dua puluh tahun menuju 100 dikejar vietnam ditunggu sejarah - News | Good News From Indonesia 2025

Dua Puluh Tahun Menuju 100: Dikejar Vietnam, Ditunggu Sejarah

Dua Puluh Tahun Menuju 100: Dikejar Vietnam, Ditunggu Sejarah
images info

Saya lahir dan besar di sebuah desa petani yang hijau subur, tak jauh dari Gunung Merapi di Sleman, Yogyakarta. Namanya Desa Wonosalam. Letaknya di bagian utara Kabupaten Sleman, sudah masuk kawasan dingin, di mana embun sering menggantung lama di pagi hari.

Tentu saja saya mengenal semua orang di kampung waktu itu. Lek (artinya paman) Ponimin yang punya banyak kambing, Lek Surat yang suka membantu membersihkan kandang sapi tetangga, atau Pakdhe Uwir yang punya sawah berisi padi dan jagung. Bapak saya seorang petani juga, ladang dan kebunnya cukup luas, warisan dari simbah. Meski begitu, beliau juga PNS, menjadi bendahara di Tata Usaha (TU) di salah satu madrasah aliyah di Maguwoharjo. Saya ingat betul, semua orang saling mengenal, semua tersenyum, dan bertanya kabar setiap kali berjumpa.

Saya masih bisa melihat jelas: sekitar jam sembilan pagi, para petani duduk berkeliling di pematang sawah, membuka bungkusan nasi dari daun pisang. Aromanya langsung bercampur dengan udara lembap pagi yang baru saja disiram embun. Lauknya sederhana, sayur lodeh dengan tempe goreng atau ikan asin, tapi cara mereka menyantapnya membuat hidangan itu terasa seperti pesta. Gelak tawa terdengar, sesekali diselingi obrolan ringan soal cuaca, hama, atau kabar tetangga. Tak ada meja makan, tapi ada kebersamaan yang sulit dibeli dengan uang.

Ketika adzan dhuhur terdengar dari masjid desa, dan jarak ke rumah terlalu jauh untuk pulang, mereka tidak repot. Sarung segera digelar di pematang, air dari kalen kecil jadi tempat wudhu, dan sholat berjamaah berlangsung di bawah terik matahari dengan angin sawah sebagai kipas alami. Pemandangan itu terasa sakral sekaligus merakyat: keikhlasan dan ketaatan di tempat mereka mencari penghidupan.

Di benak saya, kala itu, lingkungan seperti itu nyaris sempurna. Komplain hampir tidak ada. Kebahagiaan sederhana terasa berlimpah, seolah setiap orang sudah cukup dengan apa yang dimilikinya. Air irigasi mengalir deras dari lereng Merapi, benih selalu ada, pupuk mudah dibeli di kios desa. Satu-satunya musuh hanyalah wereng yang menyerang batang padi atau uret yang bersembunyi di tanah. Selain itu, hidup seolah terasa stabil, bisa diprediksi, dan penuh rasa syukur.

Dari suasana itulah saya beranjak dewasa. Lalu pindah ke kota, mengejar sekolah, kuliah, dan pekerjaan. Saya pernah tinggal di Jakarta. Beneran, saya tidak kuat. Hiruk-pikuknya seperti tidak mengenal jeda, dari pagi buta sampai larut malam. Lalu lintas yang macet, polusi, ritme hidup yang begitu cepat, sampai-sampai orang tidak sempat lagi mengenal tetangganya. Jakarta memberi peluang besar, tapi juga menguras energi dan perasaan.

Sekarang saya tinggal di Surabaya. Kota besar, tapi tidak sekeras Jakarta. Setidaknya, di Surabaya, kampung-kampung masih tertata rapi, ikatan sosial masih tinggi, dan orang-orang masih mau menyapa ketika berpapasan di jalan. Ada semacam keseimbangan, antara kota modern yang terus berkembang dengan jejak kampung yang masih terasa. Tapi tetap saja, Surabaya adalah kota yang sibuk bukan main, dari jam enam pagi sampai jam enam pagi lagi. Jalanan macet, pusat belanja penuh, notifikasi ponsel tidak pernah berhenti. Profesi petani makin jarang ada dalam daftar cita-cita anak muda.

Tak lama lagi, Surabaya akan disambungkan dengan Whoosh dari Jakarta, Bandung, Yogyakarta. Jawa akan seperti satu jalur cepat raksasa. Sebuah loncatan. Dan inilah saatnya, bangsa kita perlu melaju secepat Whoosh.

Vietnam: Saingan yang Tak Henti Berlari

Kalau dulu kita merasa cukup hanya bisa menanam padi dengan tenang, atau menikmati keseharian di kampung yang stabil, dunia sekarang menuntut jauh lebih dari itu. Pertanyaan besar untuk Indonesia hari ini bukan lagi “bisakah panen berhasil?” tapi “bisakah kita bersaing di panggung global yang makin cepat?”

Jawabannya bisa kita lihat dari negara tetangga yang paling agresif berlari: Vietnam. Dari sepak bola, timnas mereka kini peringkatnya sudah lebih tinggi dari kita. Dari ekspor, Vietnam melesat: tahun 2024 ekspor mereka menembus USD 354 miliar, sementara Indonesia “hanya” USD 285 miliar (UN Comtrade). Mereka bahkan sudah punya mobil nasional—VinFast—yang bukan sekadar dipamerkan di dalam negeri, tapi sudah menembus pasar Amerika dan Eropa.

Landmark 81 di Ho Chi Minh City kini berdiri sebagai salah satu gedung tertinggi di Asia Tenggara, sejajar dengan pencakar langit Kuala Lumpur. Kota-kota mereka pun tumbuh cepat: Nha Trang yang dulunya kota nelayan kini menyaingi Penang, sementara Da Nang dengan bandara dan infrastrukturnya sudah menyalip banyak kota besar di kawasan. Bana Hills bahkan bukan lagi tandingan Puncak, tapi sudah head-to-head dengan Genting Highlands.

Vietnam Airlines pun berani membuka rute lebih jauh: terbang ke Eropa, Amerika, hingga Australia—jauh lebih banyak dari Garuda Indonesia yang justru kian terhimpit. Bandara-bandara di Hanoi dan Ho Chi Minh City terus berbenah, menampung jutaan turis internasional setiap tahun. Pertumbuhan ini bukan kebetulan, melainkan hasil strategi jangka panjang yang konsisten dan disiplin.

Saya tak berani lagi membandingkan dengan Singapura—sudah pasti takkan terkejar. Tapi lihat yang lebih dekat: GDP per kapita Indonesia baru sekitar USD 5.500. Thailand sudah di atas USD 8.000. Malaysia USD 13.000. Vietnam kini mencapai USD 5.000. Tinggal sedikit lagi mereka menyamai kita, dan dengan laju pertumbuhan seperti sekarang, bukan mustahil dalam lima atau sepuluh tahun ke depan mereka bisa menyalip.

Di bidang riset dan inovasi, jurang makin terasa. Belanja riset Indonesia hanya 0,2 persen dari PDB. Malaysia 1,3 persen, Thailand 1 persen, Vietnam 0,5 persen. Akibatnya, kita masih impor mesin, obat, bahkan bawang putih dan garam. Padahal sejak SD kita diajarkan Indonesia adalah “negara agraris dan maritim”. Ironis, negara yang katanya gemah ripah loh jinawi justru masih mengimpor garam untuk dapur sendiri.

Era kecerdasan buatan membuat persaingan makin keras. Laporan Bank Dunia memperkirakan 14 persen pekerjaan di Indonesia berisiko hilang karena otomatisasi dalam 10 tahun ke depan. Masalahnya, proporsi tenaga kerja kita yang berpendidikan tinggi baru 9 persen. Vietnam? Lebih agresif mendorong pendidikan STEM, investasi digital, dan konektivitas. Kalau kita tidak bergerak cepat, bonus demografi yang sekarang dibanggakan bisa berubah menjadi bencana demografi.

Ditunggu Sejarah

Seratus tahun Indonesia tinggal 20 tahun lagi. Dua dekade yang, untuk ukuran bangsa, sangat singkat. Hari ini kita bisa melihat kontras itu dengan mata telanjang: di sawah, petani masih tersenyum apa adanya memanen padi, sementara di belakang mereka Whoosh melintas dengan kecepatan tinggi. Dua wajah Indonesia dalam satu bingkai—kesederhanaan yang bertahan dan ambisi modern yang melesat. Pertanyaan yang harus kita jawab jujur adalah: dua puluh tahun lagi, Indonesia sudah seperti negara mana? Apakah kita bisa setara dengan Korea Selatan? Setidaknya mendekati Malaysia? Atau justru masih berkutat dengan masalah klasik: harga beras, subsidi BBM, dan … korupsi?

Indonesia akan berusia 100 tahun pada 2045. Itu bukan sekadar angka bulat, melainkan tonggak sejarah. Anak cucu kita akan melihat ke belakang: apakah kita bangsa yang berhasil melipat jarak dengan tetangga, atau bangsa yang terus berpuas diri dengan nostalgia masa lalu? Seratus tahun kemerdekaan seharusnya bukan hanya perayaan seremonial dengan karnaval, tarian kolosal, dan pesta kembang api, melainkan momentum untuk membuktikan bahwa Indonesia bukan hanya besar di peta, tapi juga besar dalam prestasi.

Karena sejarah tidak pernah terburu-buru, tapi ia selalu mencatat. Ia menunggu siapa yang berlari lebih cepat, siapa yang tersandung, siapa yang tertinggal. Vietnam sedang berlari kencang, Thailand dan Malaysia sudah jauh di depan. Kita tidak bisa lagi berlindung di balik slogan “bangsa besar dengan sumber daya melimpah” sementara orang lain sudah mengubah keterbatasan menjadi kekuatan.

Kontras petani dan Whoosh itu seharusnya menjadi peringatan sekaligus pengingat. Apakah kita akan puas dengan pemandangan petani bahagia di lumpur sementara kereta cepat hanya jadi monumen teknologi? Atau kita bisa memastikan keduanya berjalan beriringan—kemajuan tanpa meninggalkan mereka yang sederhana? Karena kesejahteraan bangsa tidak diukur dari seberapa cepat kereta melaju, tapi sejauh mana rakyatnya ikut bergerak maju.

Maka pertanyaannya kini: ketika jam menunjukkan 2045, kursi manakah yang akan diduduki Indonesia? Apakah kita duduk di meja para pemain besar, sejajar dengan mereka yang menguasai teknologi dan inovasi? Atau kita hanya jadi penonton, menepuk tangan untuk kemenangan orang lain, sambil kembali menghibur diri dengan cerita kejayaan masa lalu? Dua puluh tahun terasa lama untuk manusia, tapi sangat sebentar bagi sebuah bangsa. Dan sejarah, sekali lagi, tidak akan menunggu kita terlalu lama.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Jika Anda tertarik untuk membaca tulisan Akhyari Hananto lainnya, silakan klik tautan ini arsip artikel Akhyari Hananto.

AH
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.