Pulau Bali tidak hanya terkenal dengan keindahan alamnya yang memukau, tetapi juga dengan kebudayaan dan filosofi hidup yang mendalam yang menjadi penopang kelestariannya.
Di tengah tantangan modern seperti tekanan pariwisata masif dan pertumbuhan ekonomi, Bali menghadapi risiko kerusakan lingkungan yang serius.
Namun, masyarakat Bali memiliki sebuah prinsip kuno yang terus relevan hingga kini: Tri Hita Karana. Falsafah ini tidak hanya menjadi penuntun spiritual, tetapi juga menjadi landasan praktis dalam menjaga harmoni dengan alam.
Apa Itu Tri Hita Karana?
Tri Hita Karana adalah konsep yang berasal dari kebudayaan Hindu Bali, yang secara harfiah berarti “tiga penyebab kebahagiaan” atau “tiga sumber kesejahteraan”.
Konsep ini terdiri dari tiga aspek hubungan yang harus dijaga keseimbangannya: Parahyangan (hubungan harmonis antara manusia dengan Tuhan), Pawongan (hubungan harmonis antara manusia dengan sesama manusia), dan Palemahan (hubungan harmonis antara manusia dengan alam lingkungan).
Sebagaimana diungkapkan oleh Fauziah, Peneliti Pusat Riset Agama dan Kepercayaan (PRAK) BRIN, dalam sebuah webinar, “Tri Hita Karana bukan sekadar tradisi budaya, melainkan falsafah hidup masyarakat Hindu Bali yang berakar dari ajaran agama.”
Ketiga elemen ini dianggap sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan; kerusakan pada salah satunya akan mengganggu keseimbangan secara keseluruhan.
Spirit Universal dalam Ajaran Agama
Meskipun berasal dari tradisi Hindu Bali, spirit yang terkandung dalam Tri Hita Karana sejatinya bersifat universal dan ditemukan dalam banyak ajaran agama lain. Dalam Islam, manusia dipandang sebagai khalifatullah di bumi yang bertugas memelihara dan tidak berbuat kerusakan.
Ajaran Kristen menekankan mandat untuk menjaga dan mengelola ciptaan Tuhan dengan bertanggung jawab. Dalam Buddhism, prinsip ahimsa atau tanpa kekerasan mencakup pula perlindungan terhadap semua makhluk dan alam.
Sementara Konghucu mengajarkan pentingnya menciptakan harmoni antara langit, bumi, dan manusia. “Artinya, semua agama sepakat bahwa lingkungan adalah anugerah Tuhan yang harus dijaga,” tegas Fauziah. Dengan demikian, Tri Hita Karana dapat menjadi inspirasi bersama beyond batas-batas agama dan budaya.
Baca juga Filosofi Tri Hita Karana dan Pengelolaan Air dalam Masyarakat Bali
Implementasi Nyata dalam Pelestarian Lingkungan
Penerapan Tri Hita Karana, khususnya aspek Palemahan, terwujud dalam berbagai praktik kehidupan sehari-hari masyarakat Bali. Banyak upacara adat dan keagamaan sangat bergantung pada ketersediaan sumber daya alam, seperti bunga, daun, dan buah-buahan yang digunakan sebagai persembahan.
“Karena itu, menjaga alam berarti juga menjaga keberlangsungan spiritualitas mereka,” jelas Fauziah. Contoh nyata dapat dilihat dari kehidupan Desa Adat Taro di Gianyar. Desa ini tidak hanya mempertahankan Pura Agung Gunung Raung sebagai pusat spiritual, tetapi juga menjaga kesucian alam sekitarnya dengan komitmen yang kuat.
Masyarakat Taro memiliki semangat gotong royong yang tinggi dan komitmen untuk tidak menjual atau mengalihfungsikan tanah adat menjadi kawasan komersial seperti hotel. Mereka mempertahankan sistem subak yang berkelanjutan untuk mengelola air dan pertanian.
Selain itu, hasil pertanian didistribusikan secara adil sehingga ketahanan pangan masyarakat terjamin. Penggunaan plastik telah hampir dihilangkan dan digantikan dengan pembungkus tradisional dari daun.
Bahkan, mereka merawat sapi putih yang dianggap suci, yang tidak hanya menjadi simbol spiritual tetapi juga daya tarik ekowisata yang berkelanjutan.
Dampak Holistik: Harmoni yang Membawa Kesejahteraan
Penerapan Tri Hita Karana membawa dampak positif yang holistik. Dari segi spiritual (Parahyangan), masyarakat dapat menjalankan ritual dan kepercayaan mereka dengan lestari. Dari segi sosial (Pawongan), ikatan komunitas menjadi kuat melalui gotong royong dan keadilan ekonomi.
Sementara dari segi lingkungan (Palemahan), sumber daya alam seperti hutan, sungai, dan laut terjaga kelestariannya.
Edukasi lingkungan juga sejak dini melalui lembaga seperti Yayasan Bumi Nusantara, di mana anak-anak diajarkan untuk mengurangi penggunaan plastik, membawa tumbler, dan mencintai kebersihan lingkungan.
Inspirasi Global dari Kearifan Lokal
Tri Hita Karana menawarkan sebuah model keberlanjutan yang berangkat dari kearifan lokal dan nilai-nilai spiritual. Dalam menghadapi krisis lingkungan global, filosofi ini mengingatkan kita bahwa solusi tidak hanya datang dari teknologi semata, tetapi juga dari cara kita memandang dan berinteraksi dengan alam.
Sebagaimana diajarkan dalam banyak agama, manusia adalah bagian dari alam, bukan penguasanya. “Mari kita jadikan nilai-nilai kearifan lokal ini sebagai inspirasi bersama untuk merawat bumi, rumah kita satu-satunya,” ajak Fauziah.
Dengan merawat hubungan dengan Tuhan, sesama, dan alam, manusia dapat menciptakan dunia yang lebih seimbang dan berkelanjutan untuk generasi mendatang.
Baca juga Kunci Keseimbangan Hidup dengan Tri Hita Karana di Masa Kini
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News