hutan tanggung jawab indonesia untuk dunia - News | Good News From Indonesia 2025

Hutan, Tanggung Jawab Indonesia untuk Dunia

Hutan, Tanggung Jawab Indonesia untuk Dunia
images info

Pohon dan hutan sebagai bagian dari alam liar sangat berperan besar dalam membentuk kehidupan manusia. Sebagaimana yang kita tahu, pohon berperan sebagai penghasil oksigen dengan mengonversi karbon dioksida yang dihasilkan makhluk hidup heterotrof lain.

Pepohonan yang berkumpul dalam menjadi hutan lebat begitu spesial karena mereka adalah penghasil bahan penting kehidupan sebagian besar makhluk hidup di Bumi saat ini, tak terkecuali manusia.

Hal lain yang tak kalah spesial adalah fakta bahwa pohon dan hutan dunia 2,3% berada di Indonesia atau luas sekitar 915 ribu km persegi (World Bank). Artinya kehidupan berbagai makhluk hidup dari yang berukuran jari kelingking hingga gedung 2 lantai sangat bergantung pada keberadaan hutan di negara kita.

Salah satu klaim yang sering kita dengar adalah Indonesia sebagai negara megabiodiversitas. Status ini menunjukkan level jumlah kehidupan yang bermukim di negara kepulauan ini sangat besar.

Bahkan menurut data dari Mongabay, Indonesia menempati urutan kedua sebagai negara dengan tingkat biodiversitas tertinggi di dunia. Data ini bukan didapatkan berdasarkan populasi manusia yang memang juga berstatus mega di Indonesia, tetapi keberagaman gen, spesies, komunitas, dan ekosistem yang melimpah.

Kumpulan makhluk hidup dari berbagai jenis, mulai dari insekta, amfibi, aves, mamalia, tumbuhan sederhana, dan tumbuhan berbiji bergabung dalam ekosistem besar bersama bentang alam yang tak kalah kaya.

Buku Status Kehati melaporkan Indonesia memiliki total 31.031 spesies flora dan 744.279 spesies fauna.

Namun status ini dibayangi fakta yang mengecewakan dan ironi tentang kondisi hutan di Indonesia. Global Forest Watch melaporkan sejak 2002 hingga 2024 telah terjadi pengurangan lahan hutan di Indonesia sebesar 34%. Meskipun sejak tahun 2020 ada pengurangan laju deforestasi, tetapi tetap saja deforestasi masih terus terjadi.

Sebuah kejadian memalukan yang turut menyoroti deforestasi Indonesia pernah terjadi melalui peristiwa konfrontasi seorang bintang film Amerika, Harrison Ford pada tahun 2013 kepada Menteri Kehutanan kala itu karena merasa marah dengan fakta deforestasi besar-besaran yang terjadi di Indonesia.

Harrion yang saat itu turut serta dalam peliputan film dokumenter tentang lingkungan melihat secara langsung aktivitas deforestasi di Taman Nasional Tesso Nilo.

Walaupun belum ada konsensi global yang menetapkan secara ketat prosedur pengelolaan hutan di suatu negara. Namun, ada kesepakatan bersama misalnya yang dikeluarkan oleh UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change) tentang tanggung jawab negara dengan kawasan hutan luas untuk mengelola dengan baik wilayah tersebut.

Deforestasi pada kenyataannya masih menjadi momok bagi kelestarian hutan liar di Indonesia. Ironinya saat ini pemerintah berencana membuka kawasan hutan agar bisa ditanami oleh “hutan” lainnya yaitu “hutan sawit”.

Cukup aneh juga mendengar pembelaan bahwa “hutan sawit” ini sama saja dengan hutan liar. Kiranya lebih tepat jika hutan sawit tidak disebut sebagai hutan, tetapi menggunakan istilah lain, seperti kebun atau ladang.

Hal ini agar klaim hutan tak lagi menjadikan bias pemahaman publik tentang makna hutan sebenarnya. Hutan seharusnya memberikan kehidupan bagi jenis keragaman yang besar dan mendukung siklus biogeokimia bumi.

Kebun sawit tak memberikan dampak tersebut, karena tak semua insekta, mamalia, dan jamur berasosiasi secara alami dengan tanaman sawit. Keseimbangan alam akan goyah dan mengganggu kehidupan di luar wilayah hutan itu, pemukiman manusia.

Hutan alami tak hanya berfungsi dalam produksi oksigen, tetapi memiliki peranan yang jauh lebih besar. Banyak siklus biologis, geologis, dan kimia di bumi (biogeokimia) dikendalikan oleh keberadaan hutan dan pohon.

Hutan merupakan istana bagi makhluk hidup mikroskopis pendegradasi bahan organik, seperti cendawan dan bakteri. Mereka membantu daur ulang bangkai hewan dan tumbuhan menjadi unsur organik dan anorganik yang penting bagi kelangsungan ekosistem.

Berbagai mineral seperti fosfor, kalium, dan sulfur berjalan melalui aliran kondensasi dan penyimpanan oleh akar pepohonan. Unsur penting di kehidupan, nitrogen tidak akan bisa diserap oleh hewan dan kita manusia tanpa pengolahan oleh bakteri yang berasosiasi dengan tumbuhan.

Serangkaian peran ini bisa berjalan dengan maksimal jika komposisi tumbuhan secara akumulatif seimbang dengan faktor penting adalah keberagaman jenis.

Kebun dan pepohonan sawit tidak mendukung serangkaian proses ini secara optimal bahkan mungkin berpotensi tidak akan bisa berjalan.

Proyek kebun sawit bukan satu-satunya penyebab deforestasi dalam skala masif. Sebelumnya banyak proyek lain yang tanpa ampun mengeksploitasi hutan kita yang rawan, misalnya tambang dan industri.

Menurut studi yang diterbitkan Proceedings of the National Academy of Science lahan hutan yang dialihfungsikan menjadi area tambang di Indonesia mencapai 58.2%. Dampak pengalihan fungsi hutan menjadi wilayah tambang tak main-main.

Tidak hanya memutus aliran oksigen tapi juga melepaskan gas gas berbahaya yang sulit dikendalikan secara alami. Pengerukan tanah untuk fungsi tambang merelokasi sedimen logam berat di area geologis terbawah ke atas permukaan.

Logam berat kemudian menjadi polutan yang terbawa air tanah ke area hutan hingga pemukiman. Belum lagi emisi karbon monoksida, nitrogen oksida, dan senyawa polutan lain oleh mesin berat pertambangan yang berkontribusi pada pemanasan suhu rata-rata global.

Semua bentuk aktivitas ini ibarat mengeluarkan racun yang sudah disimpan rapat sebelumnya kepada kehidupan manusia.

Setelah semua refleksi intelektual ini mungkin beberapa dari kita akan tetap merasa tak begitu tergugah karena penjelasan tadi belum menyentuh aspek terdekat manusia yaitu ekonomi dan sosial budaya.

Sejatinya hutan di banyak tempat dan budaya bukan hanya sebagai alam liar melainkan rumah. Beberapa suku pedalaman menganggap hutan sebagai kawan, saudara, ibu atau konotasi lain yang menunjukkan keintiman.

Mereka memanfaatkan hutan atas asas hubungan emosional yang dalam bukan hanya pandangan komoditas ekonomi yang bisa dieksploitasi sesukanya. Beragam tradisi budaya yang kaya makna dan nilai diwariskan melalui lorong gelap hutan.

Semua kekayaan budaya ini akan sirna jika hutan dibabat tanpa ampun. Hutan pun menyimpan sumber pendapatan yang prospektif jika tak dibabat secara liar.

Konsep agroforestri memperkenalkan pemanfaatan komoditas hutan perkebunan yang masih mempertahankan kondisi keberagaman jenis tumbuhan. Jika kita bisa mengenali dengan baik nilai berharga ini tentu ada gairah kuat untuk mempertahankan kondisi alami hutan. 

Semua penjabaran reflektif dan penuh keluh kesah diatas bukan sekedar keresahan tanpa makna. Namun, bentuk harapan agar tumbuh kesadaran tentang betapa berharganya hutan. Betapa besar tanggung jawab yang diemban oleh negara kita dalam menjaga eksistensi hutan dunia.

Hutan bukanlah tempat mengerikan yang perlu dihindari atau komoditas ekonomi yang layak disakiti tanpa ampun. Hutan adalah rumah kita semua. Sangat penting untuk menyadarkan perspektif ini kepada masyarakat secara luas khususnya pemangku kebijakan yang bertanggung jawab secara langsung terhadap keberlangsungan hutan.

Melalui momen kemerdekaan mari kita renungkan kembali sejauh apa kita perlu bertindak agar hutan dan kehidupan yang disediakannya terus terjaga hingga tahun tahun kemerdekaan berikutnya. 

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

BF
KG
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.