ancaman penangkapan, bahkan laporan penembakan di lapangan. Menghadapi situasi semacam ini dengan memaksa konfrontasi hanya akan mengorbankan massa. Strategi mundur sejenak menjadi cara menjaga kekuatan agar energi tidak habis sia-sia.

Medan pertempuran pun perlu ditafsir ulang. Jalanan memang simbolis, tetapi bukan satu-satunya arena. Sun Tzu mengajarkan pentingnya menguasai medan agar lawan terjebak dalam posisi yang merugikan.

Hari ini, medan itu bisa berupa ruang opini publik, media sosial, atau kanal hukum. Jika aparat menguasai jalanan dengan kekerasan, medan alternatif harus dibuka dengan membangun narasi tandingan, memperluas solidaritas lintas kelompok, memperkuat advokasi internasional. Kekuasaan sulit bertahan ketika opini publik bergerak serempak, meski jalanan sepi dari massa.

Benarkah Media Sosial Bisa Merusak Otak? Kenali Penyebab Brain Rot dan Solusi Mengatasinya

Fleksibilitas menjadi kunci untuk bertahan. Sun Tzu mengingatkan bahwa strategi harus terus berubah sesuai keadaan. Ketika demonstrasi fisik berisiko menelan korban, maka konsentrasi bisa dialihkan pada konsolidasi, pendidikan politik, dan kampanye publik yang lebih luas.

Fleksibilitas bukan berarti menyerah, melainkan bentuk kecerdikan agar energi gerakan tidak habis dalam satu benturan. Gerakan yang kaku akan mudah patah, sementara gerakan yang lentur justru mampu bertahan dan berkembang.

Kekerasan aparat yang makin brutal bukan alasan untuk berhenti, melainkan peringatan untuk lebih cermat. Sumber daya manusia, moral, dan solidaritas adalah kekuatan utama yang harus dijaga. Demonstrasi yang berulang tanpa hasil konkret berisiko membuat massa lelah, simpati publik menurun, dan legitimasi gerakan memudar.

Efisiensi, menurut Sun Tzu, adalah bagian dari seni perang. Menggunakan energi pada waktu dan tempat yang tepat jauh lebih efektif dibanding menguras tenaga dalam benturan yang tidak seimbang.

Kemenangan tertinggi, menurut Sun Tzu, bukan diraih dengan mengalahkan musuh di medan laga, melainkan ketika tujuan tercapai tanpa pertempuran. Dalam konteks hari ini, kemenangan bukan berarti benturan dengan aparat, melainkan keberhasilan menekan pemerintah untuk mendengar tuntutan rakyat tanpa harus ada korban nyawa.

Jika opini publik berhasil dibangun, jika simpati masyarakat luas terjaga, jika narasi gerakan mampu menguasai ruang wacana, maka aparat yang represif justru akan kehilangan legitimasi.

Kenyataan bahwa aparat semakin berani menggunakan peluru tajam harus menjadi tanda bahaya. Konfrontasi langsung hanya akan melahirkan martir yang sebenarnya bisa dihindari. Mundur bukan berarti takut, melainkan strategi untuk mengulur waktu, menjaga energi, dan menunggu momentum.

Seperti seorang jenderal yang menahan pasukannya agar tidak habis ditembak lawan, gerakan sosial perlu tahu kapan saatnya berhenti sejenak agar dapat bergerak lebih jauh.

Sejarah menunjukkan bahwa perubahan besar tidak pernah terjadi dalam satu malam. Reformasi 1998 pun bukan hasil dari satu kali demonstrasi, melainkan akumulasi panjang dari jaringan gerakan, tekanan publik, krisis ekonomi, hingga melemahnya legitimasi kekuasaan.

Jika hari ini gerakan hanya mengandalkan aksi jalanan tanpa strategi panjang, maka ia akan cepat patah. Tetapi jika aksi dipahami sebagai bagian dari strategi besar, maka setiap langkah, termasuk mundur, adalah bagian dari jalan menuju kemenangan.

Ketika aparat memilih jalan kekerasan, tanggapan paling bijak bukanlah melawan dengan cara yang sama, melainkan mengubah medan perjuangan. Menarik simpati publik, memperluas jaringan solidaritas, membangun narasi, serta menunggu hingga kekuasaan melakukan kesalahan besar adalah langkah yang lebih sejalan dengan filosofi Sun Tzu. Kadang, kemenangan sejati hadir bukan di tengah benturan, melainkan di balik kesabaran menunggu momentum.

Hari ini, ketika aparat semakin brutal, ingatan akan pesan kuno dari Sun Tzu itu harus semakin kuat, bahwa kebijaksanaan tertinggi bukanlah berani mati di jalanan, melainkan cerdas menjaga nyawa untuk melanjutkan perjuangan. Pertempuran terbaik adalah yang tidak pernah terjadi, sebab kemenangan sudah diraih tanpa darah dan air mata yang tumpah percuma.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

AK
KG
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.