Pupuk subsidi merupakan salah satu program strategis pemerintah untuk mendukung ketahanan pangan nasional. Dengan memberikan potongan harga hingga 75% dari harga pasar, program ini diharapkan mampu meringankan beban biaya produksi petani, meningkatkan produktivitas lahan, dan menjaga stabilitas harga komoditas pertanian.
Namun, agar dapat menikmati manfaat ini, petani harus terdaftar dalam sistem Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK) melalui kelompok tani yang resmi.
Desa Ciputri di Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur, merupakan salah satu desa dengan mayoritas penduduknya merupakan petani. Kondisi geografisnya yang sejuk di kaki Gunung Gede Pangrango membuat wilayah ini ideal untuk bercocok tanam. Menariknya, komoditas utama pertanian di desa adalah berbagai jenis sayuran seperti daun bawang, seledri, pakcoy, selada dan tanaman hortikultura lainnya.
Sayangnya, dari ribuan penduduk desa yang sebagian besar bekerja sebagai petani, hanya sebagian kecil yang tercatat dalam data resmi penerima pupuk subsidi. Berdasarkan data terakhir, jumlah penerima tidak mencapai 10% dari total warga.
Banyaknya warga desa yang berprofesi sebagai petani membuat aspirasi yang disampaikan masyarakat erat kaitannya dengan pertanian terutama dari segi ketersediaan dan distribusi sarana produksi pertanian.
Menanggapi hal ini, Tim KKNT IPB menyambangi Balai Penyuluh Pertanian (BPP) untuk menyampaikan aspirasi dari warga desa. Bantuan pupuk subsidi yang tidak merata menjadi salah satu aspirasi yang mereka sampaikan.
Alur untuk mendapatkan pupuk subsidi sebenarnya cukup jelas: petani harus menjadi anggota kelompok tani, kelompok tersebut menyusun RDKK sesuai kebutuhan, lalu data dimasukkan ke sistem e-RDKK oleh penyuluh pertanian. Data ini kemudian menjadi acuan pemerintah dalam menyalurkan pupuk subsidi.
“Memang kurangnya tenaga penyuluh pertanian menjadi alasan utama mengapa data petani di Desa Ciputri belum menyeluruh” ujar Pak Ilyas, Koordinator Kecamatan Pacet dari pihak BPP. Kurangnya SDM membuat pembaruan data berjalan lambat dan tidak menyeluruh.
Akibatnya, banyak petani yang seharusnya berhak menerima subsidi justru terlewat. Menindaklanjuti hal tersebut, tim KKNT IPB merancang program kerja berupa pendataan warga yang ingin bergabung dalam kelompok tani sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan bantuan pupuk subsidi dari pemerintah.
Pendekatan ini tidak hanya memperbarui data petani yang sudah ada, tetapi juga membuka kesempatan bagi warga yang sebelumnya belum tergabung dalam kelompok tani untuk mendaftar.
Program ini mendapat tanggapan positif dari masyarakat. Banyak warga yang merasa terbantu dengan adanya program kerja ini, bahkan beberapa dari mereka menginisiasi pembentukan kelompok tani baru di lingkungannya. Kelompok-kelompok baru ini umumnya terdiri dari petani dalam satu Rukun Warga (RW), dengan tujuan memudahkan komunikasi internal dalam kelompok tani (poktan).
“Adik-adik KKN ini juga tidak dibayar untuk kegiatan mereka,” ujar salah satu tokoh desa saat menanggapi keraguan seorang warga terhadap manfaat pembentukan kelompok tani baru. Ia menegaskan bahwa anggapan kelompok tani tidak memberi manfaat adalah keliru.
Meskipun tidak memberikan keuntungan materi secara langsung, kelompok tani justru membuka akses ke berbagai pelatihan dan pengetahuan baru yang dapat mendukung pekerjaan para petani.
Inisiatif KKNT IPB 2025 ini membuktikan bahwa kolaborasi antara mahasiswa, pemerintah desa, dan masyarakat dapat menjadi solusi nyata untuk masalah yang bertahun-tahun tidak terselesaikan. Lebih dari sekadar memperbarui data, program ini membangun pondasi bagi kesejahteraan petani yang berkelanjutan, dimulai dari satu desa kecil di kaki Gunung Gede Pangrango.
Melalui basis data yang valid, pemerintah desa kini memiliki pijakan kuat untuk merancang program bantuan yang tepat sasaran, sementara BPP dapat merencanakan pelatihan dan pendampingan yang lebih terarah. Harapannya, model kolaborasi ini dapat direplikasi di desa-desa lain sehingga manfaatnya meluas melampaui Ciputri.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News