Di era digital saat ini, data mengalir lebih cepat dari arus kas. Namun, apakah penerimaan negara ikut menyesuaikan kecepatannya? Pendapatan negara Indonesia pada tahun 2023 berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) memperoleh setidaknya Rp2.637 triliun dari berbagai sumber penerimaan negara.
Sementara itu, pada tahun 2024, angka tersebut meningkat menjadi Rp2.802,3 triliun menjadikannya sebagai tahun dengan penerimaan negara tertinggi sepanjang sejarah, dan 82,4% pendapatan berasal dari pajak.
Dengan demikian, pajak merupakan salah satu sumber utama penerimaan negara yang menopang pembangunan nasional seperti pelayanan publik, infrastruktur, pendidikan, hingga subsidi sosial.
Kendati demikian, persoalan rendahnya rasio pajak di Indonesia masih belum menemukan solusi yang efektif. Rasio pajak sendiri mencerminkan seberapa besar penerimaan pajak yang berhasil dihimpun dari total aktivitas produksi barang dan jasa dalam suatu negara.
Menurut Damayanti pegawai Direktorat Jenderal Pajak (2024), salah satu penyebab rendahnya rasio ini adalah tingkat kepatuhan pajak yang masih rendah.
Hal ini berkaitan erat dengan fondasi ekonomi nasional yang belum kuat, di mana mayoritas penduduk bekerja di sektor informal dibandingkan sektor formal.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) per Agustus 2023, sebanyak 59,11 persen tenaga kerja di Indonesia berada di sektor informal.
Kelompok pekerja ini cenderung sulit dijangkau oleh sistem pendataan karena jumlahnya yang besar, tersebar di berbagai wilayah secara tidak terpusat, serta tidak terikat pada badan usaha resmi yang tercatat dalam basis data pemerintah.
Mengenal PMK 37 Tahun 2025: Aturan Baru Pajak untuk Pedagang Online di Marketplace
Sebagian besar penduduk Indonesia juga memiliki penghasilan yang berada di bawah ambang batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).
Untuk Wajib Pajak Orang Pribadi (WP OP) yang belum menikah dan tidak memiliki tanggungan, batas PTKP ditetapkan sebesar Rp54 juta per tahun atau sekitar Rp4,5 juta per bulan (Theodora, 2024).
Perkembangan digitalisasi turut membawa perubahan karena telah menggeser cara orang bekerja, berdagang, dan menghasilkan pendapatan.
Kini, banyak yang bekerja dari rumah, menjual produk lewat internet, atau mendapat penghasilan dari video, game, dan aset digital. Transaksi berlangsung cepat, lintas platform, dan sering kali tanpa kontak fisik.
Namun, di balik aktivitas ekonomi digital belum sepenuhnya dapat dijangkau oleh mekanisme pajak yang berlaku saat ini. Pelaku ekonomi digital, terutama yang bergerak secara mandiri maupun informal, sebagian besar belum memiliki kesadaran pajak yang kuat.
Sementara itu, negara juga belum sepenuhnya mampu menjangkau sektor ini secara merata dan efisien. Akibatnya, potensi penerimaan negara bisa bocor, dan keadilan dalam distribusi beban pajak menjadi tidak merata.
Sebagai respons terhadap tantangan tersebut, muncul gagasan T.A.X singkatan dari Teknologi, Adaptasi, dan eXpansi sebagai kerangka strategis menuju masa depan penerimaan negara yang lebih inklusif.
Teknologi, Adaptasi, dan eXpansi
Teknologi berperan sebagai landasan sistem perpajakan yang lebih efisien dan akurat. Transformasi sistem perpajakan menjadi keharusan di era digital yang serba cepat dan dinamis.
Masyarakat kini bekerja tanpa kantor, berjualan tanpa toko, dan memperoleh penghasilan dari berbagai aktivitas digital seperti konten, game, dan aset kripto.
Jika sistem pajak masih bergantung pada proses manual, negara tidak hanya akan tertinggal dari sisi pelayanan, tetapi juga kehilangan potensi penerimaan.
Thomas Stamford Raffles dan Land Rent System: Awal Sejarah Pajak Tanah di Jawa
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sejatinya telah mulai bertransformasi dengan menghadirkan layanan seperti e-Filing, e-Bupot, e-Faktur, dan e-Billing. Lebih jauh, pengembangan core tax administration system menjadi fondasi penting untuk otomatisasi data dan proses perpajakan.
Teknologi seperti big data, AI, dan blockchain mulai dilirik untuk meningkatkan akurasi, efisiensi, dan transparansi sistem. Semua itu bertujuan mempermudah masyarakat dalam memenuhi kewajiban pajak secara sederhana dan cepat.
Namun, adaptasi kebijakan tidak cukup dilakukan sekali. Negara harus terus menyesuaikan regulasi mengikuti perkembangan ekonomi digital yang bergerak cepat. Beberapa penyesuaian memang telah dilakukan untuk merespons munculnya aktivitas ekonomi baru yang berbasis digital, sebagai langkah awal membangun sistem perpajakan yang lebih relevan.
Ke depannya, dibutuhkan pendekatan yang lebih proaktif artinya tidak hanya menagih. Namun, juga mengedukasi, memfasilitasi, dan membangun sistem yang logis serta mudah dipahami, terutama bagi generasi digital.
Sedangkan ekspansi bertujuan memperluas jangkauan pajak agar mencakup seluruh pelaku usaha, termasuk yang bergerak secara digital dan informal. Ekspansi pajak harus dilakukan secara inklusif dan adil. Banyak individu yang kini berpenghasilan di sektor informal dan digital belum terdaftar sebagai wajib pajak aktif.
Dengan kerja sama antara platform digital dan DJP, pelaporan pajak bisa lebih otomatis dan ringan bagi pengguna. Prinsip keadilan juga menuntut agar sistem tidak hanya fokus pada yang sudah patuh. Namun, juga merangkul mereka yang belum terlibat, melalui insentif, kemudahan, dan sosialisasi.
Pajak bukan sekadar kewajiban administratif, melainkan bentuk nyata dari kolaborasi antara masyarakat dan negara dalam mewujudkan pembangunan bersama. Di tengah transformasi digital dan perubahan sosial, baik masyarakat maupun pemerintah memiliki peran penting yang saling melengkapi.
Pajak Bukan Sekadar Kewajiban: Memahami Perhitungan dan Aturan Pajak Secara Ringan dan Jelas
Dengan layanan perpajakan yang mudah diakses, serta informasi yang jelas dan transparan, masyarakat akan lebih terbantu dalam memahami hak dan kewajiban dalam perpajakan.
Ini akan memperkuat sinergi sistem perpajakan Indonesia ke depan menjadi lebih inklusif, adaptif, dan berkelanjutan.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News