Wacana ketahanan dan swasembada pangan terus berkembang di tingkat nasional. Sehubungan dengan kegiatan KKN Universitas Gadjah Mada, tim KKN "Lendah Melangkah" berkesempatan mengabdi di Desa Jatirejo, Kecamatan Lendah, Kulon Progo.
Desa Jatirejo memiliki Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) bernama Jati Unggul. BUMDes Jati Unggul merupakan contoh konkret bagaimana kemandirian pangan dapat dimulai dari tingkat desa.
Jati Unggul berfokus pada agribisnis beras unggul yang berperan tidak hanya dalam mengelola hasil panen. Namun, juga sebagai penggerak ekonomi lokal, pencipta lapangan kerja, dan model ketahanan pangan berbasis desa yang dapat direplikasi.
BUMDes Jati Unggul sebagai Solusi Minimnya Akses Pasar Petani
Unit usaha beras BUMDes Jati Unggul dibentuk karena Desa Jatirejo merupakan salah satu lumbung padi. Dalam wawancara dengan Sekretaris BUMDes Jati Unggul, Luthfi mengungkapkan, "Pembentukan unit perdagangan dan penggilingan beras ini didasari oleh banyaknya produksi padi di Desa Jatirejo sehingga komoditas terhitung cukup melimpah."
Luthfi menambahkan bahwa dengan luas lahan sawah untuk padi sekitar 120 hektar, potensi produksi memang sangat besar.
Di balik potensi itu, petani kerap kesulitan mendapatkan harga layak akibat dominasi tengkulak dan minimnya akses pasar adil bagi petani. BUMDes Jati Unggul hadir sebagai jembatan vital antara petani dan konsumen akhir.
Produksi beras dimulai sejak tahun 2018 dan semakin berkembang pada 2019 dengan adanya bantuan mesin penggiling. BUMDes Jati Unggul tidak hanya menjual gabah. Namun, mengolah gabah menjadi beras premium, meningkatkan nilai jual gabah, serta memperluas jangkauan distribusi. Kapasitas produksi beras saat ini berkisar 20-30 ton per bulan.
Produk beras premium BUMDes Jati Unggul dijaga kualitasnya melalui proses kontrol mutu yang ketat. Salah satu standar yang diterapkan adalah pengeringan gabah pada suhu stabil 50–60°C selama 12 jam penuh.
Standar produksi yang diterapkan juga telah sesuai dengan ketentuan dari Kementerian Pertanian dan sertifikat halal dari MUI yang diproses tanpa tambahan pemutih maupun pengawet.
Meski keterbatasan alat pengolahan modern masih menjadi tantangan, BUMDes tetap menjalankan proses secara efisien. Bahkan, limbah penggilingan seperti sekam dan bekatul dimanfaatkan kembali sebagai media tanam atau dijual ke masyarakat.
Praktik ini tidak hanya menunjukkan efisiensi produksi, tetapi juga membangun ekonomi sirkular dalam skala mikro yang layak menjadi inspirasi praktik berkelanjutan di desa.
Distribusi Meluas, Kualitas Diakui: Kiprah BUMDes Jati Unggul di Pasar Yogyakarta
Jangkauan distribusi beras produksi BUMDes Jati Unggul pun patut diapresiasi. Produk telah menembus pasar regional seperti Yogyakarta, Sleman, Magelang, hingga Gunungkidul.
Bahkan, BUMDes sempat menjalin kerja sama dengan paguyuban warga Jabodetabek melalui pengiriman rutin mingguan menggunakan modal transportasi kereta api.
Hal ini menjadi bukti bahwa produk unggulan dari desa memiliki potensi besar dan mampu bersaing di pasar luar daerah.
Dalam semangat kebermanfaatan yang lebih luas, BUMDes Jati Unggul juga aktif menjalankan program tanggung jawab sosial (CSR) kepada masyarakat desa. Sebagian dari keuntungan usaha dialokasikan untuk mendukung kegiatan sosial dan pengembangan infrastruktur desa.
Mulai dari dukungan untuk kegiatan keagamaan, bantuan sosial, hingga penguatan kapasitas petani lokal—BUMDes hadir tidak hanya sebagai entitas bisnis, tetapi juga sebagai motor penggerak solidaritas dan kesejahteraan bersama.
Teknologi Pertanian dalam Produksi Beras Unggul di BUMDes Jati Unggul
Proses produksi beras di BUMDes Jati Unggul melibatkan alur dari hulu ke hilir secara terintegrasi. Tahap awal dimulai dari pemanenan padi, BUMDes seringkali menyewa combine harvester untuk mempercepat dan meningkatkan efisiensi proses pemanenan.
Namun, karena kondisi lahan atau ketersediaan alat, pemanenan masih dilakukan secara manual dimana memerlukan tenaga kerja lebih banyak. Setelah padi dipanen, gabah yang terkumpul kemudian dikirim ke BUMDes Jati Unggul untuk melalui tahapan pertama yaitu pengeringan.
Gabah dikeringkan dalam mesin pengering khusus pada suhu 50-60°C selama 12 jam. Mesin pengering memiliki kapasitas sekitar 10 ton sekali siklus sehingga gabah dapat dipastikan mencapai kualitas yang optimal sebelum digiling.
Setelah gabah dikeringkan hingga mencapai kadar air ideal sekitar 12%, gabah disimpan ke dalam silo. Dari silo, gabah siap untuk digiling menggunakan mesin Rice Milling Unit (RMU). Mesin modern berfungsi untuk melakukan tiga tahapan penting secara berurutan yaitu penggilingan (memisahkan kulit gabah), penyosohan (menghilangkan lapisan bekatul), dan grading (pemisahan beras berdasarkan kualitas dan ukuran).
Setelah melalui proses di mesin RMU, beras siap untuk dikemas menggunakan mesin automatic packaging yang dapat diatur berat keluaran sesuai kebutuhan pasar. Beras yang telah dikemas kemudian didistribusikan tidak hanya kepada penduduk sekitar. Namun, juga menjangkau restoran, hotel, dan tempat penginapan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa jaringan distribusi yang terjalin semakin luas.
Lika-Liku dan Tantangan BUMDes Jati Unggul sebagai Agen Pemberdayaan Petani dan Pelopor Ekonomi Desa
Perjalanan BUMDes Jati Unggul tentu tidak mulus. Kendala terbesar adalah modal usaha. Keterbatasan modal membuat BUMDes belum mampu menyerap seluruh hasil panen petani dimana berpotensi kembali membuat petani terjerat tengkulak.
Luthfi menyatakan, "Gabah yang tersedia di Desa Jatirejo belum mampu memenuhi kapasitas produksi pabrik beras Jati Unggul sehingga kami masih harus mencari pasokan dari beberapa wilayah sekitar, bahkan hingga ke Purworejo."
Tantangan lain adalah belum adanya mesin pemanen modern (combine harvester) yang ideal untuk kondisi lahan sawah sempit di Jatirejo sehingga efisiensi panen terkadang terhambat. Tercatat pula harga beras tidak stabil seringkali membuat margin keuntungan sangat tipis.
Oleh karena itu, unit usaha beras ini lebih dipandang sebagai bentuk pengabdian dan kontribusi desa terhadap ketahanan pangan, bukan semata-mata bisnis murni. Menariknya, unit usaha beras bukan penyumbang omset tertinggi dalam BUMDes melainkan restoran desa yang menjadi primadona pendapatan.
Namun, keberadaan unit beras tetap menjadi kebanggaan kolektif karena menyentuh langsung aspek fundamental kehidupan petani dan keberlanjutan pangan lokal.
Meskipun dihadapkan pada berbagai keterbatasan, semangat untuk terus berinovasi di BUMDes Jati Unggul tidak pernah padam. Terdapat rencana pengembangan ambisius, seperti diversifikasi produk ke bentuk beras instan dan perluasan kemitraan lebih strategis dengan lembaga besar seperti Bulog.
Desa Jatirejo menjadi teladan nyata bahwa kemandirian pangan di tingkat desa bukanlah sekadar angan-angan, melainkan kenyataan yang bisa dicapai dengan visi, partisipasi masyarakat, dan strategi yang tepat.
Agrobisnis mampu melampaui keuntungan finansial dan menjadi pilar pembangunan desa yang tangguh, kompetitif, serta berdaulat pangan.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News