Kebudayaan merupakan hasil cipta, rasa, dan karsa manusia yang lahir dari akal budi serta berkembang melalui proses belajar. Ia menjadi kebiasaan yang diwariskan dari generasi ke generasi, sehingga membentuk identitas suatu masyarakat.
Ia tidak hadir begitu saja, melainkan tercipta dari pengalaman hidup manusia yang kemudian membentuk kebiasaan-kebiasaan tertentu.
Dalam praktiknya, kebudayaan tumbuh melalui pembelajaran yang terus-menerus, baik dari lingkungan keluarga, masyarakat, maupun interaksi sosial sehari-hari.
Kebudayaan sesungguhnya tumbuh dan berkembang di tengah kehidupan manusia, karena manusia adalah pencipta sekaligus pewarisnya.
Tanpa kebudayaan, kehidupan manusia akan terasa hampa, sebab kebudayaan memberikan arah, identitas, serta tata nilai yang menjadi pedoman dalam berinteraksi.
Sebaliknya, kebudayaan tidak mungkin bertahan tanpa adanya manusia yang menjaga dan melestarikannya dari generasi ke generasi. Dengan kata lain, manusia dan kebudayaan memiliki hubungan timbal balik yang sangat erat dan tidak dapat dipisahkan. Salah satu contoh nyata masyarakat yang masih setia menjaga warisan leluhur adalah masyarakat Osing di Banyuwangi
Kebudayaan Osing juga tercermin dalam kehidupan sosial mereka yang menjunjung tinggi nilai gotong royong dan kebersamaan.
Berbagai ritual adat dan upacara tradisional digelar secara kolektif, melibatkan seluruh lapisan masyarakat. Inilah yang menjadikan budaya Osing tidak hanya hidup sebagai simbol identitas, tetapi juga berfungsi mempererat ikatan sosial di tengah masyarakat Banyuwangi.
Salah satu tradisi penting yang diwariskan dan masih dijalankan hingga kini adalah Puter Kayun, sebuah ritual adat khas masyarakat Osing yang dilaksanakan setiap bulan Suro (tahun Jawa/Islam).
Tradisi ini biasanya dilakukan oleh warga Desa Boyolangu, Kecamatan Giri, Banyuwangi. Puter Kayun bukan sekadar acara budaya, melainkan sarat makna spiritual dan filosofis
Secara etimologis, “Puter Kayun” berasal dari bahasa Jawa-Osing yang berarti “memutar niat atau hati”. Makna ini merujuk pada penyucian diri, pengendalian hati, serta penguatan tekad dalam menjalani kehidupan.
Tradisi ini sudah ada sejak zaman kerajaan Blambangan, dilaksanakan sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur sekaligus wujud rasa syukur masyarakat atas keselamatan dan rezeki yang diperoleh.
Sejarah tradisi Puter Kayun tidak dapat dilepaskan dari kisah perjuangan leluhur, khususnya upaya yang dilakukan oleh Buyut Jakso. Beliau dikenal sebagai tokoh penting yang berperan besar dalam membuka akses menuju kawasan Wongsorejo.
Pada masa lampau, wilayah tersebut terhalang oleh keberadaan Gunung Watu Dodol, sebuah bukit batu besar yang membentuk penghalang alami sehingga masyarakat sulit menjalin hubungan antardaerah.
Liana, M., & Susilo, Y. (n.d.) dalam artikelnya yang diterbitkan di Jurnal Online Baradha menjelaskan bahwa pada masa pemerintahan Mas Alit, dilakukan berbagai upaya untuk membongkar Gunung Watu Dodol agar tercipta jalur penghubung.
Namun, pekerjaan tersebut sangat berat dan berisiko tinggi karena dilakukan secara manual dengan peralatan sederhana. Konon, upaya itu menelan banyak korban jiwa.
Masyarakat kala itu mempercayai bahwa Gunung Watu Dodol merupakan tempat bersemayamnya kekuatan gaib atau bahkan kerajaan jin, sehingga tidak mudah untuk dibuka hanya dengan tenaga manusia biasa.
Menyadari tantangan tersebut, Mas Alit kemudian mengutus dua orang kepercayaannya untuk mencari sosok yang memiliki kekuatan spiritual tinggi serta keteguhan hati yang luar biasa. Dari pencarian itulah kemudian hadir Buyut Jakso dengan kesungguhan, kesabaran, serta kekuatan spiritualnya berhasil menaklukkan tantangan alam sekaligus hambatan gaib yang dipercaya ada di Gunung Watu Dodol.
Usaha keras Buyut Jakso membuka jalur tersebut akhirnya membuahkan hasil, hingga kini menjadi akses penting yang masih dinikmati oleh anak cucu generasi penerus.
Kisah ini kemudian menjadi fondasi lahirnya tradisi Puter Kayun, yang dimaknai sebagai wujud rasa syukur, penghormatan kepada leluhur, sekaligus pengingat akan perjuangan besar dalam membangun akses kehidupan bagi masyarakat Banyuwangi
Keunikan tradisi Puter Kayun terletak pada perpaduan antara unsur spiritual, sosial, dan budaya. Dari sisi spiritual, ia menjadi bentuk doa dan permohonan keselamatan. Dari sisi sosial, Puter Kayun memperkuat solidaritas masyarakat karena seluruh warga ikut serta dalam prosesi. Sementara dari sisi budaya, tradisi ini melestarikan identitas masyarakat Osing, memperlihatkan bahwa adat istiadat mereka tetap hidup di tengah modernisasi.
Hingga kini puter kayun masih terus diselenggarakan secara turun temurun bukan hanya sebagai bentuk penghormatan kepada para leluhur, tetapi juga sebagai perekat sosial, dan identitas budaya Osing.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News