Di tengah luasnya samudra di bagian paling utara Sulawesi, terdapat gugusan pulau yang kaya akan budaya dan nilai-nilai tradisional. Kepulauan Sangihe, Talaud, dan Sitaro bukan hanya dikenal dengan keindahan alamnya, tetapi juga dengan warisan budayanya yang terus dijaga turun-temurun.
Salah satu warisan budaya yang paling menonjol dari wilayah ini adalah upacara tulude. Tradisi ini bukan sekadar seremonial tahunan, melainkan wujud syukur dan doa masyarakat kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkah yang diterima sepanjang tahun.
Upacara tulude berasal dari kata "tulude" yang berarti “menolak” atau “mengusir.” Dalam konteks budaya lokal, tulude dimaknai sebagai upaya menolak segala keburukan dari tahun yang telah berlalu, dan membuka lembaran baru dengan doa serta harapan baik untuk tahun yang akan datang.
Lebih dari itu, tulude adalah simbol identitas dan kebersamaan, menjadi titik temu antara spiritualitas dan sosialitas dalam masyarakat Sangihe-Talaud.
Tradisi ini dilaksanakan setiap tahun pada akhir Januari atau awal Februari, bertepatan dengan pergantian tahun menurut perhitungan adat. Masyarakat mempersiapkannya secara kolektif—mulai dari anak-anak hingga orang tua, semuanya ambil bagian.
Rumah-rumah dihias, pakaian adat dikeluarkan, dan masyarakat berkumpul di lapangan atau balai adat untuk melangsungkan upacara yang sakral sekaligus meriah ini.
Salah satu elemen terpenting dalam upacara tulude adalah kue tamo, yaitu kue ketan tradisional yang dibuat dalam ukuran besar. Kue ini terbuat dari bahan-bahan sederhana seperti beras ketan, gula merah, dan santan.
Meski demikian, simbolismenya sangat dalam: ketan melambangkan kesatuan dan kekuatan, karena sifatnya yang lengket dan menyatu.
Tulude, Upacara Adat Lambang Rasa Syukur Masyarakat Sangihe
Kue tamo kemudian dipotong dalam sebuah prosesi sakral, biasanya oleh tokoh adat atau pemimpin setempat, dan potongan pertama diberikan kepada tamu kehormatan sebagai tanda hormat dan berbagi berkat.
Sebelum pemotongan kue, upacara dibuka dengan doa adat, dipimpin oleh tokoh adat atau rohaniwan, yang berisi ungkapan syukur serta permohonan perlindungan dan keberkahan. Doa ini dibacakan dalam bahasa daerah dan disampaikan dengan penuh khidmat, mencerminkan hubungan erat masyarakat dengan alam dan Tuhan.
Setelah itu, suasana berubah menjadi meriah dengan adanya tarian tradisional seperti tari gunde dan musik bambu yang menggema di seluruh desa.
Tarian dan musik menjadi ekspresi sukacita, persatuan, dan penghormatan terhadap leluhur. Gerakannya dilakukan secara bersama-sama, mengajak semua kalangan untuk ikut serta. Selain menghibur, pertunjukan ini juga menjadi sarana edukasi budaya bagi generasi muda yang tumbuh di tengah gempuran budaya luar.
Dengan terlibat langsung dalam tulude, anak-anak dan remaja diajak untuk mencintai dan menjaga akar budaya mereka sendiri.
Menariknya, tulude kini tidak hanya digelar di kampung halaman, tetapi juga di kota-kota besar tempat masyarakat Sangihe-Talaud merantau, seperti Manado, Bitung, bahkan Jakarta.
Perayaan ini menjadi semacam “pemanggil kampung halaman” bagi mereka yang jauh dari tanah kelahiran. Selain itu, pemerintah daerah juga turut mendorong pelestarian upacara tulude dengan menjadikannya agenda tetap dalam kalender pariwisata budaya.
Di tengah perubahan zaman dan arus modernisasi, upacara tulude membuktikan bahwa nilai-nilai tradisi tidak lekang oleh waktu. Ia terus hidup, tumbuh, dan menyesuaikan diri, tanpa kehilangan esensinya.
Bagi masyarakat Sangihe, Talaud, dan Sitaro, tulude adalah lebih dari sekadar upacara tahunan. Ia adalah identitas, spiritualitas, dan bentuk nyata cinta terhadap budaya sendiri.
Melalui tulude, kita diingatkan bahwa dalam setiap pergantian tahun, ada baiknya kita berhenti sejenak—bersyukur, mendoakan yang terbaik, dan merayakan kebersamaan. Sebab, tradisi yang hidup bukan hanya yang diwariskan, tapi yang terus dilakukan dengan hati.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News