Kawan yang tumbuh di wilayah pedesaan mungkin pernah ikut tahlilan saat ada kerabat atau tetangga yang meninggal. Untuk yang belum tahu, menurut kbbi.web.id tahlilan adalah pembacaan ayat suci Al-Qur’an untuk memohon rahmat dan ampunan bagi orang yang meninggal.
Melansir artikel kedungboto.desa.id, umumnya pelaksanaannya dilakukan pada malam pertama seseorang meninggal sampai hari ke-7, lalu hanya sehari di hari ke-40, hari ke-100 dan hari ke-1000 setelah kematian. Namun, ada juga orang yang melakukannya di hari yang berbeda.
Secara teknis hanya pria yang kirim doa, sedangkan perempuan membantu menyiapkan jamuan di dapur. Di banyak daerah, tradisi ini lebih dari urusan pahala, yakni wujud penghormatan terakhir dari teman atau keluarga kepada orang yang wafat. Ada benarnya jika ini tergolong kewajiban sosial lantaran menyangkut harga diri dan solidaritas.
Sebagai tanda terima kasih telah datang, tuan rumah diharuskan memberi berkat atau bingkisan makanan kepada tamu tahlilan saat acara usai. Isinya beragam, mulai dari buah, jajanan pasar, olahan daging, perlengkapan sholat sampai panci dan bak plastik.
Unsur Kesenjangan Sosial dalam Tahlilan
Merunut artikel terminalmojok.co, orang kerap membicarakan tentang tradisi ini selalu pada perlu tidaknya acara diadakan, padahal ada sisi ekonomi yang jarang dibicarakan. Misalnya keluarga miskin rela berhutang, ngotot ingin diadakan tahlilan agar sekiranya pantas sehingga jadi beban finansial.
Seiring dengan perkembangan zaman muncul kasta baru dalam jamuan dan bingkisan tamu. Melansir dari artikel mamikos.com, sajian yang diberikan menentukan sikap tamu. Sebut saja rokok, semakin premium maka semakin banyak orang menghisap atau dibungkus dibawa pulang. Sebaliknya jika yang disodorkan murah maka tamu akan cepat pulang.
Situasi ini berpotensi menghilangkan esensi demi memenuhi ekspektasi. Tujuan awal untuk menghadirkan kebersamaan dan doa bersama justru terhalangi oleh simbol kemewahan. Lebih lanjut, Kawan sendiri bisa berpikir apakah ini dapat menimbulkan iri, gengsi dan minder antar warga.
Terlebih tetangga sekitar juga diharuskan membesuk keluarga yang berduka dengan maksud menguatkan dan menemani sembari memberi bantuan. Ini bisa berupa uang, beras, jajan atau jasa tenaga membantu persiapan tahlilan.
Pasalnya bantuan yang diberikan cenderung berbeda karena tidak ada standar yang pasti, kalaupun seputar kebutuhan pokok nilainya pasti berbeda tiap orang. Di daerah tertentu, tak jarang bantuan materil akan dikembalikan jika tak cocok dengan tuan rumah.
Pada titik ini, pertanyaannya apakah esensi tahlilan masih soal doa dan mengikhlaskan? Bagaimana menurut Kawan?
Latar Belakang Tradisi Tahlilan
Tahlilan bisa dibilang bentuk akulturasi budaya, bukan ajaran atau sunnah nabi Muhammad SAW. Sesuai artikel web nu.or.id, tradisi ini ada pada zaman ulama muta’akhirin melalui istinbath Al-Qur’an dan hadis, sekitar abad sebelas hijiriyah.
Adapun artikel lain dalam situs tersebut juga menyebutkan tahlilan sebagai memberi pahala bacaan Al-Qur’an dan kalimat thayyibah kepada mayit.
Disamping beberapa poin diatas, tahlilan punya dampak positif bagi Kawan GNFI yang beragama Islam. Menurut jurnal Tahlilan dalam Perspektif di situs uin-malang.ac.id tahlilan membiasakan diri untuk senantiasa membaca kalimat tayyibah secara lisan atau dalam hati. Tradisi ini juga menambah pahala lantaran bersedekah melalui jamuan dan bingkisan yang dihidangkan.
Selama tahlilan dilakukan sesuai dengan kemampuan ekonomi, bukan menghamburkan uang atau meremehkan tamu dengan hidangan tak layak maka hal itu dianjurkan sebagai bentuk penghormatan kepada orang yang wafat.
Dari sini Kawan bisa mengambil sudut pandang, di satu sisi tahlilan sudah jadi tradisi yang mengakar kuat di masyarakat.
Di sisi lain tradisi ini juga tak luput tantangan kesenjangan sosial seiring perkembangan zaman. Tahlilan bisa tetap menjadi tradisi yang positif asalkan kembali pada esensi awalnya sebagai sarana untuk berdoa dan saling menguatkan.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News