Tulisan ini sebenarnya adalah refleksi dari kenyataan di Indonesia adalah negara dengan permasalahan sampah yang tidak kunjung selesai dan sepertinya bukan sebagai masalah tetapi komoditas media sosial.
Lihat saja kasus Leuwi Gajah (2005), kasus longsornya TPA Sarimukti (2025), hingga kasus terbaru di TPA Galuga Jawa Barat yang berakibat gagal panen dan membawa korban jiwa (2025).
Hal ini membuktikan ketidakseriusan pemerintah dalam menangani permasalahan sampah yang diperparah dengan kenyataan bahwa Indonesia juga mengekspor sampah dari luar negeri.
Pertanyaannya, bukan mengapa pemerintah tidak sanggup menangani permasalahan sampah, tetapi bagaimana menangani masalah sampah hingga menjadi tidak bermasalah?
Permasalahan sampah sebenarnya tidak terlepas dari peran serta warga masyarakat karena sebenarnya penyelesaian permasalahan sampah ada di tangan masyarakat (termasuk aparat pemerintah yang juga sebagai masyarakat).
Lomba Kepemudaan dan Olahraga di SDN 1 & 2 Pupus: Menanamkan Semangat Belajar dan Kepedulian Lingkungan Sejak Dini
Hal ini bukan dikarenakan masyarakat belum tahu, sadar, dan paham bagaimana mengelola sampahnya, tetapi lebih pada karakter yang terbentuk dari kesadaran masyarakat dalam pengelolaan sampahnya.
Keengganan memilah sampah dikarenakan banyak fasilitas yang disediakan, misal gerobak sampah keliling, dibukanya TPA dan TPS, yang memungkinkan masyarakat membuang sampah tanpa dipilah dan dipilih, sehingga ahkirnya menjadi kebiasan. Apakah dengan kasus yang besar ini, masyarakat sadar?
Sepertinya masyarakat belum sadar akan pentingnya memilah dan memilih sampah, sehingga pada tahun 2015—2017 dengan inisiasi dari program Kemendikbudristek Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa (UST) menginisiasi pemilahan sampah di Jatirejo dengan Kelompok Difabel Jatirejo. Mereka memberdayakan kaum difabel dengan mengelola sampah anorganik menjadi ecobrick dan aneka aksesori rumah dengan decaupage.
Lewat kegiatan tersebut, Desa Jatirejo bebas sampah dan menjadi desa inklusif, sehingga saat ini kelompok ini membuka desa wisata Bukit Kecubung yang dikelola bersama pada tahun 2019 hingga sekarang.
Kegiatan pengelolaan sampah ini juga ditiru oleh warga dan kelompok wanita tani, sehingga diberdayakan melalui kegiatan pasar tani yang dikelola Kelompok Wanita Tani (KWT), beranggotakan ibu-ibu yang mempunyai anak difabel maupun wanita difabel.
KWT ini setiap Sabtu dan Minggu, menjual hasil olahan kebun baik sektor perikanan, peternakan, dan pertanian. Pupuk dan pakan yang digunakan oleh KWT adalah hasil olahan sampah organik yang dihasilkan dari dapur.
Desa Jatirejo berhasil mengubah dari sampah menjadi desa inklusi yang mandiri dan merdeka sampah.
Kegiatan menginsisasi warga melalui kegiatan KKN tematik di Kota Yogyakarta dan Sleman, tepatnya di kelurahan Warungboto dan di Margoaggung pada tahun 2017—2020. Pendekatannya lebih kepada pembuatan sayuran organik dan pemanfaatan lahan sempit wilayah perkotaan.
Hasilnya, banyak wanita yang memanfaatkan gang yang ada di Warungboto menjadi Lorong Sayur dan mengaktifkan kembali kegiatan bank sampahnya.
Wujud Kepedulian, Mahasiswa KKNT dan PMI Gelar Aksi Donor Darah
Sedangkan di Margoaggung setelah dilakukan kegiatan pemanfaatan limbah tahu, muncullah snack kerupuk tahu, di mana menjadi icon dari Margoaggung, khususnya di Desa Barepan.
Selain melalui kegiatan KKN, inisiasi pengelolan limbah dan sampah mandiri di Barepan, Margoaggung, Sleman juga menggandeng Rumah Maggot Barepan Bangkit (RMBB) pada tahun 2022 – 2024.
RMBB tersebut sendiri merupakan kumpulan dari para orang tua dan kaum muda yang tertarik dalam pengelolaan limbah tahu cair dan sampah oranik dengan menggunakan maggot sebagai pengurai.
Inisiasi ini sendiri muncul dari masyarakat dan difasilitasi oleh program penelitian dan riset Bappeda Sleman yang bekerja sama dengan UST pada tahun 2022. Melalui program tersebut, warga yang tergabung dalam RMBB diajarkan satu siklus budidaya maggot hingga menjadi lalat.
Kegiatan tersebut bertujuan agar RMBB tidak tergantung pada pakan buatan untuk ternaknya. Juga menjadi awal terjadinya siklus ekonomi, di mana warga bisa menyetorkan sampah organiknya untuk pakan maggot, dan mengambil maggot untuk pakan ternaknya.
Selain sampah organik dengan adanya RMBB, pemuda Margoagung ahkirnya membentuk bank sampah yang mengelola sampah anorganiknya.
Ahkirnya pada tahun 2022, RMBB meraih kejuaraan ketiga pada Anugerah Inovasi tingkat DIY.
Sehingga pada tahun 2023 Kemenristek melalui dana Kolaborasi Kampung Bangkit menggandeng RMBB sebagai mitra untuk meningkatkan kapasitasnya dengan menghibahkan mesin pembuatan pelet dan packing kasgot.
Saat ini omzet dari masyarakat Barepan melalui RMBB yang tadinya 0 rupiah menjadi Rp3 juta per bulan dari pengelolaan sampah organik dan limbah tahu.
Hal ini menunjukan bahwa adanya kesadaran masyarakat untuk mengelola sampah organiknya karena menyadari bahwa sampahnya bernilai ekonomi.
Jika di ketiga lokasi tersebut penulis sebagai inisiator, bagaimana dengan kehidupan penulis ketika mengelola sampah?
Pengelolaan sampah yang dilakukan oleh penulis sejak zaman dulu hingga sekarang berumah tangga. Sampah yang ada di rumah tangga dikelola dengan menggunakan ember tumpuk. Lalu, digunakan sebagai pakan ternak (ikan lele) menggunakan maggot, sedangkan kasgotnya sebagai media tanam.
Untuk mengelola sampah organik menggunakan system pertanian organik yang berputar. Di mana sampah dikelola dengan maggot sebagai pakan ternak, lalu air lele digunakan sebagai sumber air untuk tanaman.
Adapun, POC yang berasal dari ember tumpuk bisa digunakan untuk pupuk dan media tanam (pengganti AB mix) dan kasgotnya sebagai media tanam.
Dengan demikian, dalam satu pekarangan, mendapatkan hasil protein dari lele dan mineral serta vitamin dari hasil kebun. Selain itu setiap hari dapat memvariasikan menu hanya dengan hasil panen kebun. Bagaimana, masih tidak mau mengelola sampah?
Yuk, isi kemerdekaan dengan memerdekakan diri melalui pengelolaan sampah sendiri! Selain buat healing, mendapatkan penghasilan, dan bersih lingkungan lho.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News