dodol warisan manis dari kerajaan mataram - News | Good News From Indonesia 2025

Dodol: Warisan Manis dari Kerajaan Mataram

Dodol: Warisan Manis dari Kerajaan Mataram
images info

Kawan GNFI tentunya sudah akrab dengan penganan yang kenyal nan legit satu ini. Ialah dodol makanan manis legendaris, warisan sejak zaman Kerajaan Mataram Kuno. Jika dilihat dari asal usulnya, diperkirakan usianya sudah 1.000 tahun. Jadi, suatu kebanggaan tersendiri bila makanan tradisional ini bisa bertahan hingga sekarang.

Diketahui bahwa Kerajaan Mataran Kuno atau Mataram Hindu, disebut juga Kerajaan Medang awalnya berdiri pada abad ke-8 di Jawa Tengah. Lalu pada abad ke-10 pindah ke Jawa Timur, sebelum akhirnya runtuh di awal abad ke-11.

Berdasarkan kitab Kakawin Ramayana, yang ditulis pada abad ke-9 semasa Kerajaan Medang dipimpin oleh Dyah Balitung, tercatat pada bagian 17.112 dalam bahasa Jawa Kuno, diebutkan bahwa:

"dwadwal anekawarṇa lakĕtan tape paṅisi len."

Artinya: "dodol beraneka rupa, ketan, tapai, dan isian lainnya."

Perlu kawan GNFI ketahui, kata dodol berasal dari bahasa Jawa Kuno yaitu ‘dwadwal’ atau dibaca dodol.

Sementara pada Prasasti Gemekan yang ditemukan tahun 2022 berangka tahun 930 M, sisi kanan baris 23–24 mencantumkan:

"nañjapan kurawu kurima asam dwadwal kapwa madulur malariḥ"

Artinya: "dan makanan ringan: kurawu, kurima, asam, dodol, semuanya diberi penerangan dan berdekatan"

Sementara pada Prasasti Sanggguran tertanggal 2 Agustus 928 (dari masa yang berdekatan) mencantumkan sisi belakag (verso) baris 44 yang berbunyi:

"[...] tiga sowang, winuwuhan tambal ī [...] dwadwal, kapwa manalarrnalari [...] laju, skar [...] "

Artinya: "[...] masing-masing tiga, ditambah makanan (berupa) [...] dodol, semuanya [...] laju, bunga [...]"

Di samping itu, kata ‘dwadwal’ juga tercatat dalam Prasasti Alasantan dan Prasasti Sangguran sebagai hidangan pencuci mulut para bangsawan Istana Mataram Kuno.

Tumpeng: Kuliner Nusantara yang Penuh Nilai Filosofi

Filosofi dalam Kelegitan Dodol

Dodol tergolong Pangan Semi Basah (PSB) dengan kadar air maksimal 20% sesuai yang disyaratkan SNI 01-2986-1992. Bahan bakunya berupa tepung ketan, santan kelapa, dan gula merah.

Apabila ingin tambahan rasa, bisa dicampurkan dengan aneka buah seperti durian, nangka, nanas, sirsak dan sebagainya. Masing-masing bahan memengaruhi tekstur, rasa, aroma, daya tahan, dan kekenyalan dodol.

Dilansir dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), dalam tepung beras ketan (Oriza sativa glutinous) mengandung karbohidrat 80% (berbentuk amilosa 1% dan amilopektin 99%), lemak 4%, protein 6.5% dan air 10%.

Sementara kandungan santan kelapa (Cocos Nucifera) berupa air 52%, protein 1%, lemak 27%, karbohidrat atau gula 1%, yang berguna untuk memberikan kekenyalan, rasa, serta aroma.

Kandungan gula aren atau gula tebu berfungsi sebagai pengawet, memperbaiki tekstur, memberi aroma, dan rasa manis. Penambahan glukosa 1% dapat menghambat pertumbuhan lapisan keras pada dodol, sehingga teksturnya tetap terjaga dengan baik.

Pembuatan dodol
info gambar

Dalam proses pembuatan dodol, tercermin semangat gotong royong. Dengan pengerjaan yang membutuhkan waktu lama, maka biasanya melibatkan beberapa anggota keluarga untuk bergantian.

Ketika semua bahan telah dimasukkan dalam wajan besar menggunakan kayu bakar, proses pengadukan pun dilakukan terus-menerus. Hal itu untuk mencegah hangus, rasa yang tidak merata, dan munculnya kerak di dasar wajan. Agar hasilnya baik, proses tersebut berlangsung selama 8 hingga 10 jam.

Adonan dodol yang semula cair akan semakin padat dan sulit diaduk. Warnanya pun akan berubah cokelat mengkilat jika sudah matang. Setelah itu, dodol bisa diangkat dan didinginkan.

Cita rasa dodol yang legit dari gula dan gurihnya santan akan berpadu menciptakan sensasi nikmat. Apalagi ada aroma harum dari pembakaran, tentu menambah kekhasan dari dodol. Barangkali itu jugalah yang menjadi salah satu alasan pembuatan dodol masih tradisional.

Lontong Orari Banjarmasin: Kisah Unik di Balik Kuliner Legendaris Kota Seribu Sungai

Simbol Keberagaman dalam Segala Perayaan

Meskipun tekturnya serupa, dodol memiliki sebutan yang berbeda-beda di berbagai daerah, seperti Jenang, Wajik, Kue Keranjang, Lempok, Gelinak, dan lain-lain. Selain itu, dodol menjadi simbol dalam berbagai perayaan dan keadaan.

Bila masyarakat Betawi menggambarkan dodol sebagai makanan perayaan, lain halnya dengan masyarakat Garut. Dodol telah mengangkat perekonomian warganya, bahkan mempopulerkan kotanya. Bagi mereka, dodol adalah simbol buah tangan yang tidak boleh terlewatkan bila bertandang ke Garut.

Sementara dalam budaya Tionghoa, dodol dikenal dengan Kue Keranjang sebagai ciri khas dalam perayaan Tahun Baru Imlek. Mereka yakin bahwa Kue keranjang akan membawa keberuntungan. Apabila disusun tinggi, maka akan tinggi pula keberuntungan yang didapat..

Berbeda dengan masyarakat Jawa yang menyebut Jenang. Keberadaan penganan mirip dodol itu telah melekat di berbagai upacara adat, seperti pernikahan, kelahiran, dan kematian. Mereka menjadikan Jenang sebagai simbol ucapan berupa doa dan harapan masyarakat Jawa.

Itulah sebabnya, dalam kelegitan dodol dengan tampilannya yang variatif terkandung nilai-nilai luhur sebagai perekat budaya asli Indonesia. Adalah hal yang lebih membanggakan lagi, sebab peminat dodol ada dari mancanegara, seperti Belanda, Brunei Darussalam, Singapura, dan Malaysia.

Perlindungan Terhadap Kuliner Daerah

Sebagai salah satu makanan khas daerah yang melegenda, dodol harus dilestarikan agar tidak punah. Untung saja, pemerintah turut mendukung keberadaan kuliner-kuliner berbasis kedaerahan melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis (UU MIG).

Melalui pendaftaran Indikasi Geografis yang dilakukan, masyarakat akan menerima manfaat utama berupa:

  1. Perlindungan hukum terhadap penggunaan nama
  2. Meningkatkan nilai produk dan daya saing
  3. Menjaga dan melestarikan tradisi serta pengetahuan lokal
  4. Mendorong perekonomian lokal
  5. Membangun reputasi dan branding Internasional
  6. Mencegah pemalsuan dan penipuan
  7. Memperkuat hubungan dengan konsumen.

Indonesia dengan keberagaman kulinernya memiliki perjalanan panjang yang patut kita pertahankan. Di dalamnya terkandung nilai-nilai luhur perjuangan bangsa, dengan keberagaman yang ada.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

RP
KG
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.