topeng monyet budaya eksploitasi satwa dan dilema sebagai penonton - News | Good News From Indonesia 2025

Topeng Monyet: Budaya, Eksploitasi Satwa, dan Dilema sebagai Penonton

Topeng Monyet: Budaya, Eksploitasi Satwa, dan Dilema sebagai Penonton
images info

Sebagian besar dari Kawan GNFI pasti tidak asing dengan topeng monyet, yang mana sudah menjadi tontonan kita sejak masa kanak-kanak, bahkan hingga tumbuh dewasa.

Pertunjukan ini, sesuai dengan namanya, menampilkan seekor monyet yang melakukan atraksi menirukan perilaku-perilaku manusia seperti berbelanja, berdandan, bahkan mengendarai sepeda, dengan menggunakan properti yang disediakan dan ditemani alunan gendang atau gamelan.

Menurut Wikipedia, pertunjukan topeng monyet telah ada sejak tahun 1890-an, dan selain di Indonesia, pertunjukan topeng monyet juga dapat ditemukan di India, Pakistan, Thailand, Vietnam, Tiongkok, Kamboja, Jepang, dan Korea.

Pertunjukan ini juga dapat digambarkan sebagai sirkus mini, dan biasanya berpindah dari satu lokasi ke lokasi lain di area permukiman.

Kedatangan topeng monyet selalu disambut dengan gembira oleh anak-anak. Hal ini tentu merupakan berkah bagi pemiliknya. Sebab, uang yang diberikan menjadi sumber penghasilan bagi mereka untuk menghidupi keluarga. Namun, pertunjukan ini memiliki pro dan kontra dibaliknya.

Baca juga: Seni Pertunjukan Tradisional yang Mendunia dan Hanya Ada di Indonesia

Budaya atau Eksploitasi Satwa?

Di sinilah batasnya menjadi kabur. Jika kita menelisik lagi, topeng monyet adalah kesenian yang berkembang di berbagai daerah dan negara lain, jadi tidak ada kepastian bahwa pertunjukan ini merupakan budaya tradisional asli dari Indonesia.

Hanya karena ini adalah jenis pertunjukan yang telah kita saksikan sejak kecil, beberapa orang menganggapnya layak untuk dilestarikan. Namun, untuk memastikan monyet-monyet ini dapat mengikuti instruksi pawangnya dengan begitu terampil, ada harga yang harus dibayar.

Di balik pertunjukan yang menghibur ini, tentu saja terdapat pelatihan yang cukup keras untuk mendisiplinkan monyet-monyet tersebut. Misalnya untuk melatih mereka berjalan tegak, tangan mereka diikat di belakang punggung atau bahkan digantung selama berjam-jam.

Monyet-monyet ini juga dilatih menggunakan metode penghargaan dan hukuman. Jika monyet-monyet tersebut berhasil, mereka akan diberi hadiah makanan. Namun, jika mereka gagal, para pelatih tidak akan ragu untuk memukul mereka.

Dilema sebagai Penonton

Topeng Monyet

Melansir dari website Kukangku, topeng monyet melanggar beberapa peraturan, yang menyebabkan semakin banyaknya seruan untuk menghapusnya, termasuk ancaman bahaya akibat kontak fisik antara monyet dan penonton.

Pada tahun 2013, organisasi bernama JAAN (Jakarta Animal Aid Network) berjuang melawan kekejaman terhadap hewan di Jakarta dan mendorong pemerintah untuk memberlakukan peraturan baru yang mengancam hukuman penjara bagi mereka yang terbukti bersalah atas penyiksaan satwa.

Peraturan ini bisa dibilang efektif karena kalau kita bandingkan, pertunjukan topeng monyet semakin jarang dan jauh lebih sedikit daripada beberapa tahun yang lalu. Namun, di banyak kota, pertunjukan ini masih berlangsung dan menarik banyak antusiasme karena ditujukan untuk anak-anak.

Salah satu dilema yang penulis yakin dirasakan sebagian Kawan GNFI sebagai penonton adalah haruskah kita menyumbangkan sejumlah uang saat pertunjukan ini berlangsung?

Baca juga: Seni yang Tak Pernah Pergi, tapi Sering Diabaikan

Banyak orang kemungkinan besar sebenarnya tidak ingin mendukung pertunjukan topeng monyet dengan cara apapun karena menyadari adanya aspek eksplotasi satwa yang dilakukan oleh pawangnya.

Namun, mengingat pertunjukan ini merupakan sumber pendapatan bagi para pemilik monyet tersebut, jika mereka tidak mendapatkan cukup uang, bukankah itu bisa berarti hewan iniĀ juga akan hidup lebih sengsara daripada yang sudah mereka alami?

Itulah yang selalu terlintas di pikiran penulis setiap kali ada pertunjukan topeng monyet berlangsung. Kemungkinan pertunjukan ini bisa dihapus jika pemilik monyet mempertimbangkan untuk berhenti melakukan pekerjaan ini. Sebab, merasa tidak ada lagi yang tertarik dengan pertunjukan topeng monyet. Namun, bagaimana bila yang terjadi adalah sebaliknya?

Kalau menurut Kawan GNFI bagaimana, apakah topeng monyet termasuk budaya, atau eksploitasi satwa? Dan bagaimana cara Kawan GNFI menyikapi dilema kita sebagai penonton?

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

DA
KG
Tim Editor arrow

Terima kasih telah membaca sampai di sini

🚫 AdBlock Detected!
Please disable it to support our free content.