Di utara Kota Batu, Jawa Timur, terdapat sebuah desa yang dikelilingi udara sejuk dan hamparan kebun apel yang hijau. Desa Tulungrejo, dengan segala kesederhanaannya, telah menyandang predikat membanggakan sebagai Desa Terbaik Nasional Wilayah II pada tahun 2024.
Meski demikian, kemajuan tidak membuat masyarakatnya melupakan akar budaya. Justru, mereka menjaga erat tradisi yang diwariskan leluhur, salah satunya melalui perayaan dua tahunan yang dikenal sebagai Merti Bumi.
Lebih dari sekadar perayaan bak festival, Merti Bumi Desa tulungrejo adalah wujud syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa sekaligus permohonan keselamatan bagi seluruh warga, sehingga perayaan ini juga dikenal oleh masyarakat lokal dengan sebutan Slametan Desa.
Tema Ketulusan dan Keimanan
Perayaan tersebut kali ini mengangkat tema “Tulus Wigati, Trustha ing Widhi”, yang bermakna: dengan hati yang tulus dan keyakinan yang mendalam kepada Tuhan, seseorang dapat memahami hal-hal penting dalam hidup. Menggambarkan semangat masyarakat Tulungrejo yang tetap berpegang pada nilai keimanan dalam balutan kearifan lokal meski hidup berdampingan dengan arus modernitas.
Perayaan berlangsung sepanjang bulan Sura dalam penanggalan Jawa, dari 3 hingga 26 Juli 2025, dengan 13 rangkaian kegiatan. Setiap acara menghadirkan suasana yang berbeda: meriah, sakral, sekaligus penuh kebersamaan.
Rangkaian Tradisi Penuh Makna
Rangkaian Merti Bumi dimulai dengan Majang Tarub pada 3 Juli 2025, yakni pemasangan gapura dari bambu yang nantinya dihiasi hasil bumi.Setelah Tarub terpasang maka prosesi pembukaan dibuka dengan seremonial berupa pembacaan doa keselamatan mengenai hajat merti bumi yang akan dilaksanakan.
Menurut penuturan Aditya selaku pemimpin ritual upacara, doa ini berisi harapan agar pelaksanaan acara berjalan lancar dan mendapatkan perlindungan Tuhan. Doa tersebut juga mencakup penghormatan kepada Nabi Muhammad, para sahabat, dan ulama, menandakan penghargaan masyarakat terhadap nilai-nilai Islam dalam konteks budaya Jawa.
Selain itu yang menarik disebutkan pula penghormatan terhadap tokoh-tokoh terdahulu seperti Ki Ageng Tarub yang diyakini menjadi muasal dari adat tarub yang menandakan Tradisi budaya Tulungrejo masih erat kaitanya dengan tradisi barat yang dibawa oleh Keraton Mataram.
Rangkaian kegiatan kemudian berlanjut dengan Susuk Wangan pada tanggal 6 Juli 2025. Susuk Wangan sendiri secara bahasa berasal dari kata “susuk” yang berarti membersihkan atau menyucikan, dan “wangan” yang berarti saluran air kecil, seperti sungai kecil. Sesuai dengan namanya, Tradisi Susuk Wangan dilakukan dalam bentuk memberi slametan kepada air, yang diwujudkan melalui kerja bakti membersihkan lingkungan sekitar serta sumber mata air secara serentak di masing-masing dusun.
Sebagaimana penuturan Bapak Haji Abdul Karim selaku penasihat PDAM Tirto Roso Tulungrejo, air merupakan elemen penting bagi makhluk hidup sehingga menjadi unsur utama yang diberkahi. Hal ini dimaksudkan agar ketika digunakan dalam kehidupan sehari-hari maupun sebagai sarana ibadah, tidak terdapat halangan ataupun kendala yang berarti.
Selain itu, tradisi ini juga melibatkan seluruh lapisan masyarakat tanpa membedakan status sosial, agama, maupun ekonomi, sehingga mampu menciptakan rasa persatuan dan solidaritas. Tradisi ini juga mengandung nilai-nilai spiritual yang menghubungkan masyarakat dengan leluhur melalui doa dan penghormatan kepada para leluhur yang telah membuka sumber mata air.
Pada tanggal 10 Juli 2025 terdapat kegiatan Khataman Al-Qur’an di seluruh masjid desa, dan secara bersamaan dilakukan ziarah kubur ke makam para leluhur pendiri desa dan para pembedah krawang atau pembuka desa seperti Mbah Tjibuk di Dusun Kekep dan Mbah Ronoyudho di Dusun Junggo. Momen ini bukan hanya ritual semata melainkan juga penghormatan pada sejarah dan jasa para pendahulu.
Rangkaian berlanjut pada 12 Juli 2025 dengan prosesi Potong Sapi yang dimaknai sebagai simbol pengorbanan sekaligus ungkapan rasa syukur atas karunia Tuhan. Daging hasil sembelihan tersebut kemudian dibagikan kepada masyarakat dalam bentuk berbagai olahan lauk-pauk yang disajikan pada kegiatan berikutnya
Pada keesokan harinya, tanggal 13 Juli 2025 dilaksanakan kegiatan Atur Pisungsungyaitu kegiatan penyerahan dan pengantaran hasil bumi (seperti hasil panen, sayuran, buah-buahan, dan hasil kebun lainnya) dari masing-masing dusun atau kelompok masyarakat kepada desa secara simbolis. Hasil bumi yang diantar bukan hasil beli dari pasar, melainkan hasil sendiri dari kebun dan sawah masing-masing dusun.
Tradisi ini membawa pesan mendalam tentang rasa terima kasih, kebersamaan, kemandirian, dan harapan akan keberkahan serta kelangsungan hidup desa. Setelah iring-iringan penyerahan dilakukan masyarakat turut merasakan guyup kebersamaan dengan makan bersama hasil olahan daging hasil kegiatan potong sapi sebelumnya.
Pada 16 Juli, kegiatan berlangsung seharian penuh. Pagi harinya terdapat Njenang dan Adang Ketan, yang mengingatkan pada tradisi sejak masa Sultan Agung. Jenang bukan hanya makanan, tetapi simbol doa akan persatuan, keselamatan, dan rezeki yang melimpah. Malam harinya, warga mengikuti Tirakatan dan Jamasan Shidikara Pusaka. Dalam kegiatan ini terdapat.
Prosesi doa bersama dilakukan lintas agama—Islam, Kristiani, hingga Hindu—menunjukkan kerukunan yang nyata. Dilanjutkan dengan pencucian pusaka menggunakan bahan alami yang melambangkan penyucian sekaligus harapan akan berkah.
Puncak kekhidmatan dan kesakralan Merti Bumi Desa tulungrejo tampak dalam kegiatan Slametan Desa pada tanggal 17 Juli 2025. Hasil bumi yang sudah dikumpulkan pada kegiatansebelumnya diolah dalam bentuk makanan tradisional kemudian dibagikan kepada peserta slametan sebagai wujud berbagi berkah. inti dari kegiatan ini adalah doa bersama yang dipimpin oleh tokoh adat.
Doa ini bertujuan memohon keselamatan, keberkahan, dan perlindungan bagi seluruh warga desa dan lingkungan mereka.
Rangkaian ditutup dengan Njenang Bareng pada 26 Juli 2025. Acara ini penuh kemeriahan, dengan lomba membuat jenang, dekorasi paviliun, serta pentas seni warga. Meski sederhana, suasana yang tercipta begitu meriah. Inilah simbol harmoninya tradisi lama dengan semangat kekinian.
Menjaga Alam dan Budaya di Tengah Arus Modernitas
Perayaan Merti Bumi di Desa Tulungrejo adalah contoh nyata bagaimana sebuah tradisi bisa menjadi energi kolektif. Ia bukan hanya perayaan budaya, tetapi juga pernyataan iman, syukur, persaudaraan, dan kekuatan.
Tradisi bukan sekadar warisan, melainkan juga bekal untuk melangkah ke masa depan dengan lebih bermakna.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News