Sebelum era belanja online, Jakarta punya satu tempat hits yang jadi andalan banyak orang untuk mencari fashion kece; Pasar Taman Puring, atau yang akrab disebut dengan Tampur.
Jika kalian tumbuh besar di Jakarta antara tahun 80-an sampai awal 2000-an, nama ini pasti bikin memori langsung “menyala”. Bukan hanya pasar pada umumnya, tapi Tampur adalah markasnya para pemburu gaya.
Mulai dari anak sekolah yang mencari sepatu keren, eksekutif muda yang selalu ingin tampil stylish, sampai kolektor barang branded yang jago menemukan hidden gem, semua berkumpul di sini.
Bayangkan saja, satu lorong sempit bisa penuh dengan sepatu Nike original, jaket kulit terbaik, jam tangan G-Shock, sampai jersey klub Eropa favorit. Semua bisa dibawa pulang asal memiliki kemampuan tawar-menawar dan mata yang jeli.
Layaknya pasar tempat bertemunya penjual dan pembeli, Tampur bisa disebut juga sebagai pusat interaksi budaya urban. Sebelum menjadi pasar, kawasan ini adalah pangkalan oplet tahun 1960-an.
Perlahan seiring dengan perkembangan kota, kawasan ini bermetamorfosis menjadi pusat sepatu murah, yang kemudian menjadi surganya barang branded dengan harga yang bersahabat.
Dari Dapur Kecil ke Pasar Besar: Perjuangan UMKM Desa Kluwut Menembus Batas
Namun, kejayaan itu perlahan mulai meredup. Seiring berjalannya waktu, gaya hidup masyarakat ikut berubah. Pusat perbelanjaan modern bermunculan, e-commerce yang merajalela, membuat budaya belanja dari rumah menjadi pilihan yang lebih praktis dan nyaman.
Tak banyak lagi yang rela menyusuri lorong-lorong sempit dan panas demi berburu satu barang incaran.
Perubahan perilaku konsumen ini juga memengaruhi hubungan generasi muda dengan tempat-tempat legendaris seperti Tampur. Mungkin dulu Tampur adalah destinasi wajib.
Namun, kini hanya tinggal kenangan bagi sebagian orang yang pernah merasakan masa “emas”nya. Kini ia perlahan tenggelam dalam ingatan kolektif kota yang terus bergerak maju.
Kondisi fisik pasar yang kian menua, mendorong renovasi untuk terus dilakukan. Sayangnya, pembaruan itu tak benar-benar menjawab persoalan utama, tentang bagaimana cara pasar ini beradaptasi dengan perubahan zaman.
Akibatnya, Tampur perlahan kehilangan daya tariknya, lalu ditinggalkan secara perlahan. Warung kopi tua masih setia melayani pelanggan, dan beberapa kios tetap menjajakan jaket kulit seperti dulu. Namun tak bisa dipungkiri bahwa energinya tak lagi sama.
“Pasar Taman Puring terbakar pada 27 Juli 2025”.
Kabar memilukan itu pun akhirnya datang. Api melalap sebagian besar area utama pasar, membuat para pemilik kios pontang-panting menyelamatkan barang sebisa yang mereka mampu selamatkan.
Sekitar 500 kios terdampak. Berdasarkan pemberitaan yang beredar, titik awal api berasal dari blok tengah, diduga akibat korsleting listrik. Ini bukan hanya tentang kerugian materi, tapi tentang hilangnya bagian dari sisi lain Jakarta yang selama ini turut menjadi saksi perkembangan kota.
Pasca kebakaran, Tampur berubah menyerupai tumpukan memori yang tertinggal di antara puing. Spanduk bertuliskan “dalam proses perbaikan” pun terpasang. Namun, nyatanya tak banyak yang benar-benar berubah. Perbaikan yang memakan waktu, membuat sebagian pedagang memilih untuk pindah.
Kemudian, sisanya masih bertahan, sambil menanti dengan harapan pasar ini bisa hidup kembali seperti dulu. Namun, pertanyaannya adalah apakah masih mungkin membangkitkan Tampur dalam “rasa” yang sama?
Barangkali, jawabannya bukan sekadar membangun ulang secara fisik. Inilah momentum untuk memikirkan ulang peran dan wajah baru Pasar Taman Puring.
Mendekatkan Pasar Lewat Digital: Peran Geotagging dan Google Local Guide bagi UMKM Desa Karanganyar
Alih-alih mencoba mengulang masa lalu sebagai kiblatnya fashionista, Tampur mungkin bisa bertransformasi menjadi rumah besar bagi thrift dan vintage shop Jakarta, di mana menghidupkan kembali ruang kreatif dengan semangat lama dalam gaya yang baru.
Seperti yang kita ketahui bersama bahwa tren thrift kini tumbuh cukup masif, terutama di kalangan Gen Z dan milenial yang semakin sadar akan nilai historis, keunikan barang-barang lawas, serta pentingnya memilih gaya hidup yang lebih ramah lingkungan dan bertanggung jawab.
Jika potensi ini dimanfaatkan dengan tepat, Tampur kembali relevan sebagai ruang kultural yang hidup di tengah kota Jakarta.
Model rebranding semacam ini, tentunya bukan hal yang baru. Kita bisa melihat contoh pada kawasan Blok M yang berhasil direvitalisasi dengan pendekatan kreatif. Blok M menggabungkan elemen gaya hidup seperti kafe, toko musik, ruang komunitas, hingga spot-spot Instagramable yang menarik perhatian generasi muda.
Kemudian, Pos Bloc yang sukses menyulap bangunan tua menjadi ruang publik yang fresh, culture, dan penuh dengan aktivitas seni, juga literasi.
Tampur pun rasanya memiliki potensi yang serupa. Bayangkan saja jika pasar thrift dengan wajah baru, menjadi titik temu bagi para pencinta gaya vintage, anak muda kreatif, dan komunitas urban yang haus akan pengalaman belanja dengan sentuhan nostalgia. Dalam vibes yang lebih kekinian dan relevan dengan dinamika “waktu”.
Peristiwa kebakaran mungkin telah menghanguskan fisiknya, tetapi semangat dan potensinya belum padam. Dari titik terendah inilah, peluang untuk membangkitkan Tampur dalam wajah baru, membawa kembali harapan dan antusiasme yang sempat redup.
Bukan hanya sebagai replika masa lalu, tetapi sebagai ruang yang tumbuh secara inklusif, kreatif, dan terkoneksi dengan lintas generasi.
Tempat bersejarah tak harus tinggal diam di masa lalu. Ia dapat kembali hadir, beradaptasi dan menjadi bagian lain dari cerita Jakarta yang terus berkembang.
Lengkapnya Pasar Bunga Rawa Belong, Pasar Bunga Terbesar di Asia Tenggara: Favoritnya Para Autophile!
Harapannya, revitalisasi Pasar Taman Puring tidak berhenti pada perbaikan fisik semata, tetapi menjadi titik awal kembalinya sentra UMKM yang dulu pernah menghidupkan kawasan ini, di mana Tampur kembali ramai, bukan hanya oleh lalu lalang pengunjung. Namun, juga oleh semangat wirausaha, kreatifitas lokal, dan aktivitas ekonomi rakyat yang tumbuh dan menguat.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News