Festival Pacu Jalur 2025 yang digelar di Kuantan Singingi (Kuangsing), Riau sukses digelar. Festival olahraga yang memiliki makna ini juga telah mencatat rekor baru dengan total kunjungan mencapai 1,6 juta orang baik wisatawan domestik maupun mancanegara.
Dikutip dari mediaindonesia.com, Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Riau Roni Rakhmat menyampaikan angka kunjungan tersebut sangat signifikan khususnya untuk wisatawan mancanegara jika dibandingkan tahun lalu. Sebanyak 1.374 orang wisatawan mancanegara dari berbagai negara antusias hadir meramaikan tradisi budaya yang berusia 125 tahun tersebut.
Belakangan ini, pacu jalur menjadi buah bibir masyarakat global usai viralnya video aksi “Aura Farming” yang menampilkan Rayyan Arkan Dhika menari di atas perahu jalur dengan penuh percaya diri.
Mari kenal lebih dekat dengan makna dan filosofi di balik budaya Pacu Jalur, Kawan GNFI!
Sejarah Pacu Jalur
Pacu Jalur (juga dieja sebagai Pachu jalugh, atau Patjoe djaloer) adalah perlombaan tradisional dayung perahu yang berasal dari kabupaten Kuantan Singingi Provinsi Riau Indonesia. Secara khusus, tradisi Pacu Jalur ini disebutkan dalam naskah lokal pada abad ke-17.
Namun, pada abad 7 pernah disebutkan bahwa sejumlah besar utusan pendayung Minangkabau mencapai hilir sungai Batang Hari dengan perahu, peristiwa ini dijelaskan pada Prasasti Kedukan Bukit yang ditemukan di Palembang.
Dalam perkembangannya, perahu yang awalnya menjadi moda transportasi ini pun dihias dengan memuat sentuhan budaya setempat seperti kepala ular dan buaya.
Selain menjadi pemeriah hari-hari besar umat Islam seperti Maulid Nabi, Idulfitri hingga perayaan Tahun Baru Islam, festival Pacu Jalur pernah menjadi bagian hiburan pada peringatan hari lahir Wilhelmina (Ratu Belanda) pada tanggal 31 Agustus tiap tahunnya semasa penjajahan Belanda.
Kini, untuk melestarikan tradisi Pacu Jalur, Festival Pacu Jalur diadakan tiap bulan Agustus dalam rangka memperingati HUT Kemerdekaan RI.
Pada tahun 2014, tradisi Pacu Jalur ini secara resmi diakui dan ditetapkan sebagai Warisan Tak Benda oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia.
Kisah Pacu Jalur: Dulunya Jadi Alat Angkut Hasil Bumi dan Manusia
Makna di Balik Pacu Jalur
Dilansir dari metrotvnews.com, Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Riau Roni Rakhmat menyampaikan bahwa setiap jalur yang ada dalam perlombaan ini merupakan representasi dari kehidupan masyarakat, yakni sarat harmoni dan kerja sama yang menjadi kunci utama mencapai kemenangan, baik di lintasan pacu maupun dalam kehidupan sehari-hari.
Setiap individu yang berperan dalam jalur memiliki peran dan tugas penting, antara lain Tukang Concang (komandan atau pemberi aba-aba), yaitu pemimpin yang memberikan aba-aba pada awak perahu untuk mendayung dengan kompak.
Lalu, ada Tukang Pinggang (juru mudi) yang memiliki tugas sebagai juru mudi untuk mengendalikan arah perahu. ya bertugas bersama dengan Tukang Onjai (pemberi irama dengan cara menggoyang-goyangkan badan), menciptakan irama melalui gerakan di bagian kemudi.
Terakhir adalah Tukang Tari atau Anak Coki yang berada di posisi paling depan dan seringkali menarik perhatian dengan atraksinya. Ia bertugas membantu Tukang Onjai dalam menjaga keseimbangan jalur dengan gerakan tubuh yang seirama serta memberikan kode tertentu pada tim tentang posisi perahu apakah sama, di belakang atau unggul dibandingkan lawan.
Makna Tradisi Maelo dalam Pacu Jalur: Menarik Kayu untuk Rekatkan Solidaritas
Harmonisasi antar anggota ini menggambarkan penerapan nilai-nilai luhur yang dianut oleh masyarakat Melayu Riau, khususnya di Kuansing. Seperti pentingnya kerja sama, disiplin, kepercayaan antaranggota, menjunjung tinggi semangat gotong royong dan solidaritas.
Dengan penuh makna dan uniknya olahraga Pacu Jalur, tak heran jika tradisi otentik ini mendapat perhatian luar biasa dari seluruh masyarakat global.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News