reformasi parlemen tak bisa ditunda apa saja yang harus diubah - News | Good News From Indonesia 2025

Reformasi Parlemen Tak Bisa Ditunda, Apa Saja yang Harus Diubah?

Reformasi Parlemen Tak Bisa Ditunda, Apa Saja yang Harus Diubah?
images info

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tengah menuai sorotan tajam dari masyarakat beberapa waktu belakangan. DPR yang diharapkan menjadi representasi dan wakil rakyat untuk membuat kebijakan yang sesuai, justru mencederai kepercayaan itu.

Demonstrasi besar-besaran terjadi di berbagai kota di Indonesia. Gelombang protes keras dari masyarakat sudah mulai memuncak pada 28 Agustus 2025.

Merespons gejolak yang memanas, Presiden Prabowo mengumpulkan sejumlah ketua umum partai politik (Parpol) untuk diajak berdiskusi bersama pada 31 Agustus 2025. Pertemuan ini menghasilkan sejumlah keputusan, seperti pencabutan tunjangan anggota DPR dan moratorium kunjungan kerja ke luar negeri.

Selain itu, beberapa partai politik terpantau sudah menonaktifkan kader mereka dari keanggotaan DPR. Meskipun demikian, masih banyak tuntutan masyarakat yang belum dijawab dan dipenuhi oleh pemerintah.

Melihat fenomena ini, Pakar Politik Pemilu Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Dr. Tunjung Sulaksono, S.IP., M.Si., menegaskan bahwa reformasi DPR adalah sebuah keharusan yang tak bisa ditunda lagi.

Menurutnya, reformasi harus dipahami sebagai proses perubahan yang terstruktur dan sistematis, bukan hanya sekadar jargon politik. Tunjung menilai, proses reformasi mencakup perbaikan sistem, kelembagaan, hingga praktik politik yang dinilai sudah menyimpang dari semangat demokrasi representatif.

“Reformasi DPR harus dilakukan secara menyeluruh untuk mengembalikan esensi lembaga tersebut yang selama ini sudah melenceng dari tujuan awalnya,” tegas Tunjung dalam keterangan resmi UMY.

Jangan Sampai Membebani APBN, Berapa Gaji Ideal Seorang Anggota DPR? Ini Kata Pakar

Perlunya Reformasi Besar di Tubuh DPR RI

Tunjung menekankan, seluruh aspek DPR, mulai dari tata kelola, fungsi, legislasi, fungsi pengawasan, hingga representasi rakyat perlu untuk segera diperbaiki. Ia menilai jika momentum saat ini harus menjadi titik balik bagi DPR untuk berbenah.

Tak hanya itu, reformasi dinilai Tunjung harus menyasar pada perubahan budaya politik dan perilaku anggota dewan. Kualitas anggota DPR merupakan cerminan dari sistem rekrutmen yang bermasalah di parpol.

Hal senada disampaikan oleh Akademisi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (UGM), Alfath Bagus Panuntun El Nur Indonesia, S.IP., M.A, yang menyebut bahwa sangat perlu ada reformasi parlemen yang bersifat sistemik.

Perubahan sistemik parlemen harus dimulai dari partai politik. Alfath menggarisbawahi bahwa ketergantungan anggota legislatif pada ketua umum partai membuat reformasi menjadi sulit.

Menurut Alfath, praktik politik di Indonesia masih kental dengan pola oligarki yang menyerupai perusahaan keluarga. Akibatnya, situasi semacam ini menghambat regenerasi kader yang lebih kompeten dan berintegritas.

“Sasaran yang paling utama dan harus diajak untuk berdialog dan melakukan perubahan itu adalah ketua umum partai politik,” tegas Alfath melalui UGM.

Alfath menilai jika pemerintah harus segera menuntaskan rancangan undang-undang yang menjadi kebutuhan publik, salah satunya RUU Perampasan Aset. Menurutnya, instrumen hukum satu ini akan menjadi senjata untuk menutup ruang gerak koruptor yang selama ini leluasa menyalahgunakan kekuasaan.

“Koruptor itu tidak takut mati, koruptor itu hanya takut miskin,” imbuhnya.

Masyarakat Harus Ikut Mengawal

Keberhasilan reformasi parlemen memerlukan indikator yang jelas. Transparansi, akses publik pada proses legislasi, dan kualitas kebijakan perlu menjadi tolok ukur.

Dalam penjelasannya, Alfah turut menyarankan pentingnya keterbukaan parlemen untuk meningkatkan kepercayaan publik. Hal ini bisa dilakukan melalui cara sederhana, seperti siaran langsung saat sidang atau mempermudah masyarakat untuk mengakses dokumen.

Tidak boleh ketinggalan, perlu ada evaluasi berkelanjutan yang memastikan bahwa aturan yang dibuat bukan hanya menjadi formalitas, tetapi betul-betul dijalankan.

Dalam hal pengawasan, partisipasi publik harus diperkuat. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan mekanisme audit sosial.

Alfath menjelaskan, praktik semacam ini sudah berhasil diterapkan di negara-negara demokrasi dan dapat menjadi contoh bagi Indonesia. Adanya partisipasi masyarakat juga akan membangun rasa kepemilikan warga terjadap proses demokrasi. Dengan demikian, rakyat bukan hanya menjadi penonton, tetapi juga ikut mengawal jalannya demokrasi.

“Sudah seharusnya setiap kebijakan yang diambil oleh DPR merefleksikan kebutuhan dan kepentingan masyarakat itu sendiri,” tegasnya.

Menengok Gedung Megah Milik Parlemen di Negara Lain, Apa Bedanya dengan Indonesia?

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Firda Aulia Rachmasari lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Firda Aulia Rachmasari.

FA
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.