Kawan GNFI, masalah sampah hingga kini masih menjadi tantangan di banyak daerah. Tidak terkecuali di Desa Pucangluwuk, Kabupaten Tegal. Desa ini belum memiliki petugas pengangkut sampah, tempat pembuangan akhir, maupun sistem pengelolaan limbah yang memadai.
Akibatnya, warga terbiasa mengelola sampah secara mandiri, umumnya dengan membakar di lahan kosong atau membuangnya ke sungai.
Yang membuat kondisi ini semakin memprihatinkan adalah banyaknya sampah yang dihasilkan dari aktivitas anak-anak sekolah. Bungkus makanan, botol plastik, hingga kertas bekas menumpuk di area bermain dan sekitar lingkungan belajar.
Tanpa adanya fasilitas pendukung dan kesadaran yang cukup, sampah pun seolah menjadi bagian dari keseharian yang dianggap wajar.
Melihat kondisi tersebut, mahasiswa Kuliah Kerja Nyata Tematik (KKNT) IPB University berinisiatif menghadirkan gagasan sederhana berupa pembangunan alat pemusnah sampah dalam bentuk Incinerator untuk membakar sampah anorganik.
Alat ini sedikit berbeda dari kebanyakan Incinerator yang berbahan logam, sebagai upaya memastikan alat ini dapat bertahan untuk penggunaan jangka panjang, Incinerator yang dibangun berbahan hebel dan semen. Bahan bangunan ini mudah didapat dan tahan terhadap panas, sehingga rendah biaya dan tahan lama.
Pembuatan incinerator ini dilakukan secara gotong royong dan memakan waktu beberapa hari dimulai dari Sabtu (26/07/2025) hingga Selasa (29/07/2025). Para mahasiswa bersama warga menata hebel, mencampur adonan semen, dan menyusunnya menjadi bentuk tungku pembakar yang kokoh.
Kawan GNFI, keunggulan hebel dan semen bukan hanya pada ketahanannya terhadap panas, tetapi juga kemampuannya mempertahankan suhu pembakaran sehingga sampah dapat terbakar lebih merata.
Menariknya, proses ini juga menjadi sarana transfer keterampilan. Warga yang terlibat pembangunan kini mengetahui cara membuat incinerator sederhana, sehingga teknologi ini bisa direplikasi di lingkungan lain. Dengan begitu, manfaatnya tidak hanya berhenti pada satu titik, tetapi dapat menyebar ke wilayah lain yang menghadapi masalah serupa.
Setelah proses pembangunan rampung, para mahasiswa tidak langsung berhenti di situ. Mereka mengundang anak-anak sekolah untuk menyaksikan dan mempelajari cara kerja incinerator melalui demonstrasi langsung. Tujuannya agar anak-anak tidak hanya tahu fungsi alat, tetapi juga memahami cara penggunaannya yang aman dan tepat.
Antusiasme yang muncul begitu besar. Anak-anak sekolah membawa sendiri sampah-sampah yang mereka hasilkan dari kegiatan sehari-hari, mereka memperhatikan cara memasukkan sampah dengan benar, memastikan api menyala dengan stabil, dan mempelajari cara membuka dan menutup ruang bakar untuk mengambil sisa-sisa hasil pembakaran.
Tidak butuh waktu lama hingga incinerator ini menjadi kebiasaan baru di lingkungan sekolah. Setiap selesai jajan atau makan siang, anak-anak sekolah kini terbiasa membakar sampahnya, bahkan beberapa di antara mereka mulai mengingatkan teman-temannya jika masih membuang sampah sembarangan.
Bagi Kawan GNFI, mungkin ini terlihat sebagai langkah kecil. Namun, perubahan perilaku ini sangat berarti. Bukan hanya alat pembakar, Incinerator ini juga menjadi simbol perubahan perilaku.
Dari yang sebelumnya tidak peduli, anak-anak sekolah mulai memahami bahwa sampah yang mereka hasilkan adalah tanggung jawab mereka sendiri. Meskipun anak-anak belum sepenuhnya sadar perihal pengelolaan limbah, tapi mereka sudah belajar langkah pertama dengan tidak membiarkan sampah berserakan. Dari kebiasaan sederhana inilah, benih kepedulian lingkungan mulai tumbuh.
Perubahan ini menjadi sinyal positif bagi masa depan pengelolaan lingkungan di Desa Pucangluwuk.
Mahasiswa KKNT IPB telah membuktikan bahwa solusi tidak selalu harus rumit atau mahal. Cukup dengan memanfaatkan bahan yang tersedia, ide yang relevan, dan melibatkan masyarakat, terutama generasi muda untuk menghasilkan perubahan.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News