Konferensi Meja Bundar (KMB) adalah sebuah momen bersejarah bangsa Indonesia bisa mendapatkan kedaulatan negara dan diakui merdeka oleh Belanda. Meski begitu, ternyata isi perjanjian tersebut juga memberikan pukulan telak bagi ekonomi Indonesia.
Perjuangan para pahlawan meraih kedaulatan dari tangan Belanda adalah nilai yang mahal harganya. Pasalnya, untuk mendapatkan hal tersebut, ekonomi Indonesia harus terbebani dalam beberapa dekade.
Setelah proses yang panjang dijajah, bahkan Indonesia ingin kuasai kembali, akhirnya Belanda mau mengakui kedaulatan Indonesia, tapi dengan tidak cuma-cuma.
Pengakuan itu secara resmi tertuang dalam perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB), yang digelar di Den Haag, mulai 23 Agustus sampai 2 November 1949.
Kala itu, delegasi Indonesia pada perjanjian KMB diwakili oleh Moh. Hatta. Dirinya tidak bisa berbuat banyak dan menyetujui perjanjian tersebut, demi melepaskan belenggu penjajahan.
Meski mendapatkan penyerahan kedaulatan dari Belanda, Indonesia harus mengubah bentuk negara menjadi federal atau Republik Indonesia Serikat (RIS).
Kendati demikian, ternyata Isi perjanjian itu tidak sepenuhnya membawa keputusan yang menguntungkan bagi Indonesia. Salah satunya adalah Indonesia harus membayar warisan hutang Belanda.
“Dengan pengakuan kemerdekaan kita, kita akan menanggung segala yang patut kita tanggung menurut kedudukan kita. Segala utang Hindia sebelum penyerahan Jepang dan patut menjadi tanggungan kita, kita akui sebagai utang kita,” ujar Bung Hatta, ketua delegasi Republik Indonesia di KMB, dalam pidatonya di KMB yang dikutip Pramoedya Ananta Toer dalam Kronik Revolusi Indonesia: 1949.
Hasil Konferensi Meja Bundar (KMB), Latar Belakang dan Dampaknya kepada Republik Indonesia
Berapa Hutang Belanda yang Harus Dibayar Indonesia ?
Awalnya Belanda meminta Indonesia untuk melunasi utang-piutangnya dari 1945 hingga 1949 sebesar 6,5 miliar Gulden atau Rp1.300 triliun (kurs euro saat ini). Namun Indonesia merasa keberatan dan bernegosiasi dengan belanda. Hasilnya, Indonesia hanya membayar sebesar 4,3 miliar gulden atau Rp 860 triliun.
“Utang KMB merupakan utang luar negeri pertama yang ditanggung pemerintah Indonesia yang terbagi atas: pertama pengalihan utang luar negeri pemerintah Hindia Belanda dari tahun 1935 hingga 31 Desember 1949 sebesar 1,5 miliar Gulden, kedua utang dalam negeri lancar pemerintah Hindia Belanda berupa pinjaman kepada De Javasche Bank selama periode 1945-1949 senilai 2,8 miliar Gulden,” catat Edy Burmansyah dalam buku terbarunya, Sejarah Kebijakan Fiskal dan Pengelolaan Utang Pemerintah, sebagaimana disitat dari Historia.
Meski begitu, Indonesia tetap protes dan ingin membayarkan hutang Belanda hanya sampai 1942. Sebab, jika Indonesia mengindahkan pembayaran utang tersebut, yang mana sampai 1949. Artinya pembiayaan Belanda menyerang Indonesia, termasuk agresi militer, ditanggung oleh Indonesia itu sendiri.
Pidato Soekarno dalam Peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia pada 1950, Singgung Soal KMB dan Irian
Sebagai negara yang baru merdeka, kondisi ekonomi Indonesia terbilang belum mapan dan stabil. Kondisi tersebut diperparah Indonesia harus membayar warisan hutang Belanda yang nilainya fantastis.
Alhasil dibawah kepemimpinan Soekarno, Indonesia meminta pinjaman uang kepada pemerintah Uni Soviet dan sekutunya untuk melunasi utang tersebut. Pada tahun 1950 hingga 1956, Indonesia berhasil membayar hutang sebesar 3.7 miliar Guilders atau sekitar Rp 740 Triliun.
Belanda Ingkari Perjanjian KMB
Ditengah perjanjian KMB yang mengikat antara Indonesia dan Belanda, pada saat itu, pihak belanda mengingkari perjanjian yang telah disepakati. Berdasarkan isi KMB, Belanda harus menyerahkan Papua kepada Indonesia, 1 tahun setelah perjanjian tersebut ditandatangani.
Indonesia kerap mengajak belanda berunding dan menagih soal papua. Namun Belanda menolak dan terus mengulur waktu. Seolah tidak ingin melepaskan Papua ke tangan Indonesia. Pasalnya, Papua punya nilai ekonomis yang tinggi.
Atas hal itu, Indonesia juga bersikap tegas dengan membatalkan perjanjian KMB, termasuk tidak membayar hutang Belanda.
“Dengan pembatalan KMB berarti kedudukan ekonomi Belanda yang istimewa di Indonesia berakhir,” catat Bondan Kanumoyoso dalam Nasionalisasi Perusahaan Belanda di Indonesia: Menguatnya Peran Ekonomi Negara, sebagaimana dikutip dari Historia.
Walaupun sempat berhenti, Indonesia terpaksa harus kembali membayar hutang Belanda. Hal ini terjadi lantaran kondisi Indonesia yang berada di pemerintah Soeharto bergantung pada Amerika dan sekutunya, termasuk Belanda, untuk melakukan pinjaman luar negeri demi pembangunan dalam negeri.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News