Malam ke-27 Ramadhan menjadi momen yang istimewa bagi masyarakat Bengkulu Selatan. Pada malam itu, warga menghidupkan kembali tradisi turun-temurun yang disebut Bakar Lunjuk.
Tradisi ini telah menjadi bagian tak terpisahkan dari perayaan Ramadhan dan menyambut Hari Raya Idul Fitri. Tidak hanya bermakna spiritual, Bakar Lunjuk juga mencerminkan nilai sosial dan budaya yang mendalam dalam kehidupan masyarakat setempat.
Apa Itu Lunjuk dan Mengapa Dibakar?
Istilah lunjuk merujuk pada tempurung kelapa kering yang disusun secara vertikal menggunakan tonggak dari kayu atau besi. Setelah matahari terbenam, warga mulai membakar bagian atas lunjuk hingga api perlahan menjalar ke bawah.
Tempurung-tempurung tersebut telah dipersiapkan jauh-jauh hari sebelumnya, dikumpulkan dari sisa dapur atau kebun, lalu dijemur agar mudah terbakar.
Selain sebagai bahan bakar, pemilihan tempurung kelapa mengandung makna filosofis. Kelapa adalah simbol kebermanfaatan, karena semua bagiannya mulai dari air, daging, batok, hingga daun dan akarnya bisa dimanfaatkan.
Bagi masyarakat, membakar tempurung adalah simbol membakar segala keburukan dan menyambut hari suci dengan jiwa yang bersih.
Tempurung yang terbakar juga menjadi lambang rasa syukur kepada Tuhan atas keberkahan yang telah diberikan selama Ramadhan.
Sejarah dan Asal Muasal Tradisi Nujuh Likur
Tradisi Bakar Lunjuk telah diwariskan secara turun-temurun oleh masyarakat Bengkulu Selatan, khususnya oleh masyarakat suku Serawai. Dahulu, anak-anak desa akan berlomba mengumpulkan sayak (tempurung kelapa) dari rumah ke rumah. Sayak tersebut dikeringkan dan dilubangi di bagian tengah agar bisa ditusuk dan disusun pada lanjaran (pancang kayu atau besi).
Jumlah lanjaran yang dibakar bisa sangat banyak, tergantung dari berapa banyak sayak yang berhasil dikumpulkan. Masyarakat berkumpul dan menyalakan api bersama-sama selepas salat Maghrib.
Tradisi ini berkembang sebagai bagian dari kegiatan sosial, spiritual, dan budaya, yang menandai berakhirnya bulan Ramadhan dan datangnya Hari Raya Idul Fitri.
Baca Juga: Upacara Mappacci Tradisi Pensucian Diri Jelang Pernikahan Khas Sulawesi Selatan
Makna dan Tujuan Tradisi Bakar Lunjuk
Tradisi Bakar Lunjuk mengandung banyak nilai dan makna, baik secara filosofis, spiritual, maupun sosial, antara lain:
- Menyambut Hari Raya dengan Syukur dan Persiapan
Bakar lunjuk adalah cara masyarakat Bengkulu Selatan menyambut Idul Fitri dengan semangat syukur, setelah melalui ibadah puasa di bulan Ramadhan. - Simbol Pembersihan Diri dan Kesucian Hati
Api yang membakar tempurung kelapa dimaknai sebagai lambang membakar dosa dan kesalahan, agar dapat menyambut hari kemenangan dengan hati bersih. - Mempererat Kebersamaan dan Tali Sosial
Tradisi ini menjadi momen berkumpulnya warga desa, memperkuat solidaritas, dan mempererat hubungan antarwarga, baik tua maupun muda. - Salam Perpisahan dengan Ramadhan
Malam Nujuh Likur dipandang sebagai salah satu malam istimewa di akhir Ramadhan, dan pembakaran lunjuk menjadi bentuk penghormatan sekaligus perpisahan dengan bulan suci.
Malam Nujuh Likur sebagai Momentum Istimewa
Malam ke-27 Ramadhan atau yang dikenal sebagai Malam Nujuh Likur dianggap sebagai malam yang istimewa. Banyak masyarakat yang meyakini bahwa malam ini termasuk dalam deretan malam-malam ganjil yang berpeluang menjadi Lailatul Qadar, malam yang lebih baik dari seribu bulan.
Tradisi Bakar Lunjuk menjadi bagian dari persiapan menyambut datangnya Hari Raya Idul Fitri. Secara simbolis, api dari lunjuk yang menyala menerangi malam menjadi pertanda bahwa bulan suci akan segera berakhir.
Di sepanjang jalan desa, nyala api dari tempurung-tempurung yang terbakar menghadirkan suasana magis dan sakral, menyatukan warga dalam suasana kekhusyukan dan kebersamaan.
Menjalin Kebersamaan dan Menghidupkan Budaya Lokal
Lebih dari sekadar ritual, Bakar Lunjuk memiliki peran penting dalam mempererat tali silaturahmi antarwarga. Warga, baik tua maupun muda, bergotong-royong mempersiapkan lunjuk, menyusunnya, hingga menyalakan api bersama. Anak-anak tampak antusias ikut serta, mewarisi tradisi ini dari orang tua mereka.
Beberapa desa bahkan menjadikan Bakar Lunjuk sebagai ajang lomba. Warga berlomba membuat susunan lunjuk tertinggi atau nyala api paling terang. Ada pula yang menghias area sekitar dengan lampu minyak dan lilin, menciptakan suasana semarak yang menggugah rasa bangga terhadap budaya lokal.
Melestarikan Warisan Leluhur
Bakar Lunjuk merupakan salah satu dari sekian banyak tradisi Ramadan di Bengkulu yang masih lestari, selain Meruah (syukuran menjelang puasa), Bangun Sahur Pakai Dol (alat musik khas Bengkulu), hingga Mandi Balimau yang dilakukan sebagian masyarakat di wilayah pesisir.
Di tengah arus modernisasi dan gaya hidup praktis, keberadaan tradisi seperti ini menjadi penyeimbang. Ia mengajarkan nilai kesederhanaan, gotong royong, dan spiritualitas yang kini semakin penting untuk dijaga.
Malam Nujuh Likur pun bukan hanya tentang tempurung yang terbakar. Ia adalah nyala semangat yang diwariskan oleh leluhur, untuk terus menerangi generasi sekarang agar tetap menjaga identitas, kebersamaan, dan keimanan dalam setiap perayaan keagamaan.
Baca Juga: Tragedi Kudatuli 27 Juli 1996 Ketika Politik dan Kekuasaan Bertabrakan di Jalan Diponegoro
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News