Kawan GNFI, isu toleransi dan pluralisme selalu menarik untuk diperbincangkan. Barat sering kali menampilkan diri sebagai pionir dalam soal toleransi dan moderasi, terutama dalam relasi antaragama.
Namun, di balik citra yang tampak ramah, ada sejarah panjang dan kompleks yang membentuk cara pandang Barat terhadap agama.
Tulisan ini mengajak kita menelisik akar-akar toleransi Barat, sekaligus menguji ulang makna pluralisme yang sering kali dijadikan wajah modernitas.
Sejarah Eropa mencatat bahwa Gereja pernah memegang kekuasaan yang begitu besar. Pada masa itu, inkuisisi—sebuah lembaga pengadilan Gereja—menjadi simbol kekuasaan yang menindas.
Trauma sejarah inilah yang membuat masyarakat Barat berupaya memisahkan agama dari politik. Bernard Lewis, seorang sejarawan, menyebut bahwa sejak awal umat Kristen sudah dididik untuk membedakan “Tuhan dan kaisar”.
Maka, lahirlah sekularisme, yaitu pandangan bahwa agama sebaiknya ditempatkan dalam ruang privat dan tidak ikut campur dalam urusan publik. Konsili Nicea (325 M) bahkan memutuskan aspek ketuhanan Yesus melalui mekanisme voting.
3 Pekerjaan dari Humaniora yang Bergaji Tinggi di Dunia
Akibatnya, agama dalam pandangan Barat modern sering kali dianggap problematis dan tidak bisa dijadikan dasar moral universal.
Dari pengalaman sejarah tersebut, toleransi di Barat tumbuh dalam bentuk yang unik: bukan sebagai penghormatan terhadap kebenaran agama, tetapi sebagai penerimaan terhadap relativisme nilai.
Tidak ada lagi kebenaran absolut, yang ada hanyalah kesepakatan bersama. Prinsip ini terlihat dalam penerimaan terhadap isu-isu yang dahulu dilarang agama, seperti pernikahan sesama jenis.
Bahkan seorang uskup homoseksual, Gene Robinson, diangkat menjadi tokoh penting dalam Gereja. Dalam logika ini, ajaran agama harus menyesuaikan diri dengan perkembangan masyarakat, bukan sebaliknya.
Kawan GNFI, perlu kita cermati bahwa pluralisme yang diusung Barat berbeda dengan semangat toleransi yang dipahami banyak peradaban lain. Pluralisme ala Barat mengajak agama untuk “melunakkan” prinsipnya.
Ajaran yang dianggap kaku perlu ditinggalkan atau diinterpretasi ulang agar sesuai dengan nilai-nilai modern. Maka, pluralisme sering kali berfungsi sebagai alibi untuk merelatifkan agama, bukan sebagai ruang dialog sejati antariman.
Gelombang globalisasi memperluas jangkauan nilai-nilai sekular-liberal Barat. Media, teknologi, dan sistem komunikasi modern menjadi sarana paling efektif untuk menyebarkan budaya ini ke seluruh dunia. Prof. Amer al-Roubaie menyebut fenomena ini sebagai bentuk “imperialisme budaya”.
Akibatnya, banyak masyarakat non-Barat secara perlahan dipaksa menerima relativisme moral dan gaya hidup hedonis. Prinsip kebebasan individu diutamakan, meski berpotensi merusak tatanan sosial dan nilai agama.
Islam tidak menolak toleransi, bahkan mendorong hidup berdampingan dengan perbedaan. Namun, tetap berpijak pada prinsip iman dan akhlak. Menghormati perbedaan tidak berarti mengorbankan kebenaran. Inilah yang membedakan toleransi Islam dengan moderasi ala Barat. Islam menolak relativisme nilai, sebab kebenaran tidak ditentukan oleh mayoritas suara, melainkan oleh wahyu yang tetap.
Kawan GNFI, wajah toleransi Barat tidak bisa dipahami secara sederhana. Ia lahir dari trauma sejarah, problem teologi, dan dorongan untuk melepaskan diri dari dominasi agama.
Dari sinilah pluralisme modern berkembang—bukan untuk memperkuat agama, melainkan untuk menundukkan agama di hadapan nilai-nilai sekular.
Tugas kita bukanlah membenci Barat, melainkan memahami akar pandangan mereka dengan kritis. Dialog dengan peradaban lain tentu penting, tetapi identitas dan prinsip kita sebagai umat beragama tidak boleh hilang.
Peran Humaniora dalam Melestarikan Kearifan Lokal Indonesia di Era Digital
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News